Surat Terbuka

1143 Kata
Kim menghentikan mobilnya dengan mendadak. Di depannya ada seorang perempuan yang sedang menyeberang dengan sembarangan tanpa melihat kanan kiri. Kim keluar dari mobil untuk melihat seseorang yang berdiri sembari memegangi telinga. Sekaligus, menjadi kesempatan untuk mengelap darah yang mengalir dari hidungnya. “Mbak, maaf ya,” kata Kim dengan sopan, “apa ada yang terluka?” sambungnya. “Tidak ... tidak apa-apa. Saya yang harusnya minta maaf. Tadi, saya terburu-buru mau naik angkutan. Jadi, tidak sempat tengok kanan dan kiri,” jawabnya. Ibu itu melanjutkan menyeberang dan berdiri di tepi jalan untuk menunggu angkutan selanjutnya. Begitu pula Kim yang kembali ke mobil. Melanjutkan perjalanan untuk kembali ke rumah. “Tidak kenapa-kenapa, kan?” tanya Pricilla. “Ga pa-pw. Mbak itu buru-buru buat naik angkutan, terus jadi enggak tengok kanan dan kiri.” Beberapa waktu kemudian, mereka telah sampai di warung Pak Rahman yang tertutup rapat. Mungkin sedang libur berdagang. Mereka kembali ke rumah masing-masing dengan mengendarai taksi online. Kecuali, Pricilla pulang dengan jalan kaki. Kebetulan, tidak jauh dari warung itu rumahnya berdiri. Keesokan harinya, mereka kembali pada rutinitas di sekolah. Mengikuti berbagai kegiatan sekolah, walaupun tidak ada niat yang serius. Telah sampai di kelas dan duduk di tempat masing-masing. Dua menit lagi bel akan berbunyi sebagai tanda jam masuk sekolah telah dimulai. “Selamat pagi,” kata guru itu, “anak-anak saya akan memberikan kalian bimbingan konseling,” sambungnya. Guru itu duduk di tempatnya. Membuka buku besar yang digunakan untuk absensi muridnya. Memanggil nama siswa dan siswinya satu per satu untuk mengetahui siapa yang hadir dan tidak. Tapi, justru hal itu tidak efektif. Jelas-jelas di ruangan itu kursi penuh dengan siswa siswinya. “Bu, kan sudah jelas semuanya ada di bangku masing-masing. Enggak ada yang bolong satu pun. Ngapain juga pakai di panggil satu-satu,” kata Agnetha sembari memainkan bolpoin. Guru itu berdiri sembari membawa bolpoin warna hitam. Berjalan keliling kelas sembari mengamati siswa dan siswinya. Mengecek pakaian dan atribut, apakah sesuai peraturan atau tidak. “Baik, tingkatkan dan pertahankan. Tapi, kemarin dua hari kalian bertujuh kenapa tidak masuk ke sekolah?” Bu Santi berhenti di samping Anders. Menunggu jawaban dan penjelasan dari ketua geng itu. Tapi, mereka enggan untuk menjawab. Padahal, Bu Santi telah menunggu klarifikasi sejak satu menit yang lalu. “Agnetha, tolong jelaskan,” katanya sembari menatap Agnetha yang duduk di bangku belakang Anders. Duduk bersama Pricilla di bangku sebelah kanan. Agnetha terdiam. Ia memilih bungkam daripada mengeluarkan suara dan ternyata membahayakan nama baik geng. Tumben, kali ini Agnetha memiliki pikiran yang logis. Biasanya, dia akan dengan gamblang menjawab pertanyaan dari guru. “Baiklah, kalian tidak ada yang mau menjawab. Kalau begitu, saya minta kalian membuat surat terbuka yang diposting di akun sosial kalian serta menandai akun sosial media milik sekolah. Itu hukuman atas kelakuan kalian selama dua hari.” Bu Santi kembali ke depan kelas. Menuliskan beberapa kata yang berkaitan dengan cara mengatur waktu. “Baik, saya akan menjelaskan ke kalian agar bisa lebih bijaksana dalam menggunakan waktu. Sehingga, waktu yang diberikan oleh Allah selama dua puluh empat jam itu bisa lebih baik dan menjadikan kalian manusia yang produktif,” katanya sembari mengambil kertas putih dari meja. Memberikan kepada salah satu siswa yang duduk di barisan paling depan. Meminta bantuan agar kertas itu bisa terbagi rata ke teman-temannya. “Sekarang, tuliskan kegiatan kalian selama dua puluh empat jam di kertas itu dalam waktu lima menit,” perintahnya. Lima menit kemudian, guru itu meminta kepada muridnya agar mengumpulkan kertas