Kecewa

1266 Kata
Haidar terdiam cukup lama. Tidak menyangka bahwa putrinya berani berbicara seperti itu. Apa ini yang diajarkan mendiang istrinya? Haidar tidak habis pikir. Sebenci itu Diana padanya sampai memberi pengaruh buruk pada putrinya agar ikut membenci Haidar? “Apa seperti ini yang mamamu ajarkan? Tidak sopan pada papa?” tanya Haidar dengan nada datar. Matanya menatap tajam putri satu-satunya. Nirina menaikkan alisnya. Apa tidak salah Haidar berkata demikian? Lelaki itu sadar kan? Atau sedang dalam pengaruh obat? Harusnya bertanya pada dirinya sendiri. Apa yang sudah dilakukan sampai Nirina seperti ini. “Bagaimana kabar papa? Papa sehatkan?” tanya Nirina dengan senyum tipis. “Seperti itu mau papa? Aku sopan dan menganggap semua baik-baik saja?” sinis Nirina. Tidak ada lagi senyum yang tersungging. Nirina mengganti ekspresi wajahnya cepat seperti memiliki kepribadian ganda. “Sebelumnya aku selalu sopan dan menghormati papa. Tapi sekarang aku sadar, keberadaan papa di hidup aku enggak sepenting itu. Ya sama seperti keberadaan aku di hidup papa. Enggak penting sama sekali kan? Sampai membiarkan aku menanggung semuanya sendiri.” Nirina tidak bisa bersabar lagi menghadapi Haidar yang tidak tahu diri. Nirina terlalu kecewa. Orang yang seharusnya berada di sampingnya. Menemaninya dalam kondisi duka malah tidak sama sekali datang. Jangankan datang. Mengirim pesan atau menelepon saja yang gampang saja tidak. “Ah, dan jangan bawa-bawa mendiang mama saya. Mama bahkan mengajarkan semua dengan baik. Mengajarkan semua yang belum pernah papa lakukan. Tapi, bersikap sopan kan juga harus melihat terlebih dahulu sikap orang tersebut.” Nirina meletakkan sendoknya. Sudah tidak ingin makan lagi. Lapar yang tadi mendera juga pergi begitu saja. “Papa mau aku menghormati, menghargai, dan sopan terhadap papa? Pa, coba pikir deh. Siapa yang secara tidak langsung mengubah aku seperti ini. Papa yang masa bodoh dan seolah tutup mata atas semua yang menimpa aku. Dan aku harus tetap bersikap baik?” Nirina menggeleng. “Enggak akan. Aku akan memperlakukan orang sesuai bagaimana orang tersebut memperlakukan aku,” tegas Nirina. “Nduk, sudah. Tidak boleh seperti itu,” peringat Anah. Anah sebenarnya ingin pergi saja. Ini bukan menjadi urusannya. Tapi tidak bisa meninggalkan Nirina hanya berdua dengan ayahnya yang saat ini dalam keadaan emosi. Anah takut terjadi sesuatu yang buruk pada Nirina. Beberapa kali Anah bertemu dengan Haidar dan Anah dapat menilai bahwa Haidar bukan tipe orang yang dapat menahan amarahnya. Pria itu tidak segan bermain tangan. “Memang kenapa? Karena status dia sebagai papa aku? Tapi, mana ada papa yang enggak peduli sama keadaan anaknya. Padahal anaknya baru saja kecelakaan. Oh aku lupa, dia kan bukan cuman papa aku. Tapi juga papa anak-anaknya yang lain. Miris banget ya. Di sini aku cuman punya dia. Sedangkan dia, di sana sudah memiliki semuanya. Dari istri sampai anak laki-laki yang diharapkan dari dulu,” dengus Nirina. Nirina sudah tidak bisa menahan kekecewaan yang ada. Pasalnya bukan kali ini saja Haidar lepas dari tanggung jawab. Setelah bercerai dulu, Haidar bahkan tidak pernah menemuinya sama sekali. Baru tiga tahun setelahnya mereka bertemu. Itu juga tidak sengaja. Nirina yang rindu akan kehadiran sosok Haidar beberapa kali meminta agar mereka bisa bertemu. Bagaimanapun, Haidar sosok ayah bagi Nirina. Pertemuan mereka tidak selalu mudah. Ada saja alasan Haidar untuk membatalkan. Nirina percaya saat Haidar mengatakan sibuk bekerja. Namun kekecewaan Nirina timbul pada saat Haidar membatalkan janji ke taman bermain karena Haidar sudah memiliki janji dengan anak yang lain. Nirina hanya bisa melihat dari jauh bagaimana Haidar memperlakukan dengan sayang balita berjenis kelamin laki-laki itu. Saat itu, saat pertama kalinya Nirina patah hati. Papanya ternyata bukan lagi orang yang sama sebelum meninggalkan rumah. Nirina mulai menjaga jarak dengan Haidar. Beberapa tahun terakhir, hubungan ayah dan anak itu kembali baik. Haidar mencurahkan kasih sayang terhadap anak gadisnya walau hanya melalui pesan dan sambungan telepon. Itu sudah lebih dari cukup untuk Nirina. Nirina juga sudah mulai menerima keadaan bahwa Haidar tidak akan kembali ke rumah dan menjalani hidup seperti dulu. Haidar suka sekali memberikannya hadiah-hadiah kecil saat pulang dari perjalanan dinas. Beberapa kali juga mereka keluar bersama. Nirina pernah mengunjungi rumah baru ayahnya. Namun yang didapat malah tatapan sinis dari istri baru Haidar. Sepertinya wanita itu tidak menyukai Nirina. Nirina mulai menerima bahwa dirinya bukan lagi anak tunggal. Melainkan memiliki tiga adik yang semuanya berjenis kelamin laki-laki. Tidak buruk juga memiliki adik karena mereka menerima kehadiran Nirina semua. Karena sikap ibu tirinya yang seolah tidak menerima kehadirannya, Nirina enggan jika di ajak ke rumah Haidar. Haidar bergeming. Ini memang salahnya yang mengabaikan kondisi Nirina. Tapi keadaan memaksa Haidar untuk memilih. Memilih antara keluarga baru atau putrinya yang sendiri. Pilihan Haidar jatuh pada keluarga barunya. Di sana, Haidar memiliki anak laki-laki yang sudah di inginkannya sedari dulu. “Aku mau istirahat. Capek,” ucap Nirina datar. Meninggalkan ruang makan dan makanannya yang masih banyak. Nirina sudah tidak bernafsu untuk melanjutkan makan. “Nak, papa tahu papa salah. Tolong maafkan papa. Papa berada dalam posisi yang sulit.” Nirina berhenti. Tanpa menoleh, membalas ucapan Haidar. “Sulit bagaimana? Sulit karena harus memilih antara aku dan keluarga baru papa? Ya itu urusan papa. Papa yang membuat semuanya jadi sulit. Ini hasil dari perbuatan papa dulu.” Nirina menghela nafas panjang. “Kalau memang papa harus memilih, pilih saja mereka. Kasihan mereka, masih membutuhkan sosok ayah. Jangan sampai kisah Nirina kecil yang kehilangan sosok ayahnya terulang lagi. Lagi pula, aku sudah terbiasa tanpa papa di sini,” lanjut Nirina. Jika memang seperti itu, Nirina akan mengalah. Kasihan tiga adiknya yang masih kecil. Nirina tahu rasanya kehilangan sosok ayah secara tiba-tiba. Dan tidak mau itu terulang kembali pada adik-adiknya. Nirina baik kan? Masih memikirkan adik beda ibunya tanpa memikirkan dirinya yang akan terluka, lagi. Nirina melanjutkan langkah. Menahan isaknya agar tidak keluar. Nirina ingin berteriak. Dirinya juga butuh sosok papa di hidupnya. Apalagi sekarang sudah tidak ada mamanya. Tapi Nirina tahu diri. Tidak mungkin papanya akan datang dan mengulurkan tangan. Tiba di kamar, Nirina merebahkan tubuhnya. Menutup wajahnya dengan bantal bermaksud meredam suara tangis yang keluar. Nirina memukul dadanya yang terasa sesak. Ternyata menjadi tidak diharapkan sesakit ini. Nirina tahu mengapa Haidar memilih meninggalkan rumah. Itu karena Haidar menginginkan anak laki-laki dan sayangnya anak yang Diana lahirkan adalah dirinya dan Diana divonis tidak bisa memberikan keturunan lagi akibat kecelakaan yang pernah menimpanya. Nirina mengetahui saat tidak sengaja mendengar percakapan papa dan istri barunya. Nirina terkejut tentu saja. Mengetahui sebuah fakta yang selalu membuat Nirina penasaran. Dan di sana, keinginan Haidar terkabulkan. Nirina tahu, pasti Haidar begitu bahagia menyambut kelahiran putranya. Tidak seperti dulu saat menyambut kelahiran Nirina. Pasti Haidar kecewa karena tidak sesuai dengan keinginan. “Kasihan sekali nasib kamu. Ditinggal mama, tidak menjadi pilihan papa, dan kondisi kaki yang pincang. Apa ada yang lebih menyedihkan dari ini?” ledek Nirina pada dirinya sendiri. Nirina selalu membayangkan jika saja dulu dirinya seorang laki-laki atau Diana dapat melahirkan anak lagi berjenis kelamin laki-laki. Mungkin hidupnya tidak akan semenyedihkan ini. Haidar pasti tidak akan menikah lagi dan Diana masih ada di dunia ini. Ah, bayangan yang indah. Yang sayangnya semua itu tidak akan menjadi nyata sekeras apa pun mencoba. “Apa di kehidupan selanjutnya juga akan seperti ini? Atau malah akan bahagia? Jika bahagia, apa aku harus mengakhiri semua kesedihan di dunia dan menyambut bahagia di kehidupan selanjutnya?” gumam Nirina. Nirina berpikir keras. Apa mengakhiri hidupnya menjadi pilihan yang tepat? Nirina ingin bahagia. Dan hidup di dunia hanya sedih yang dirasa. Nirina sudah tidak memiliki keluarga. Ah ada satu yang tersisa. Namun sayangnya tidak mengharapkan kehadiran Nirina. Nirina tersenyum saat mendapatkan jawabannya. Meyakinkan diri bahwa keputusan itu yang terbaik untuk dirinya juga semua orang. “Semoga saja keputusan yang tepat.” Nirina terlelap setelahnya. Terlalu lama menangis menguras tenaganya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN