Benar kehilangan

2210 Kata
Nirina hanya menatap kosong makam yang menjulang di hadapannya. Ini seperti mimpi. Tidak, bahkan Nirina tidak pernah memimpikan ini sebelumnya. Nirina tidak pernah menyangka bahwa akan kehilangan sang ibu dengan waktu cepat. Nirina kira, mereka berdua akan hidup bersama sampai Nirina menikah dan memiliki keluarga sendiri. Nirina bahkan sudah merencanakan akan tetap tinggal di rumah walau sudah berkeluarga nantinya. Nirina tidak ingin berpisah dengan mamanya sedikit pun. Namun kenyataan yang terjadi sekarang, Mamanya sudah pergi. Meninggalkan Nirina sendiri di sini. Nirina tidak sanggup membayangkan bagaimana melanjutkan hidup tanpa sosok paling berarti di hidupnya. Ibunya. Anah menatap khawatir Nirina yang hanya diam. Tanpa air mata yang membasahi pipi. Gadis itu hanya memandangi pusara ibunya dengan posisi berdiri dengan bantuan tongkat yang menyangga. “Nduk,” panggil Anah. Khawatir dengan majikannya yang hanya diam. Lebih baik melihat Nirina yang menangis dan meraung dari pada hanya diam dengan tatapan kosong. “Ma.” Laura jatuh terduduk. Tongkat yang sedari tadi menyangganya agar tetap berdiri sudah jatuh lebih dulu ke tanah. Nirina tidak menghiraukan rasa sakit yang ditimbulkan karena menjatuhkan diri di atas makan ibunya yang masih basah. “Ma,” panggil Nirina lirih. Jika bisa, Nirina akan menggantikan posisi ibunya yang tertimbun di bawah tanah. Ibunya pasti kedinginan di sana. Nirina tidak tega membiarkan ibunya tidur sendiri. Nirina ingin ikut saja. Jika Nirina ikut, mungkin tidak akan merasakan perasaan sesak ini. Lebih baik meninggalkan dari pada ditinggalkan. Terdengar egois memang. Namun jika meninggalkan maka tidak akan merasakan sakit seperti saat ditinggalkan. Tapi dengan kata lain kita yang membuat rasa sakit pada orang yang ditinggalkan. “Ma, jawab aku,” lirih Nirina. Berharap ibunya memberikan respons. “Ma, aku sama siapa nanti kalau mama pergi? Aku enggak punya siapa-siapa lagi. Enggak ada orang yang sayang sama aku selain mama. Ma, aku mohon, kembali ya,” bujuk Nirina. Kali ini air mata sudah mengucur bebas. Nirina kira air matanya sudah habis. Tapi ternyata masih tersisa banyak. “Ma, ayo pulang. Kita makan bareng. Janji deh, aku bakal nurut sama mama. Enggak akan membantah ucapan mama lagi. Tapi mama pulang ya.” Nirina masih terus berusaha mengajak mamanya pulang. Siapa pun yang mendengar pasti akan ikut terlarut dalam perasaan duka yang gadis itu rasakan. Seperti halnya seorang pria yang saat ini berdiri di balik pohon dekat posisi Nirina. Pria yang menutupi wajahnya dengan masker dan topi itu ikut menangis mendengar permohonan yang Nirina katakan di depan pusara mamanya. Perasaan bersalah makin besar terasa. Karena perbuatannya yang tidak hati-hati, menyebabkan hilangnya nyawa orang lain dan satu orang lainnya terluka parah. Permintaan maaf saja tidak akan cukup untuk menebusnya. “Maaf, maaf, maaf,” gumam pria yang bersembunyi di balik pohon. Mengulang kata maaf. “Nduk, ayo pulang dulu. Sudah mau hujan,” ajak Anah. Anah sedari tadi memilih diam. Membiarkan Nirina mengungkapkan perasaannya pada ibunya. Mungkin setelah lega mengatakannya semua, gadis itu akan berangsur membaik. Itu harapan Anah. Semoga saja. “Kamu masih punya nenek yang sayang sama kamu,” ucap Anah mengingatkan Nirina bahwa masih ada dirinya. Anah akan dengan sekuat tenaga melindungi dan menjaga nona mudanya. Nirina diam saja namun menurut saat dituntun untuk bangkit. Anah dengan telaten membantu Nirina agar bisa berdiri lagi dan memberikannya tongkat sebagai penyangga tubuhnya sementara. “Nanti kalau kamu kangen mama, kamu bilang sama nenek saja ya Nduk, nanti nenek