Dari kejauhan, terdengar suara teriakan dari Ibu RT yang memanggil nama Pricilla. Ada apa sebenarnya? Pricilla langsung terpikir pada Alya yang belum sampai di rumah. Lalu kenapa Ibu RT terlihat ngos-ngosan seperti baru selesai lari maraton.
“Ibu, ada apa?” tanya Pricilla dengan pikiran yang sudah panik.
“Pris, itu Ibu kamu kecelakaan. Sekarang ada di rumah sakit,” katanya sembari mengusap peluh yang menetes ke wajahnya begitu deras. “Tadi pukul lima sewaktu mau pulang ke rumah, Bu Alya mengalami kecelakaan. Di tabrak bus yang melintas dengan kecepatan tinggi,” sambung Bu RT dengan nafas masih memburu.
Pricilla menangis tersedu lalu terduduk ke lantai. Menyalahkan diri karena tidak mencari ibunya, malah memilih kumpul bersama temannya sampai tidak ingat waktu. “Mam, seharusnya Prissy tadi nyari Mama buat bantu jualan,” lirihnya sembari memukuli kakinya sendiri.
“Pris, daripada kamu di sini menyalahkan diri sendiri. Alangkah baiknya kamu ikut saya ke rumah sakit sekarang,” katanya sembari memeluk gadis pilu yang ada di depannya. Menatap ke arah dalam rumah yang begitu sepi tanpa ada penerang yang dinyalakan. “Berdiri, kamu ganti pakaian, Ibu menyiapkan air hangat untuk air minum beberapa warga yang turut menunggu,” sambung Ibu RT melenggang masuk sembari memapah gadis itu.
“Bu, ayo ke rumah sakit,” kata Pricilla yang telah mengganti seragam sekolah dengan kaos berwarna hitam dipadukan dengan jaket denim miliknya. Celana kulot putih dengan sepatu warna putih.
Ibu RT yang sudah siap dengan termos pun beranjak pergi dari rumah sederhana itu. Mereka pergi dengan naik mobil pribadi milik Ibu RT. Selama perjalanan, pikiran Pricilla benar-benar telah kacau. Takut kejadian buruk akan menimpa mereka. Tapi, beruntung ada Ibu RT yang memberikan dukungan dan kata-kata yang mengajak pikirannya sgar tetap berprasangka baik kepada Allah.
Pricilla hanya seorang gadis biasa. Bagaimana bisa tidak memikirkan sosok wanita tangguh yang sedang terbaring di ranjang rumah sakit. Apalagi, hal itu terjadi karena tertabrak sebuah bus. Siapa pun yang mengalami hal ini pasti tidak akan bisa berpikiran positif.
“Pris, ayo,” kata Ibu RT sembari menggandeng gadis yabg sedang rapuh itu berjalan ke depan ruang ICU.
“Pak, bagaimana dengan Ibu saya?” tanya Pricilla kepada Ketua RT di tempatnya tinggal. Kebetulan, ketua RT dan beberapa warga yang saat ini berada di sanalah yang membantu Alya ke rumah sakit.
“Kamu yang tenang. Ibu masih di dalam,” katanya.
Pricilla duduk di bangku depan ruangan. Berpangku tangan sembari menatap kosong ke arah bawah. Pikiran bawah sadarnya tidak bisa diajak kompromi agar tetap berpikiran positif. Saat inilah Pricilla merasa takut. Takut kehilangan sosok Ibu untuk selamanya. Tidak terpikir di otaknya, bagaimana jika hal itu benar terjadi. Apakah dia mampu melewati jalanan terjal di dunia tanpa sosok Ibu?
Air matanya kembali menetes dengan sempurna. Bahkan, bisa dikatakan jauh lebih deras dari sebelumnya. Ibu RT menghampiri Pricilla dengan membawa gelas plastik yang dibelinya di toko plastik tak jauh dari rumah sakit.
“Minum dulu, supaya jauh lebih tenang, maaf ya barusan saya tinggal,” katanya.
Setelah itu, Ibu RT menawari kepada beberapa warga yang masih di rumah sakit. Mereka enggan pergi meninggalkan rumah sakit. Apalagi, mereka mengetahui bagaimana keadaan Alya yang sesungguhnya. Tambah lagi, Pricilla yang begitu terpuruk dan hidup hanya berdua bersama ibunya.
Tidak lama kemudian, seorang dokter yang menangani Alya telah keluar dari ruangan. Menanyakan keberadaan keluarga untuk mengikuti ke ruangannya. Ibu RT yang tidak sanggup jika Pricilla akan mengetahui keadaan Alya seorang diri pun ikut menemani.
“Maaf, sebelumnya. Saya harus menerangkan hal ini kepada keluarga. Semoga, pihak keluarga bisa menerimanya dengan tabah dan ikhlas. Beberapa organ tubuh Ibu Alya mengalami kerusakan. Ada beberapa titik di mana tulangnya patah. Dari tim dokter menyarankan untuk melakukan operasi. Tangan kanan korban harus diamputasi. Akan tetapi, hal ini juga harus kesepakatan dan persetujuan dari pihak keluarga.”
“Kalau Ibu saya diamputasi, apakah besar kemungkinannya akan sembuh kembali?’ jawab Pricilla dengan suara yang agak lantang.
“Ya, sekali lagi, itu kuasa Allah. Kita tim medis hanya bisa melakukannya semampu kami,” jawabnya dengan tersenyum tipis.
“Dok, organ dalam Ibu Alya masih normal kan?” tanya Ibu RT memilih menanyakan organ dalam yang berperan penting bagi tubuh.
“Tidak, ada paru-paru yang melepuh akibat panasnya aspal dan percikan api dari bahan bakar bus. Sehingga, Ibu Alya mengalami luka bakar yang sudah lumayan parah,” katanya.
Mendengar penuturan dari dokter pun membuat Pricilla tidak mampu membendung air matanya. Bagi Pricilla saat ini, dia akan mengusahakan agar ibunya kembali sehat. Walaupun harus menerima kenyataan bahwa ibunya kelak akan cacat. Tapi, setidaknya Pricilla masih memiliki harapan dan tinggal melanjutkan hidup bersama malaikat tak bersayap itu.
“Kalau begitu, apa yang harus kita lakukan?” tanya Ibu RT.
“Operasi untuk amputasi. Sebab, tulang-tulang di lengan tangan kanannya tidak bisa untuk diperbaiki lagi.”
“Untuk biaya, bagaimana?” lirih Pricilla dengan menahan isak tangis yang benar-benar sukit untuk ditahan.
“Bisa ditanyakan di depan,” katanya.
Ibu RT mengajak Pricilla untuk keluar dari ruangan dokter. Bertemu dengan Pak RT dan beberapa warga yang masih menetap di sana. Ibu RT duduk di dekat suaminya untuk memberitahu apa yang dokter katakan.
“Pris, apa kamu setuju dengan keputusan saya? Bagaimana kalau Ibu kamu menjalani operasi itu?”
“Saya tidak masalah, Pak. Asal Ibu saya sehat kembali. Tapi ... saya tidak memiliki uang sebanyak itu,” kata Pricilla di pelukan ibu RT.
“Kamu jangan khawatir, saya akan membantu kamu.”
Pak RT beranjak. Berjalan ke arah resepsionis untuk menanyakan biaya yang harus dibayarkan untuk operasi itu. Akan tetapi, biaya akan diperhitungkan jika pihak keluarga telah menandatangani berkas persetujuan.
Akhirnya, Pricilla dengan berat hati menandatangani berkas itu. Tidak lama kemudian, suster datang memberikan sebuah berkas berisi rincian biaya yang harus dibayarkan. Pak RT datang ke pihak dokter untuk meminta keringanan. Akhirnya, mendapatkan keringanan dengan membuat surat keterangan tidak mampu dari beberapa elemen pemerintah.
Keesokan harinya, Pricilla masih berada di rumah sakit bersama pak RT dan istrinya. Sedangkan, warga lainnya telah kembali sejak semalam, sekitar pukul setengah sepuluh. Mereka dimintai tolong oleh pak RT untuk meminta sumbangan bantuan kepada warga.
“Saya permisi dulu, ya. Saya harus pergi mengurus surat-surat yang dibutuhkan,” ujarnya, “Pris, kamu berangkat ke sekolah saja. Ikut saya pulang lalu ke sekolah,” sambungnya.
“Enggak, Pak. Saya mau di sini menunggu Ibu,” jawabnya dengan suara yang nyaris tak terdengar. Ibarat kata, suaranya hampir habis terkuras akibat tangis.
Sekitar pukul sembilan pagi, Pricilla beranjak ke kantin rumah sakit untuk menikmati sarapan bersama ibu RT. Walaupun, tidak nafsu makan, tapi benar apa yang dikatakan oleh ibu RT. Jika dia tidak makan, lalu ikut sakit. Siapa yang akan merawat Alya.
Setelah selesai sarapan, mereka kembali ke depan ruang ICU. Menunggu Alya yang sedang berjuang di dalam sana. Seorang dokter keluar dari ruangan untuk istirahat. Tetap, di dalam sana ada beberapa perawat yang menjaga.
“Pris, lo sehat, ‘kan? Kenapa enggak berangkat?” tanya Agnetha yang sedang menghubungi Pricilla melalui telepon.
“Tha ... Mama gue, Mama kemarin kecelakaan, sekarang di rumah sakit.”
“Innalilahi,”
“Tha, Mama gue masih na ...,” sambungan telepon telah terputus.