Agnetha Si Motivator Dadakan

1800 Kata
Di dalam sebuah ruangan sebagai pelindung dari teriknya sang mentari. Mereka asyik menonton televisi tanpa ada suara yang menyelimuti. Rasanya, begitu asing dan sunyi. Entah, tiba-tiba saja perasaan begitu tidak nyaman. Apa karena pembahasan yang ternyata mampu mengganggu perasaan Kim? Mata Pricilla mengelilingi seisi ruangan. Mencari-cari sesuatu yang tidak juga menemukan yang dicari. Padahal, dalam pikirannya saja tidak tahu apa yang sebenarnya sedang dicari. Tapi, hatinya begitu terasa gelisah dengan keadaan yang terjadi. Suasana yang tiba-tiba saja mendingin seakan-akan seperti air yang di masukkan ke mesin pendingin. Lalu, sebenarnya ini bahasa apa atau rasa apa? Kemudian, apa yang membuatnya sunyi di dalam keramaian seperti ini? Beberapa saat kemudian, Agnetha berdiri mematikan televisi. Mematikan jaringan internet yang ada di rumah Anara. Begitu beraninya, padahal bukan rumahnya sendiri. Ternyata, bukan Pricilla saja yang merasakan suasana dingin di siang hari. “Gue bingung, kenapa tiba-tiba jadi dingin gini. Berasa beku di dalam kulkas.” Agnetha menatap ke arah mereka. Memandangi satu per satu teman-temannya. “Lalu, kalau tiba-tiba bersikap dingin seperti ini? Buat apa kita kumpul? Kalau pada faktanya kalian memilih pada ponselnya masing-masing. Kalian sibuk dengan apa yang kalian sukai,” Agnetha kembali duduk ke tempatnya. Pricilla meletakkan ponselnya. Mengambil buku dari dalam tas. Membuka materi ujian yang ada di dalamnya. Memilih untuk membacanya untuk melampiaskan kegelisahannya. “Kalau sudah tidak ada yang mau dibahas, gue mau belajar saja,” ujar Pricilla. “Rasanya aneh tahu, tadi aja baru bahas sesuatu yang berkualitas, tiba-tiba jadi hening,” sambung Pricilla lalu memainkan pensil di atas kertas putih yang masih suci itu. “Iya, juga, sih. Begini, bagaimana kalau kita belajar sekaligus mengerjakan kode untuk digit selanjutnya?” tanya Anders sembari menyimpan ponselnya. “Bahas yang lain dulu, gue lelah disuruh mikir,” kata Agnetha sembari menyalakan lagi jaringan internet di rumah Anara. “Terus mau bahas apa? Kalau mau main-main, ngapain pakai kumpul segala,” kata Davin yang sedang rebahan di atas sofa. “Bahas ngalor-ngidul, lah, sekali-kali,” sambungnya. “Ya, udah, ayo. Tapi, harus ada manfaatnya,” jawab Pricilla yang masih sibuk dengan pensilnya. “Gue tanya, deh, apa yang membuat kalian masuk ke SMA Go Publik?” “Supaya pintar, cerdas, dan tentu saja terlihat ‘wah’ di mata orang lain. Secara, SMA Go Publik begitu terkenal di mata masyarakat. Bahkan, mereka mendambakan sekolah ini, sampai rela menggelontorkan uang. Apalagi, rela belajar mati-matian biar bisa masuk ke sini. Padahal, mah, sekolah sama saja. Jangan pernah kaya gue, nyesal nanti. Kewalahan,” kata Agnetha sembari tertawa tipis. “Nih, gue masuk ke sini, karena mau terlihat keren, tapi ternyata otak gue malah nge-lag, Jadi, sekolah itu sama saja, mau di mana saja. Terpenting, mental, fisik, dan otak kira mampu untuk menjalani kehidupan di ruang lingkup sekolah itu. Toh, materinya sama saja.” “Ha ha, itu mah lo, gue mah enggak. Justru, sekolah itu ya harus mencari yang berbobot. Sebab, dengan kedisiplinan yang ada di sekolah itu akan membawa dampak yang baik di masa yang akan datang.” Davin menyesap rokoknya sekali sembari rebahan. “Halah, lo aja tukang bolos. Sok-sok bicara soal kedisiplinan. Tuh, rokok dari tadi enggak mati-mati,” timpal Agnetha dengan jujur. Davin tertawa sampai memekikkan telinga. Teman-temannya yang lain dengan sigap menutup telinga serapat mungkin. Sejak tadi, Pricilla pun menutup hidung yang tidak tahan dengan kepulan asap yang keluar. “Dav, itu rokok dimatiin napa, enggak enak banget di hidung. Lo mau membahayakan nyawa kita dengan menjadikan kita perokok pasif?” kritik Pricilla sembari menutup buku dan memasukkan ke dalam tasnya. “Nah, bener. Terus, gue heran sama Agnetha, kok bisa-bisanya suka sama Davin,” gerutu Anara yang sedang membereskan