temani,” kata Anah yang duduk di kursi samping kemudi. Membiarkan Nirina duduk sendiri di kursi belakang. Mereka pulang dengan di jemput supir yang memang bekerja di rumah. Tidak ada jawaban. Nirina seakan tidak mendengarkan suara di sekitarnya. Sibuk dengan dunianya sendiri. Dunia indah dalam lamunan. Nirina hanya menatap kosong kaca di sampingnya. Masih mencoba menyangkal semua yang sudah dilalui namun sadar bahwa yang dilihat bukan hanya sekedar ilusi melainkan kenyataan yang kebenarannya tidak bisa diragukan. Tiba di rumah, perasaan Nirina makin sakit. Rumah menjadi tempat mereka menghabiskan waktu. Entah bersantai, memasak, atau membersihkan rumah bersama. Mamanya yang single parent menempatkan diri bukan hanya menjadi ibu tapi juga ayah. Nirina bahkan tidak pernah merasa menjadi korban broken home karena mamanya terlalu sempurna memainkan peran. Ya walau ada saat-saat tertentu Nirina berharap jika keluarganya utuh lagi seperti dulu. Sayang, keinginannya tidak akan pernah bisa terwujud sampai kapan pun. Saat itu karena ayahnya yang sudah bahagia bersama keluarga barunya. Dan sekarang ditambah ibunya yang sudah kembali ke pelukan Tuhan. Selamanya, Nirina hanya bisa mengenang keluarga bahagianya dulu dalam ingatan. Tanpa bisa merasakan lagi. Memasuki rumah, wangi ibunya masih tercium jelas. Ini yang membuat Nirina masih merasakan kehadiran ibunya di rumah ini. Ruang tamu yang biasanya terisi meja dan kursi, sekarang hanya ruang kosong dengan karpet sebagai alas. Ah, ini digunakan untuk mengaji. Mendoakan ibunya agar di sana mendapat kemudahan dan diberikan tempat yang layak. Nirina memutuskan untuk memasuki kamar. Mungkin akan mengistirahatkan jiwa dan raganya sebentar. Nirina membutuhkan ketenangan sejenak. Kehilangan dengan tiba-tiba membuat gadis muda itu terguncang. Terguncang dengan sangat. Merasa putus asa karena sudah tidak ada lagi pegangan. Dalam sudut hati Nirina terdalam, mengharapkan bahwa dirinya juga ikut saja dengan ibunya. Mungkin akan lebih baik. Mereka tidak akan terpisah. “Ma, aku harus bagaimana?” lirih Nirina mengusap potret ibunya yang tengah tersenyum. Nirina beralih pada bingkai di sebelahnya. Gambar keluarga bahagia. Ayah, ibu, dan satu anak perempuan yang dicium kedua pipinya. Nirina masih mengingat jelas kapan dan di mana foto itu diambil. Di taman bermain 10 tahun silam. Saat keadaan keluarganya masih baik-baik saja. Sayangnya, kebahagiaan itu tidak berlangsung selamanya. Beberapa bulan setelah foto tersebut diambil, kedua orang tuanya jadi sering adu mulut. Ayahnya juga jarang berada di rumah. Nirina kecil tidak tahu apa-apa. Tapi gadis itu tahu, bahwa keluarganya tidak lagi sama seperti dulu. Puncak keributan terjadi saat usia Nirina tepat 8 tahun. Biasanya, di hari ulang tahun akan ada kejutan. Hari itu Nirina diberi kejutan. Kejutan kedua orang tuanya yang ribut besar sampai ibunya menangis dengan keras. Nirina ingat, setelah itu ayahnya keluar dari rumah membawa koper besar dan tidak kembali lagi sampai hari ini. “Aku kira, aku hanya akan kehilangan papa,” lirih Nirina. Menarik nafas panjang. “Ternyata aku juga harus kehilangan mama. Saat papa pergi, mungkin karena aku belum tahu apa-apa jadi ya. Enggak terlalu sakit. Sakit saat tahu bahwa papa tidak akan pernah kembali karena sudah memiliki keluarga baru di sana. Rasanya sakit banget waktu itu. Tapi ini, berkali lipat lebih sakit. Mama bahkan enggak ngucapin salam perpisahan. Tiba-tiba langsung pergi. Apa aku harus merelakan mama seperti dulu aku merelakan papa?” Nirina bermonolog masih dengan memandangi kenangan terakhir kehidupan bahagianya. “Tapi mungkin akan sulit ma. Mama terlalu berharga sampai tidak semudah itu aku merelakan. Harusnya aku bisa ikhlas agar mama bisa tenang di sana. Tapi nyatanya itu sulit ma.” Air mata kembali menetes. Nirina tidak bisa. Terlalu lelah menangis, Nirina tertidur sendiri dengan posisi duduk di meja belajarnya dengan wajah menghadap foto keluarga. Nirina ingin kembali ke masa dirinya dulu hidup bahagia bersama kedua orang tuanya. Hidup tanpa beban dan rasa sedih. Apa Nirina bisa meminta Tuhan untuk memutar waktu dan berhenti di sana selamanya? “Nduk, ayo bangun dulu. Sudah sore. Nanti habis magrib akan ada pengajian.” Anah menggoyangkan lembut tubuh Nirina. Anah bisa melihat dengan jelas bekas air mata di pipi Nirina. Makin sedih saat melihat bingkai yang sepertinya menjadi alasan Nirina duduk di sini. “Ada apa nek?” tanya Nirina dengan suara parau. Merenggangkan tubuhnya yang terasa sakit semua. “Sudah sore Nduk. Bangun terus mandi ya. Habis magrib ada pengajian,” ulang Anah. Anah mengusap rambut Nirina saat melihat wajah Nirina yang kembali muram. “Ayo sayang. Nanti yang datang disapa ya,” pesan Anah. Nirina beranjak menuju kamar mandi yang ada di dalam kamar. Walau rumah ini dibangun di kawasan padat penduduk dengan bangunan sederhana, namun semua kamar di rumah ini memiliki kamar mandi pribadi di masing-masing kamar. Rumah ini menjadi tempat tinggal Nirina dan mamanya pasca perceraian berlangsung. Rumah yang dibeli dari hasil menjual rumah lama. Rumah lama terlalu banyak kenangan dan rasa sakit. Tetap tinggal di sana hanya akan semakin menimbulkan rasa sakit. Seluruh hasil penjualan rumah masuk pada rekening mama Nirina. Karena rumah itu dibeli oleh mama Nirina bahkan sebelum menikah. Untuk bertahan hidup, mengandalkan usaha peninggalan mendiang orang tuanya yang secara keseluruhan menjadi milik mama Nirina sebagai anak semata wayang. Malam harinya, Nirina hanya diam dan merespons dengan senyum kecil saat para tetangga datang dan mengucapkan bela sungkawa. Banyak dari mereka yang iba pada gadis muda itu. Di usia remajanya sudah terlalu banyak menanggung duka. Harusnya, seusia Nirina sedang bahagia-bahagianya menjalani hidup. Kehidupan masa putih abu-abu kan yang paling menyenangkan. Sayangnya, tidak berlaku pada hidup Nirina. Nirina dipaksa untuk dapat bertahan di saat orang yang di sayang memilih pergi. “Makan dulu ya. Makan yang banyak,” ucap Anah setelah semua tamu meninggalkan rumah. Nirina hanya tersenyum. Namun tidak menuruti ucapan Anah. Bagaimana bisa Nirina makan banyak di saat mamanya di sana bahkan tidak makan sama sekali? “Kamu mulai sekolah Senin depan saja ya nduk.” Anah masih belum tega membiarkan Nirina ke sekolah. Anah akan membiarkan Nirina menenangkan dirinya dulu baru kemudian jika sudah benar-benar siap membiarkan gadis itu untuk pergi ke sekolah. “Iya nek. Terima kasih sudah tetap berada di samping aku. Jangan pergi ya nek. Aku sekarang cuman punya nenek,” lirih Nirina. Mungkin ini takdir Tuhan yang mempertemukan mereka secara tidak sengaja. Nirina jadi masih memiliki orang lain yang peduli. Jika saja saat itu tidak pernah bertemu dengan Anah, sudah dipastikan sekarang Nirina hanya seorang diri di rumah ini. “Iya. Nenek akan selalu berada di samping kamu. Kita lewati semuanya bareng-bareng ya.” Anah membawa Nirina ke dalam pelukan. Mengusap lembut tubuh rapuh itu. Nasib mereka sama. Kurang beruntung karena ditinggalkan anggota keluarga. Nirina memutuskan untuk ke kamar setelahnya. Terbaring menatap langit-langit kamar. Di saat seperti ini, bayangan kehidupan bahagianya dulu selalu berdatangan. Nirina muak mengingatnya. Berharap semua itu segera sirna dari ingatan. Bukan karena benci atau apa. Tapi Nirina takut jika bayangan itu masih tetap ada, Nirina malah makin berharap dan menganggap itu nyata dan akan terulang lagi. Nirina tidak mau berharap pada hal yang tidak mungkin akan pernah terjadi. Sampai kapan pun bahkan sampai Nirina menghembuskan nafas terakhir. “Ternyata benar ya. Kalau mama sudah pergi. Padahal sedari di mobil tadi, aku masih terus menyangkalnya. Tapi saat tetangga datang mengaji dan mengucapkan bela sungkawa aku menyadari bahwa semua yang terjadi adalah benar. Aku benar kehilangan mama untuk selamanya,” lirih Nirina. Entah sampai kapan Nirina akan terus seperti ini. Merasa kehilangan hal yang wajar kan? Lelah menangis dan berandai, Nirina tertidur sendiri. Semoga saja besok bisa lebih menerima keadaan dan bisa melanjutkan kehidupan dengan baik. Pagi menyapa. Nirina masih betah dalam mimpi. Bergelung nyaman di bakik selimut tebal. Semalam, hujan mengguyur jadi udara pagi ini terasa menusuk. Nirina tidak bisa bangun sendiri. Selalu ada ibunya yang bertugas membangunkan karena alarm saja tidak mempan. Nirina sudah bangun namun masih bermalas dan sengaja menunggu ibunya untuk membangunkan. Sama seperti sebelum-sebelumnya. Lima menit, sepuluh menit, sampai satu jam. Yang ditunggu tidak kunjung datang. Nirina terduduk lesu. Dia melupakan fakta penting bahwa ibunya tidak akan datang membangunkan. Tidak akan pernah. Mereka sudah berbeda alam. “Ma, aku bahkan masih merasakan kehadiran mama di rumah ini. Apa sekarang mama sedang berada di kamar aku? Melihat apa anak gadisnya bisa bangun tanpa teriakan mama? Aku bisa kok ma. Tapi rasanya beda,” parau Nirina. Tersenyum sendu di sela tangis diamnya. Nirina lupa jika ibunya sudah tidak ada. Mulai saat ini harus terbiasa melakukan semuanya sendiri tanpa bantuan dan campur tangan wanita yang telah melahirkannya itu. Nirina menuju ruang makan bermaksud mengisi perutnya. Ruang makan yang bersebelahan dengan dapur makin menampar Nirina akan keadaan saat ini. Biasanya, akan ada ibunya di sana. Memasak dengan nenek Anah. Sekarang hanya nenek Anah sendiri. Bayangan ibunya yang tersenyum meminta Nirina untuk menunggu masakan matang melintas. Masih teringat jelas seperti nyata. Kehilangan orang yang berarti di hidup kita ternyata menyiksa. Nirina bahkan berniat menyerah karena rasa sesak yang selalu timbul. “Nduk?” “Iya Ma?” “Eh iya nek. Ada apa?” Nirina meralat saat menyadari bukan ibunya yang memanggil namun Anah. Anah maklum. Nirina masih dalam kondisi kehilangan. Tidak mudah merelakan orang yang kita sayang pergi begitu saja. “Ayo makan. Tadi nenek masak nasi goreng sama telur orak-arik kesukaan kamu.” Anah mengangsurkan piring berisi nasi goreng buatannya. Nirina tersenyum kecil menerima dan tidak lupa bergumam terima kasih. “Assalamualaikum,” sapa seorang pria memasuki rumah. Nirina bergeming. Enggan menatap atau sekedar basa basi menyapa orang yang baru datang. Untuk apa juga. Dia tidak sepenting itu. Nirina bahkan mengutuk kehadiran pria itu di sini. “Nak, Nirina. Papa datang,” ucap pria yang menyebut dirinya papa pada Nirina memberi tahu Nirina bahwa dirinya sekarang berada di sini. “Nak,” panggil pria setengah baya bernama Haidar. Nirina melanjutkan makannya tanpa repot menoleh untuk merespons. “Maafkan papa baru bisa datang,” ucap Haidar dengan nada bersalah. Haidar menyesal tidak bisa berada di samping putrinya saat tengah terkena musibah. Padahal jika lebih dipikirkan lagi, itu juga karena Haidar. “Untuk apa minta maaf? Maaf papa juga enggak dibutuhkan kok. Pintu keluar ada di sana,” jawab Nirina datar. Sudah terlalu muak dengan ayahnya. Nirina masa bodoh dengan sopan santun.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN