Pricilla pergi dari kantin. Baru saja sampai di samping ruang kelas XI IPA 1, Pricilla mendengar suara Bu Santi yang sedang berbicara dengan Bu Marni. Bukan maksud untuk menguping pembicaraan, tapi namanya terus disebut. Siapa yang tidak penasaran kala namanya dijadikan bahan pembicaraan?
Kakinya melangkah beberapa langkah mendekat ke arah kantin. Berusaha menangkap inti dari pembicaraan itu. Dari sana, Pricilla mengetahui bahwa orang yang telah memborong donat dagangannya adalah Bu Santi dan guru-guru di SMA Go Publik. Mereka merasa bangga dengan Pricilla yang bisa berkreativitas dalam mencari penghasilan. Itu sebabnya, mereka mendukung dengan membeli donat buatan siswinya.
“Ternyata, Bapak dan Ibu selalu mendukung dan menghargai prestasi anak didiknya. Mungkin, hanya caranya saja yang berbeda,” lirihnya.
Pricilla beranjak pergi meninggalkan sekolah. Kembali ke rumah untuk memberikan uang hasil dagangan hari ini. Sebelumnya, Pricilla mampir ke warung di mana ia menitipkan pagi tadi.
“Neng, ini uang donat,” katanya sembari mengulurkan kotak wadah donat kepada Pricilla.
“Ya Allah, habis Pak? Terima kasih banyak,” kata Pricilla dengan tersenyum. Mengambil satu lembar uang warna biru dan satu lembar warna ungu. “Ini buat Bapak,” sambungnya.
“Tidak usah, Neng. Kalau saya boleh kasih saran, coba deh buat brand supaya lebih menarik dan bisa memperluas jangkauan. Jadi, orang-orang tahu kalau donat unik ini punya Neng Prissy,” kata Pak Rahman. “Terus, dikasih stiker di bungkusnya. Kasih nomor hp biar kalau ada orang yang mau pesan, bisa langsung menghubungi,” sambungnya dengan logat bahasa daerah Betawi—Jakarta.
“Iya juga, ya, Pak. Coba nanti saya pelajari, ya, terima kasih untuk hari ini. Besok, saya boleh titip lagi, kan?” kata Pricilla.
“Tentu saja boleh. Oh iya, bentuk dan topping di buat lebih bervariasi,” jawabnya.
Pricilla berpamitan lalu kembali ke rumah. Menyusuri jalanan raya lalu jalan gang sempit agar sampai ke rumah dengan selamat. Masuk ke rumah menemui Alya yang duduk di ruang tamu sembari mengoleskan minyak tawon ke kakinya. Perlahan, jemarinya itu mengurut kaki-kaki yang terasa pegal dan linu.
Pricilla duduk di depan pintu, melepas sepatu lalu mendekati ibunya. “Mam, kenapa?” tanyanya setelah duduk di sebelah Alya dengan tersenyum manis. Berharap, senyumannya bisa memberikan ketenangan.
“Lelah saja. Nanti juga sembuh,” jawabnya masih mengurut kaki menggunakan minyak tawon. “Pris, alhamdulillah tadi dagangan Mama habis. Banyak yang borong katanya selain unik rasanya juga enak. Tapi, Mama kasih beberapa bungkus untuk percobaan pembeli,” sambungnya.
“Enggak apa-apa Ma, justru itu salah satu strategi marketing yang benar. Jadi, kita tidak akan mengecewakan pembeli atau menipu pembeli dengan mengatakan rasa enak, jadi mereka bisa menilai sendiri soal rasa,” jawab Pricilla sembari mengeluarkan uang hasil dagangan dari dalam tas ranselnya.
Pricilla memberikan uang itu kepada Alya. Walaupun ibunya hanya mantan asisten rumah tangga, soal keuangan beliau tidak kalah dari pegawai bank. Alya menyisihkan uang modal yang dikeluarkan hari kemarin. Kemudian, mengambil seperempat keuntungan untuk tambahan modal. Seperempat masuk ke kantong. Lalu setengahnya lagi masuk ke beberapa jenis tabungan yang ada.
“Pris, untuk saat ini pengaturan uang kita seperti ini dulu, ya? Ya, tujuannya agar usaha tetap berjalan. Jadi, sebisa mungkin tidak sampai kehabisan uang modal.”
Pricilla mengangguk lalu meminta izin untuk membersihkan diri dan mengerjakan beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan. Salah satunya mengenai saran dari Pak Rahman. Pricilla memikirkan nama yang akan dipakai dan konsep kemasan. Sampai ia terlarut dalam ilusi yang tidak berkaitan dengan usaha kecilnya.
Pricilla terlalu lama terjun ke dalam dunia film. Tentu saja, film dari Korea itu. Dia sama saja dengan remaja pada umumnya yang memiliki sosok idol. Apalagi, idol ternama dari Korea. Tapi, beruntung Alya menyadarkan putrinya agar kembali fokus pada tujuan awalnya.
Sejak itu juga, Pricilla teringat dengan tugas sekolah yang belum selesai. Baru saja hendak mengambil buku, tapi listrik telah padam dari pusat. Alya meraba untuk berjalan sampai dapur. Menyalakan lilin lalu kembali ke kamar putrinya.
“Makanya kalau punya tugas itu harus segera diselesaikan.”
“Mam, tadi Prissy pulangnya masih awal banget. Bahkan, belum sampai jam dua belas. Tapi, kenapa pas sampai di rumah sudah gelap saja ya,” keluhnya.
“Kamu mampir-mampir dulu kali. Hayo, tadi mampir ke mana?” godanya.
“Eh, Prissy kan tadi jalan kaki. Terus mampir ke warung Pak Rahman juga. Tapi, Mama tenang saja, kaki masih aman.”
“Pulang awal? Memang ada apa?” tanya Alya sembari meraih jaket milik Pricilla yang ada di belakang pintu.
“Biasalah. Oh iya Ma, Allah begitu baik. Allah sudah menurunkan Bu Sinta, Pak Rahman, dan guru-guru di SMA yang begitu banyak berjasa bagi kita. Bu Sinta yang membantu melariskan donat, lalu Pak Rahman yang memberi saran untuk membangun branding,” katanya sembari tersenyum. Walau kepala menunduk untuk mengingat jasa-jasa orang baik di belakangnya. “Prissy hanya bisa mendoakan mereka agar selalu dilindungi oleh Allah,” sambungnya.
“Alhamdulillah, Mama juga bersyukur. Tadi, Mama berjualan keliling, anak-anak banyak yang tertarik dengan donat isi cokelat lumer dan donat bulan. Kata mereka unik dan lezat. Kemudian, bertemu salah satu teman Mama kalau ikut kajian di masjid, dulu, beliau memborong donat Mama yang masih tersisa,” kata Alya sembari berurai air mata, terharu. Ternyata, banyak orang yang masih memberi dukungan.
Alya mengajak Pricilla untuk mengambil air wudu. Sembahyang tiga rakaat kepada Allah. Kemudian, mereka tidak lupa untuk memanjatkan doa-doa terbaik yang diberikan khusus untuk orang-orang baik juga.
Rasa syukur yang begitu dalam terus tercurah dalam doa-doa. Sebuah kebaikan yang tidak tahu dengan cara apa yang tepat untuk membalasnya. Padahal, mereka begitu tulus membantu Pricilla dan juga Alya. Satu hal yang bisa Alya dan Pricilla hanya bersyukur dan memanjatkan doa. Meminta hal terbaik dari Allah.
Selesai salat, mereka kembali duduk di tepi ranjang hanya ditemani satu tangkai lilin yang menyala. Tidak lama kemudian, listrik telah menyala kembali. Pricilla melanjutkan untuk mengerjakan tugas rumah dan membuat desain stiker agar kemasan donatnya semakin menarik.
“Mam, kalau seperti ini bagaimana?” tanya Pricilla.
“Bagus, besok tinggal di cetak,” jawab Alya lalu beranjak mengambil air mineral yang ada di meja kamar putrinya. Meneguknya dua tegukan untuk meringankan rasa dahaga yang menyerang tenggorokan.
“Mam, keluar yuk sesekali makan enak. Prissy pengen beli martabak,” kata Pricilla eembari menarik lengan ibunya.
Mereka pergi ke tepi jalan raya untuk mencari penjual martabak. Saat ingin menyeberang, Pricilla melihat sosok anak jalanan yang tampak menahan rasa lapar. Pricilla tersenyum lalu melanjutkan untuk menyeberangi jalan. Memesan dua dus lalu menunggunya dengan duduk di bangku yang disediakan.
“pris, kok beli dua,” lirih Alya tepat di telinga putrinya.
“Ma, lihat deh,” jawab Pricilla sembari menunjuk ke seberang jalan.