itu kembali. Membaca sekilas jawaban yang tertulis di kertas itu. Rata-rata semuanya sama. Begitu tidak produktif dan banyak waktu yang terbuang sia-sia. “Nah, ini rata-rata waktu kalian terpakai untuk sesuatu yang tidak ada manfaatnya. Boleh menonton film atau drama, tapi rata-rata film itu satu sampai dua jam. Tapi, kenapa kalian menggunakan waktu istirahat kalian untuk menonton film sampai selama empat jam? Sekarang, coba deh kalian gunakan sistem one day one film untuk kegiatan refleksi kalian. Setelah itu, gunakan waktu yang lainnya untuk kegiatan yang lebih bermanfaat. Contohnya, menekuni hobi. Percaya atau enggak, terkadang hobi bisa mendatangkan penghasilan. Terakhir, saya tunggu surat terbuka dari geng luoji,” ucapnya lalu menutup pembelajaran. Bu Santi keluar dari sekolah lalu kembali ke ruangannya. Sedangkan, geng luoji malah asyik berkumpul dengan bermain dengan kertas dan pensil. Bermain SOS di kertas itu sampai akhirnya dimenangkan oleh Kim. Tidak di sadari, ada seorang guru masuk ke kelas. Tentu saja, guru itu kepala sekolah SMA Go Publik. Seperti telepati, benar saja kepala sekolah meminta geng luoji untuk ke ruangannya. Katanya, ada hal penting yang akan disampaikan. “Sudahlah, mungkin hanya hukuman lagi,” ucap Anders yang sudah terbiasa dengan panggilan dadakan dari kepala sekolah atau guru BK. “Gue aja yang bertemu sama kepala sekolah. Kalian nanti kalau disuruh nyusul, baru nyusul,” sambungnya sembari mengikuti langkah kaki kepala sekolah. Sesampainya di ruangan kepala sekolah, Anders hanya diberi satu kertas bertuliskan contoh surat terbuka. Benar saja apa yang sudah diperkirakan oleh mereka. Lagi-lagi hanya hukuman. Anders telah kembali ke kelas sejak dua menit yang lalu. Memberikan kertas itu kepada temannya. Membaca dan memahaminya lalu membuatnya di sebuah aplikasi. “Santai saja, kita bakal buat surat terbuka jauh lebih romantis dari ini,” ucap Anara. Anara membuka aplikasi edit foto. Membuat desain yang menarik dan terkesan manis. Ya, pikir Anara dari desain yang manis akan mengalihkan warga dunia maya dari isi surat itu. “Lo pikir ini surat cinta?” tanya Pricilla kepada Anara. “Santai ... kita bikin yang jauh lebih baik dari itu. Kita ini kaum milenial, kita harus bisa membuka pikiran dan berkreativitas. Jadi, gue bakal buat yang lebih kreatif,” jawab Anara sembari membuat template untuk surat terbuka itu. Anara membuat sebuah desain yang memang manis. Berlatar warna merah muda, ditambah gambar-gambar yang estetik berwarna sepadan dengan latar. Mengangkat tema cinta budaya, katanya. Di dalam desain itu dihias dengan gambar-gambar yang berkaitan dengan budaya Indonesia. Begitu indah dan selaras paduan warna dan gambar. Komposisi yang tepat membuat hasil desain Anara begitu terlihat jauh lebih menarik untuk dipasang di sosial media. “Sudah jadi, tapi gue ogah kalau disuruh mengunggah di sosial media gue.” Anara memberikan ponselnya ke Anders. “Surat Terbuka. Kami dari geng luoji meminta maaf yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang merasa terganggu oleh kami. Terutama, pihak SMA Go Publik, selama dua hari kemarin, kami tidak masuk ke sekolah karena harus mencari inspirasi. Sebab, hukuman dari sekolah yang begitu memberatkan sehingga membuat kami sedikit stres dan membutuhkan self healing. Sekian dan terima kasih.” Anders membaca tulisan yang telah diketik rapi di sana. “Gila ... Ra, itu jujur banget. Kalau nanti malah menambah beban kita bagaimana?” sahut Pricilla. “Jangan takut, kita kan diajarkan oleh mereka untuk berbuat kebajikan, salah satunya kejujuran. Ya, sudah kita jujur saja.” Mereka berjalan pergi untuk meninggalkan sekolah. Beberapa menit yang lalu, bel telah berbunyi. Mereka kembali ke rumah masing-masing. “Pris, Mama .... “
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN