Mobil yang mereka tumpangi secara mendadak mogok di jalan. Beruntung, mobil itu melaju di pinggiran jalan. Jadi, tidak merepotkan pengendara lain yang melintasi jalan. Lebih parahnya lagi, ternyata ada sebuah kucing yang tertindas di bawah ban mobil.
“Yah, sudah malam, malah si kucing mati pula,” gerutu Anders.
Dia mencari plastik di sekitar jalan untuk mengangkat kucing itu. Membungkusnya lalu dibawanya ke rumah dengan jalan kaki. Beruntung, mobil mogok tidak jauh dari tempat tinggalnya.
“Nders, bagaimana?” tanya Davin yang bingung setelah sampai di rumah temannya. Anders pun melihat kondisi di sekitar rumahnya. Menatap bawah pohon di ujung sana sembari mengambil sekop yang diletakkan di perlengkapan bercocok tanam oleh ibunya.
Mereka bergegas ke tempat yang dimaksud untuk menggali tanah. Katanya, jika kita tidak sengaja menabrak kucing, kita memiliki kewajiban untuk menguburkannya dan memberikan sebuah berkat kepada orang. Ya, selayaknya manusia. Anders menguburkannya di sana. Kemudian, menaburkan bunga yang dipetik dari tanaman hias milik ibunya. Tidak lupa, ia menyiramkan sedikit air.
Anders dan teman-temannya bergegas masuk ke dalam kamar miliknya. Beristirahat dari kegiatan malamnya yang tidak menghasilkan apa-apa. Mereka duduk di kamar sembari memainkan gitar yang ada. Bersenandung kecil untuk menghilangkan kesan sunyi di tengah malam.
“Gila, Dav, lo mau manggil setan ke rumah gue?” teriak Anders yang telah selesai membersihkan diri.
“Kaga, lah.” Davin berdiri untuk berpindah tempat ke dekat jendela. Duduk di sana sembari memainkan jemarinya di atas untaian senar. Memainkan nada demi nada yang menghasilkan sebuah melodi yang terdengar harmonis.
Sekitar pukul dua belas malam, mereka masih sibuk dengan kegiatan masing-masing. Mata yang masih enggan untuk terpejam, tambah aroma tengah malam yang begitu menyengat tidak biasa. Aroma-aroma mistis yang tercium dengan bau yang pekat.
“Rumah lo serem,” celetuk Raynar, “eh, tapi ini kan bukan malam Jumat,” sambungnya.
“Apa, aroma dari kucing yang tadi dikubur?” tebak Anders yang sedang rebahan sembari memainkan ponselnya. “Biasanya, juga tidak seperti ini.”
Mereka memutuskan untuk segera tidur daripada berpikiran yang tidak-tidak. Walaupun, mereka laki-laki, tetap saja memiliki rasa takut yang berbau dengan mistis. Sampai akhirnya, mereka terbangun pada pukul sembilan pagi.
“Astaga, mobil punya Anara,” celetuk Raynar kala pertama kali membuka mata.
“Masalah mobil udah beres. Semalam gue suruh sopir buat bawa ke rumah. Masalahnya, kita kesiangan. Pasti itu anak perempuan pada ngoceh,” kata Anders bergegas masuk ke kamar mandi dengan menyampirkan handuk berwarna biru tua.
Mereka bergegas pergi ke rumah Anara, tepat pukul sepuluh pagi. Benar saja, di sana telah terkumpul ketiganya. Ya, memang mereka sejak semalam bersama. Benar saja yang ditakutkan oleh Anders. Ketiga perempuan yang sedang duduk di sofa itu mengoceh selayaknya burung kelaparan. Padahal, mereka terlambat juga hanya sekitar satu jam. Bukan, dua puluh empat jam atau beberapa hari. Tapi, entah kenapa kata-lata yang keluar begitu menyakitkan. Mau tidak mau, tim cowok harus siap telinga agar tidak tuli akibat ocehan dari teman perempuan yang tidak akan ada habisnya.
“Sudah, mending sekarang kita bahas yang pasti-pasti. Lagi pula, kita juga sudah ada di sini,” kata Raynar sembari membuka kancing kemeja.
“Wah, gila, sih. Di sini bukan tempat untuk aneh-aneh,” kata Anara sembari menatap tajam ke arah Raynar.
“Tenang, gue punya sopan santun. Apalagi, gue terlahir dari keturunan Jawa yang sopan santun dan tata krama begitu melekat,” jawab Raynar masih saja melanjutkan membuka kancing kemeja, “gue pakai kaos, ini mau lepas kemejanya doang,” sambungnya.
“Heem, jadi, hari ini kita bakal bahas apa?” tanya Anara sembari menyalakan televisi yang ada di ruang tamu, kemudian berlanjut ke arah dapur mengambil camilan yang sudah disiapkan oleh pembantunya.
Tidak lama kemudian, Anara sudah membawa makanan dan minuman. “Ini dimakan dulu,” kata Anara.
Beberapa waktu kemudian, mereka mulai membahas sesuatu yang belum selesai dibahas. Terutama, perihal Kim yang menyimpan rahasia besar yang perlu untuk diungkap. Tapi, belum menemukan jalan yang tepat. “Ra, kalau semisal lo pura-pura untuk dekati Kim, bagaimana?” tanya Agnetha.
“Wah, jangan.”
“Pris?” tanya Agnetha sembari beralih ke arah Pricilla duduk. “Mungkin dengan cara ini kita bisa menyelesaikan masalah yang sifatnya internal,” sambungnya.
“Tumben, otak lo encer,” sahut Davin dengan dingin.
“Gini, apa enggak panggil Kim saja? Mungkin, bisa saja dengan ini bisa mengetahui jawaban dari rahasia besarnya. Salah satu cara, ya, dengan pertanyaan-pertanyaan yang dibuat menjebak,” kata Pricilla sembari tersenyum. Pricilla mengambil gelas berisi es jeruk untuk menyegarkan dahaga. Melepas rasa haus yang menyelimuti kerongkongannya. Benar-benar serasa tidak nyaman duduk tanpa menikmati jamuan.
“Setuju, sekarang telepon saja suruh ke sini,” kata Anders.
Mereka berkutat dengan aktivitasnya masing-masing. Memainkan ponsel masing-masing sembari rebahan, ada juga yang seakan ingin terbawa jungkir balik demi memberikan apresiasi tontonan lucu di televisi. Tidak lama kemudian, Kim telah sampai di rumah Anara.
Kim masuk lalu duduk di sofa sebelah Anders. Melepas tas ransel yang berisi laptop lalu mengamati televisi. Sekilas, menatap teman-temannya. “Kenapa?” tanya Kim kepada teman-temannya diiringi senyuman manis.
“Kim, menurut lo apa sih itu sempurna?” tanya Anara.
“Aneh, sih. Baru juga sampai, tiba-tiba dikasih pertanyaan yang tidak umum. Begini, menurut gue, sempurna itu sesuatu yang memuaskan.”
“Nah, tingkat kata puas itu seperti apa?” tanya Anara lagi.
“Ya, itu tergantung setiap pribadi. Kalau gue, sih, enggak akan nyari kesempurnaan. Cukup fokus sama yang gue punya. Karena, bisa jadi ketika kita berpaling untuk mencari sesuatu yang jauh lebih memuaskan, tapi ternyata malah bisa membuat kita kehilangan yang sebenarnya sudah ada. Intinya, bersyukur sama yang sudah dimiliki. Kalau hidup mengejar kesempurnaan, yang ada malah kita yang rugi. Karena, sempurna itu hanya dimiliki Tuhan.” Kim mengambil ponsel dari dalam saku celananya.
Anara terdiam. Bingung dengan jawaban dari Kim yang tidak sesuai dengan yang ada di pikirannya. Apa dia yang salah memperkirakan pertanyaan? Tapi, memang sebuah kesempurnaan itu memiliki pandangan yang luas dalam mengartikan.
“Benar, sih. Terus, semisal seseorang yang memiliki kekurangan dalam sebuah kesehatan mental atau kesehatan dalam fisiknya?” tanya Pricilla.
“Ya, kembali lagi ke jawaban tadi. Kesempurnaan itu milik Tuhan. Mau gangguan mental atau kekurangan dalam fisik, tetap saja harus bisa bersyukur. Di balik itu semua akan ada hikmah dan pelajaran yang bisa diambil,” jawabnya dengan santai dan tidak terlihat tersinggung sama sekali.
“Kim, semisal ada orang yang terkena gangguan depresi, menurut lo dia harus mengungkapkan fakta itu kepada orang lain atau menyimpan sendiri?” tanya Anders.
“Gue mau jawab, dulu. Menurut gue sih perlu. Karena, dengan begitu orang lain bisa memberikan sebuah solusi agar bisa sembuh dari depresi itu.” Pricilla memberikan satu gelas yang masih terisi penuh es jeruk. “Menurut lo bagaimana?”
“Sebentar, kenapa pembahasannya aneh?” tanya Kim dengan tatapan mata yang tidak seperti biasanya.
“Ya, sekali-kali pembahasan kita berguna untuk ujian akhir nanti. Tambah lagi, kita ini jurusan IPS. Jadi, pembahasan seperti ini bisa digunakan untuk riset,” jawab Pricilla agar tidak menyinggung perasaannya.
“Oh, iya. Menurut gue tidak perlu. Karena, itu salah satu privasi yang perlu disimpan. Sebab, tidak semua hal pribadi itu diketahui oleh orang lain. Itu sih menurut gue,” kata Kim.
Apa ini salah satu rujukan yang sesuai dengan jawaban yang diinginkan? Tapi, tidak bisa juga dijadikan sebuah kesimpulan. Tapi, setidaknya dengan pembahasan kali ini, ada poin penting tentang rasa syukur atas apa yang dimiliki. Tanpa perlu mencari hal lain yang bisa dianggap sebagai kata kesempurnaan. Benar, kita tidak perlu mencari itu. Kita hanya perlu menjaga apa yang sudah ada. Jangan sampai terlena dengan hal yang hanya semu.