piring dan gelas kotor yang tergeletak di atas meja di ruang tamu. Membawanya ke belakang untuk dicuci. Kembali ke ruang tamu juga membawa gelas bersih dan dua botol air mineral. Davin terdiam saja. Masih juga menikmati rokoknya yang masih menyala. Justru, dia memainkan asap dari rokok itu agar semakin menyebar ke dalam ruangan. Dasar, laki-laki calon perusak masa depan sendiri juga orang lain. Sudah tahu, merokok bisa mengancam nyawa, eh, masih juga mengajak orang lain terjun ke dalam hal yang bahaya dengan menjadikannya perokok pasif. “Dav, tolong, dong. Ini rumah, ya, bukan tempat umum,” kata Anara sembari meletakkan nampan di atas meja. Davin beranjak dari sofa. Keluar dari pintu utama lalu membuang putung rokoknya sembarangan. Sebenarnya, Anara merasa kesal dengan Davin. Sosok laki-laki yang begitu cuek dengan apa pun. Bahkan, dia juga cuek dengan kesehatannya sendiri maupun orang-orang di sekitar. “Sudah gue buang, sekarang mau apa?” katanya. Davin kembali ke sofa. Duduk dengan tenang lalu mengambil satu botol air untuk diminumnya. Tanpa ada sopan santun, membuka tutup botol lalu diarahkan ke mulutnya. Beruntung, belum sampai tepat di bibirnya. “Davin, tolong, dong. Lo baru selesai merokok. Terus, lo mau minum seperti cara meminum psyco, emang, lo enggak sayang sama gue, eh, temen-temen,” ucap Agnetha sembari mengambil paksa botol minum itu. “Astaga, kalau pakai gelas kelamaan. Gue keburu haus,” jawab Davin sembari merapikan rambutnya yang sebenarnya masih rapi. Ya, namanya juga buaya, harus tampil sempurna. Agnetha menuangkan air itu ke salah satu gelas. Memberikannya kepada Davin agar diminumnya. “Acie ... Tha, kita enggak sekalian?” goda Raynar dengan bahasa khas Jawanya. “Tenang ... Nih, buat lo,” kata Agnetha sembari memberikan satu gelas kosong dan sebotol air mineral. “Tuangin sendiri,” sambungnya. Tiba-toba saja, cuaca di luar rumah menjadi tidak karuan. Langit yang menggelap, dan terdengar petir kecil kala mereka sedang asyik bergurau. Benar saja, tidak lama kemudian hujan mengguyur kota. Menambah kebekuan yang ada di diri Kim sejak tadi. Entah, Kim menjadi seperti Davin yang terkesan dingin, justru dia malah melebihinya. “Tahu, nggak sih, kalau kita itu manusia yang tidak tahu diri?” tanya Agnetha yang tiba-tiba menarik perhatian keenam temannya. Mereka menatap Agnetha untuk menunggu kalimat selanjutnya. Tapi, ternyata malah dia terdiam untuk menunggu jawaban dari teman-temannya. Akhirnya, keheningan pun terjadi lagi selama beberapa saat. “Krik ... Krik .... “ sambungnya sembari tertawa. “Lanjutin lah, kita nunggu,” kata Anara sembari membenarkan ikat rambutnya. “Iya, kita ini kan manusia. Diciptakan untuk ibadah, untuk berbuat kebajikan. Tapi, sering kali manusia lupa akan Tuhan hanya karena hal duniawi. Padahal, kita sadar kalau dunia itu hanya semu dan memanipulasi,” kata Agnetha dengan tatapan serius. Sedangkan, teman-temannya malah tertawa dengan puas. Lebih tepatnya, mereka terheran dengan temannya yang tiba-tiba menjadi selayaknya motivator yang sudah handal. “Cakep ...!” teriak Davin, tetap dengan ekspresi yang begitu dingin. “Gue, enggak lagi berpantun. Terus, selain itu manusia, termasuk gue juga tololnya enggak ketulungan. Seharusnya, kita bisa membedakan mana baik mana buruk. Itu sebabnya, Tuhan ngasih otak untuk berpikir. Nah, contoh kecil, kita malak ke orang lain. Padahal, jelas itu tuh bersalah. Walaupun, digunakan untuk kebaikan. Itu sebabnya, kita tetap aja dapat apes. Karena, apa yang kita lakukan itu tiada berkah.” Agnetha berdiri melangkah ke arah meja. Meminum air putih lalu mengambil camilan tempe mendoan. Tidak bisa dipungkiri, perutnya telah mengeroyok hanya untuk meminta diisi. Benar, dia merasakan lapar sejak beberapa menit yang lalu. “Gue setuju, sih. Memang kadang, kita sendiri tidak sadar diri. Bahkan, banyak hal yang sebenarnya tampak dengan begitu jelas, tapi kita saja yang enggan untuk peduli dengan itu. Seperti, contoh kecilnya, jelas saja di depan kita ada sampah berceceran. Tapi, tangan kita begitu naif untuk memungutnya,” kata Pricilla sembari menatap ke arah tisu dan beberapa bungkus makanan yang masih berserakan di lantai. Sebagai manusia yang memiliki akal, seharusnya jauh lebih bisa menghargai sesuatu. Apalagi, terhadap lingkungan yang sudah jelas menjadi tempat tinggal kita. Tapi, lagi-lagi memang manusia, kadang begitu jahatnya sampai tidak mau untuk turun tangan menjaganya. Padahal, lingkungan yang terkesan kumuh pun akibat ulah tangan kita sendiri. Di saat teman-temannya sibuk dengan pendapat mengenai karakter manusia yang menjengkelkan, Kim begitu terlihat biasa saja. Bahkan, sama sekali tidak mengeluarkan kata-kata. Pricilla pun sudah paham dengan topik yang diambil oleh Agnetha hanya untuk mengungkap sisi lain dari sosok Kim. Tapi, rupanya topik itu tidak juga mempengaruhi untuk menunjukkan kelainan mental pada Kim. “Kim, itu pungut sampah di bawah lo,” kata Agnetha yang sengaja dengan nada agak tinggi. Tapi, lagi-lagi reaksinya hanya biasa pada umumnya. “Gue diam dari tadi. Kalian juga yang makan dan menghasilkan sampah, kenapa gue yang disuruh munguti sampah,” jawabnya sembari mengubah posisi duduknya. Mengangkat kaki ke atas meja dengan seenaknya. “Nah, lihat, manusia tidak sadar diri memang. Sudah tahu fungsi meja itu untuk meletakkan makanan bukan untuk kaki,” sindir Agnetha yang malah mengundang tawa teman-temannya akibat gaya bicaranya yang terkesan menggemaskan. Kim dengan kilat menurunkan kakinya. Merasa bosan dengan pembicaraan yang sejak tadi tidak pada intinya. Benar-benar drama, persis dengan sinetron. Rasanya, mual ingin pergi dari tempat itu. Tapi, kalau dipikir-pikir, pembicaraan itu juga ada sisi positifnya. Menyadarkan diri sendiri. Tapi, sayangnya mereka tampak seolah manusia yang masih tidak sadar diri. Bahkan, malah terlihat menertawakan diri sendiri. “Kalau masih lama, mendingan gue balik,” kata Kim pada akhirnya. Pikirannya besar-benar pusing dengan pembahasan yang hampir tidak berbobot. Tapi, bukan berarti tidak ada nilai pentingnya. Seakan, sudah paham dengan apa yang sebenarnya mereka bicarakan. Tapi, dalam pikirannya masih juga berkutat pada sebuah surat dari psikiater yang belum juga ditemukan. Makanya, Kim ingin sekali untuk segera pulang. “Jangan dulu, pembahasan ini itu penting tahu. Kalau merasa tidak cocok, ya, ganti topik saja. Tapi, tolong jangan pulang dulu, Kim. Ya kali lo mau balik, sedangkan kita masih banyak masalah uang belum terselesaikan.” Raynar berusaha untuk mencegah Kim agar tidak pulang terlebih dahulu. Benar-benar sesuai dengan dugaan Agnetha, mereka bisa diajak untuk kompromi dan kerja sama. “Ya, sudah sekarang bahas yang penting,” jawab Kim mengalah lalu kembali duduk di sofa. Raynar menarik napas. Terasa berat untuk hari ini. Pembahasan yang tidak jelas, walaupun ada beberapa manfaat yang bisa diambil sebagai motivasi atau pengingat diri. Tapi, tidak ada sama sekali kaitannya dengan kode atau sebuah materi dari materi ujian nanti. “Tha, pimpin gih buat bahas yang bermanfaat,' kata Raynar. “Lo pikir gue ngomong kek tadi itu enggak ada manfaatnya?” jawabnya sembari melipat tangan, “kalau begitu, lo aja yang nyari topik biar kita bisa kumpul kaya begini,” sambung Agnetha dengan raut wajah yang berubah seratus delapan puluh derajat. “Bukan begitu, Tha. Tapi, lo ngomong panjang banget kek kereta,” kata Anders. “Sekarang, mau apa lagi, tuh hujan dah reda,” kata Anara sembari melihat luar dari jendela yang tirainya terbuka. “Bahas digit ketiga saja, daripada tidak jelas.” Kim berdiri lalu mengambil sebuah laptop yang ada di laci bawah televisi. Laptop milik Anara yang berwarna putih itu. Tambah lagi, laptopnya begitu canggih bisa disentuh bagian layarnya dan bisa dilipat. Dunia telah semakin maju dalam bidang teknologi, sayangnya, masih banyak orang yang seakan enggan untuk mempelajarinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN