3. Gulung Tikar

1112 Kata
Hari mulai berganti hari, dua bulan sudah berlalu sejak kejadian buruk di warung makan nasi padangnya. Namun, bukannya keadaan berangsur pulih, justru waring makannya kini semakin sepi pembeli. Padahal berbagai cara sudah Adi lakukan untuk kembali menghidupkan usahanya, yaitu dengan memberikan diskon khusus bagi pembeli yang bersantap di warung makannya. Tak tanggung-tanggung, ia memberikan diskon hampir dua puluh lima persen. Diskon yang cukup besar bagi mereka, karena dengan itu mereka hanya menerima sedikit keuntungan yang tidak akan bisa menutup jumlah mengeluaran. Tapi mau bagaimana lagi? Itu pun tak juga berhasil. Hingga akhirnya Adi benar-benar harus menutup warung makan nasi padangnya untuk selamanyaa, tepat dua minggu yang lalu. Awalnya, dengan terpaksa ia memberhentikan satu orang karyawannya untuk menekan pengeluaran, kemudian minggu berikutnya bertambah menjadi dua orang, dan akhirnya kini ia harus menar-benar mem-PHK semua karyawannya. Terus menerus mendapati makanannya selalu basi karena tidak terjual, membuat Adi benar-benar menyerah. Ia tak bisa lagi mempertahankan rumah makannya itu. Jika terus memaksakan diri dan berharap suatu saat usaha mereka akan kembali ramai, bisa-bisa mereka harus kehilangan rumah mereka untuk dijual atau digadaikan untuk menutup modal usaha. Walaupun memutus hubungn kerja ketiga karyawannya juga mengeluarkan banyak uang untuk pesangon, tapi bagi Adi itu jauh lebih baik daripada ia harus mengeluarkan uang untuk modal usaha tanpa tahu akan sampai kapan mereka melewati masa sulit. Dengan keputusan yang diambil bersama Dina, Adi pun bahkan sudah menempel sebuah papan yang berisi informasi bahwa ruko itu akan dialih sewakan. Kebetulan sekali mereka baru saja memperpanjang masa sewanya sekitar dua bulan yang lalu, jadi masih ada sisa waktu sepuluh bulan ke depan. Tentu daripada ruko itu tidak digunakan dan terbengkalai begitu saja, sementara mereka juga membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, lebih baik mereka sewakan kembali dan tentu saja dengan harga sewa yang jauh lebih murah. Namun, lagi-lagi mereka masih harus bersabar karena balum juga mendapatkan penyewa baru. Adi menatap buku rekening tabungannya yang semakin hari semakin menipis. Jika dalam waktu satu minggu lagi ruko yang ia sewa tak juga mendapatkan pemilik baru, maka bukan tidak mungkin mereka tidak bisa membeli kebutuhan pokok mereka. Padahal kebutuhan putri mereka, Arsila cukup banyak, dari popok, s**u tambahan Asi, sampai kebutuhan lain yang tak kalah penting. Selama ini, Arsila terbilang memiliki kulit yang sensitif, tak jarang kulitnya menjadi kemerahan hingga ia harus membutuhkan perawatan berbagai krim khusus untuk mengurangi efek yang ditimbulkan. Bukan tanpa usaha, berbagai upaya sudah Adi lakukan untuk kembali mendapatkan pekerjaan. Keluar masuk berbagai perusahaan sudah ia lakoni, hingga meminta bantuan beberapa temannya tanpa memperdulikan jabatan yang di berikan padanya. Apa pun itu akan ia terima agar supaya bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarga kecilnya, namun sepertinya dewi fortuna belum juga berpihak padanya, Adi belum juga mendapatkan hasil dari usahanya hingga ia nyaris putus asa. “Belum berangkat Mas?” tanya Dina mengagetkan lamunan Adi. Buru-buru Adi membereskan buku rekening tabungan dan surat-surat lain yang ia simpan di dalam sebuah map plastik besar. Sekitar lima belas menit yang lalu setelah menghabiskan sarapannya, suaminya mengatakan hendak pergi ke dalam kamar untuk mengambil tas dan kunci sepeda motornya, tapi ia tak kunjung keluar hingga akhirnya Dina menyusulnya ke kamar. “Iya nih, sebentar lagi,” jawab Adi sambil beranjak dari duduknya di tepi ranjang, lalu menuju ke lemari pakaiannya, tempat ia menyinpan surat-surat penting miliknya. Diraihnya kunci motor dan tas ransel miliknya yang sudah ia siapkan di atas sebuah meja kecil di sudut tempat tidur. Dina hanya mengerutkan dahinya melihat Adi yang tampak tidak bersemangat seperti biasanya. Hari ini, seperti biasa Adi hendak pergi mencari pekerjaan. Sudah ada tiga perusahaan yang akan ia datangi untuk memasukkan surat lamaran dan berkas-berkas yang dibutuhkan. Sementara siang nanti, ia telah mendapatkan kabar untuk mengikuti tes wawancara di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang otomotif. Tentu harapannya sangat besar untuk bisa diterima di perusahaab tersebut karena ini adalah tes terakhir yang akan menentukan apakah ia diterima atau tidak. “Ya udah, aku berangkat dulu ya,” ucap Adi sambil mengulurkan tangannya ke arah Dina. “Iya, Mas. Semoga hari ini ada kabar baik ya Mas,” sahut Dina sambil menyambut tangan Adi dan menciumnya, kebiasaan yang selalu Dina lakukan ketika Adi hendak pergi tanoanya atau sebaliknya. “O ya Mas, mmm … beras kita udah mau habis, cuma tinggal sekali masak. Itu pun cuma cukup untuk makan siang kita.” Dina terlihat ragu mengatakannya. Ia sangat tahu keadaan ekonomi Adi saat ini, tapi ia pun tak punya pilihan lain. Kebutuhan makanan mereka tak bisa ia kesampingkan begitu saja karena masih ada Sila yang harus tetap mendapatkan gizi yang baik demi perkembangannya. Sebagai seorang ibu tentu saja Dina selalu menginginkan yang terbaik untuk buah hatinya. “Memangnya yang kemarin sudah habis?” tanya Adi dengan raut wajah yang Adi yang seolah memojokkan Dina. “Masih ada sisa Mas, tapi hanya cukup untuk belanja sayur hari ini sama beli pampers Sila,” jawab Dina takut-takut karena beberapa kali akhirmya mereka bertengkar karena masalah uang dan kebutuhan rumah tangga. Memang terlalu sensitif jika membicarakan hal seperti itu. Diam-diam Dina pun sebenarnya sudah meminjam uang kepada Damar, kakak laki-lakinya untuk menutup kebutuhan rumah. Empat hari yang lalu, Adi hanya memberinya uang dua ratus ribu rupiah, tentu saja tidak cukup. Apalagi ia harus membayar arisan yang diadakan di komplek rumahnya sebesar seratus ribu rupiah. Dengan raut wajah lesu, akhirnya Adi pun merogoh kantung celana bagian belakangnya untuk mengambil dompet. Diberikannya uang seratus ribu yang sudah diambilnya dari dompet kepada Dina. “Segini dulu ya. Di dompetku hanya tinggal lima puluh ribu, buat jaga-jaga kalau ada apa-apa.” Dina mengangguk. Sebagai istri ia memang tidak pernah protes dan memberatkan suaminya. Ia sangat mengerti keadaan mereka yang sudah tidak lagi seperti dulu. Saat usaha mereka masih berjaya,bukanlah hal yang sulit bagi mereka untuk melalukan apa yang mereka inginkan. Bahkan seringkali mereka menyempatkan waktu untuk sekedar mengajak Sila jalan-jalan atau makan di luar. Tapi kini, semua tidak lagi sama. Adi pun lebih mudah terpancing emosi yang menyebabkan Dina sedikit tidak nyaman untuk sekedar meluapkan keluh kesahnya. Dikecupnya kening Sila yang masih terlelap di tempat tidurnya. Suhu tubuhnya masih terasa hangat sejak malam tadi hingga membuat semalaman ia rewel dan tak bisa tidur. “Kalau ada apa-apa kamu kasih tau aku ya,” pesan Adi sebelum ia berangkat dengan sepeda motor Honda Verza 150 yang belum lama dibelinya secara second dari salah seorang teman kuliahnya dulu yang tengah membutuhkan uang. Selain memberikan pertolongan, saat itu Adi juga membutuhkan kendaraan untuk Dina agar ia tak repot-repot menggunakan kendaraan umum saat menuju ke warung makan mereka. “Iya Mas. Hati-hati,” sahut Dina yang masih terus menatap Adi sampai ia menghilang di ujung jalan. Ia pun berdoa di dalam hati mengiringi kepergian Adi dan berharap yang terbaik untuk kehidupan mereka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN