2. Cemburu Buta

1681 Kata
“Wah Mba Siska rajin banget nih…” sapa Dina saat melihat tetangga samping rumahnya sedang beberes tanaman hias di halaman rumah.   “Eh, iya nih Mba… lagi beres-beres aja biar rapi dikit. Tumben nih Mba baru mau berangkat?” tanya Siska ramah.   “Iya Mba, tadi pagi biasa beres-beres rumah dulu. Eh pas mau berangkat Sila malah tidur. Jadi nunggu dia bangun dulu.” Kata Dina sambil mendudukkan Sila di kursi bonceng yang terpasang di sepeda motornya bagian depan. Seperti biasa setelah beberes rumah dan mengurus Sila, Ia menyusul suaminya ke tempat usaha mereka. Kebetulan jarak antara rumah dan warung makannya hanya sekitar lima belas menit. Waktu yang cukup singkat untuk ukuran kota Jakarta yang terkenal dengan kemacetannya.   “Saya duluan ya Mba…”   “Eh Iya hati-hati Mba…” jawab Siska. Siska adalah seorang ibu rumah tangga dengan dua orang anak perempuan. Usianya sedikit lebih tua, hanya terpaut beberapa tahun dengan Dina. Sementara suaminya bekerja di luar kota dan hanya pulang satu kali dalam sebulan. Sejak Dina menempati rumah itu, Siska lah tetangga pertama yang Ia kenal. Dina banyak bertanya kepada Siska saat awal kepindahannya sehingga saat ini hubungan mereka cukup dekat.   Saat itu hari sudah mulai siang. Tidak seperti biasanya hari ini cuaca sedikit mendung. Mungkin sebentar lagi akan turun hujan. Dina pun bergegas memakai helm dan memacu sepeda motornya sebelum hujan mulai turun. Tapi ternyata di tengah perjalanan hujan mulai turun rintik-rintik. Ia berusaha melindungi putrinya agar tidak kehujanan. Ia menutupkan telapak tangan kirinya ke kepala Arsila dengan tubuhnya Ia rengkuhkan ke tubuh Arsila.   Beruntung mereka cepat sampai sebelum hujan turun semakin deras. Dina melepas helmnya dan menurunkan Arsila. Sekilas Ia melirik ke arah ruko yang berada di samping rukonya. Sebuah ruko yang saat ini digunakan sebagai tempat usaha warung soto mie. Cukup ramai tapi tidak seramai warung makan miliknya. Terlihat dua orang wanita sedang berdiri tepat di depan pintu masuk warung tersebut. Mereka berbisik satu sama lain dengan pandangan mata mengarah padanya. Jelas sekali terlihat bagaimana mereka memandangnya seperti ada sesuatu yang salah dengan dirinya. Tapi Dina sama sekali tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan karena suara hujan yang cukup berisik. Dina pun berusaha mengabaikan. Ia segera masuk ke dalam warung makannya agar cepat mengganti baju Arsila yang sedikit basah.   “Tumben sepi Mas… biasanya jam segini ramai, banyak yang makan siang.”   “Ngga tau nih, dari tadi sepi. Cuma berapa orang yang dateng. Mana ujan lagi. Ah!” Gerutu Adi yang duduk di meja kasir sambil memainkan smartphone-nya.   “Mas udah makan?” tanya Dina sembari mengganti baju Arsila. Dina memang selalu membawa tas berisi keperluan Arsila, dari baju ganti, pampers, makan siang, camilan, juga beberapa mainan.   “Belum Din… ngga laper…” jawab Adi sekedarnya.   Dina menatap mata suaminya. Ia yakin Adi sedang banyak pikiran. Tak biasanya Ia melewatkan waktu makan siang. Biasanya jika Ia bosan makan nasi padang di warungnya, Ia selalu membeli makan di warteg (warung tegal) di ujung jalan yang tak jauh dari ruko.   Mas Adi kenapa ya? Apa karna dua hari ini warung jadi sepi?, batin Dina. Adi semalam sempat bercerita kalo warung hari itu tidak seramai biasanya. Dina tidak tahu karena kemarin Arsila sedikit demam jadi seharian Ia berada di rumah bersama Arsila. Dan sekarang Ia melihat sendiri warung semakin sepi pembeli.   “Unda, mau inyiii…” kata Arsila sembari mengambil biskuit yang ada di dalam tasnya.   “Eh, iya sayang…” suara Arsila membuyarkan lamunannya. “Sini Bunda ambilin.” Dina mengambil sekeping biskuit dan memberikannya pada Arsila.   “Ir, tolong dong ambilin air putih buat Sila.”   “Oh, iya Bu…” dengan sigap Irma segera ke dapur dan mengambil air putih dalam gelas.   Ndreeett…! Ndreeett…!   Terdengar suara getar telepon genggam dari dalam tas Dina. Dina meraba-raba isi tas dan segera meraihnya.   “Hallo Bang?”   “Kamu lagi dimana Din?” tanya Damar, Abang kandung Dina di ujung telepon.   “Biasa lah… lagi di warung. Kenapa Bang?”   “Mmm… sama Adi juga?”   Sekilas Dina menoleh ke arah Adi. “Iya. Abang kenapa sih?” tanya Dina heran. Sepertinya Damar hendak mengatakan sesuatu, tapi Ia ragu.   “Semua aman kan?” tanya Damar lagi.   Kali ini Dina mengerutkan keningnya. “Ya aman lah Bang. Abang tuh kenapa sih Bang. Jangan buat Dina bingung deh…”   “Gini Din… Mmmm… Abang dikasih tau temen Abang, katanya dia dapet broadcast video di rumah makan kamu……..”   Dina langsung teringat kejadian dua hari yang lalu di rumah makannya. “Tunggu Bang. Maksud Abang yang nemuin kecoa di piring makan itu Bang?” Dengan cepat Dina memotong pembicaraan Damar.   “Iya Din… kamu udah tau?”   “Ya belum Bang. Dina baru tau dari Abang kalo soal broadcast. Tapi Abang yakin?”   “Tadinya Abang ngga percaya, tapi setelah Abang minta dikirimin videonya, Abang liat… dan ternyata bener itu di rumah makan kamu. Di situ ditulis kalo rumah makan kamu itu jorok, ngga bersih…. Mmm… dan parahnya lagi di situ ditulis kalo pemilik rumah makannya pake penglaris, makanya tiap hari selalu rame.” Terang Damar.   “Ya Allah… jahat banget si Bang yang nyebarin videonya.” Suara Dina mulai bergetar. Rasanya Ia ingin menangis. Apa yang Ia takutkan saat itu benar-benar terjadi. Padahal Ia sudah memberikan ganti rugi pada laki-laki itu dan jumlahnya pun tidak sedikit. Apa mungkin pengunjung lain yang menyebarkannya?   Merasa ada yang tidak beres, Adi segera mendekat ke arah Dina. Apalagi tadi Dina menyebut soal kejadian dua hari yang lalu.   “Kenapa Din?”   “Ini Mas… ada yang nyebarin video soal kecoa tempo hari.” Jawab Dina.   Di sudut dapur, Irma dan dua karyawan lainnya hanya terdiam. Mereka sangat tahu apa yang sedang kedua bosnya itu bicarakan karena salah satu dari mereka pun menerima broadcast itu.   “Jadi itu bener? Kok bisa sih Din?” Damar ikut panik. Ia takut video itu mempengaruhi usaha adiknya.   Dina pun menceritakan apa yang terjadi kepada Abangnya. Pantas saja dua hari ini warung makannya semakin sepi. Adi dan Dina pun merasa kini usaha rumah makannya sedang berada di ujung tanduk. Adi tak bisa membayangkan bagaimana jika keadaannya terus seperti ini. Rumah makan ini lah satu-satunya sumber pemasukannya untuk menghidupi istri dan putri mereka.   “Kamu yang sabar ya Din. Semoga berita ini cepat berlalu. Warung makan kamu kembali ramai.”   “Makasih ya Bang…”   ***   Adi merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Seharian ini Ia habiskan di rumah tanpa melakukan apa pun. Ia hanya tidur-tiduran di kamar, menonton televisi, atau hanya sekedar ke halaman rumah mencari udara segar. Hari ini Ia memilih menutup warungnya karena sudah seminggu ini pembeli menurun drastis. Mungkin warungnya memang harus tutup sementara karena jika dipaksakan buka sudah pasti akan menngalami kerugian karena modal yang dikeluarkan tidak sebanding dengan pemasukan yang diterima.   “Diiinnn… bikinin kopi dong Din…” teriak Adi dari teras rumahnya.   “Iyaaa… sebentar Maass...” Jawab Dina dari dalam rumah. Ia baru saja selesai memandikan Sila. Cepat-cepat Ia menuju ke kamar dan memakaikan baju. Setelah itu Ia membuatkan kopi untuk suaminya.   “Nih Mas…” kata Dina sambil meletakkan cangkir kopinya di atas meja kecil.   “Lama amat sih…” protes Adi.   “Tadi habis mandiin Sila Mas… nanggung. O ya Mas. Mas inget temen SMA aku kan yang namanya Devi?” tanya Dina sembari duduk di salah satu kursi. Sengaja Dina meletakkan satu set kursi teras karena seringkali Adi lebih senang menerima tamu teman-temannya di teras rumah.   “Devi temen kamu yang nyomblangin kamu sama mantan kamu yang belagu itu?” tanya Adi ketus, seperti menyiratkan rasa cemburu.   “Hmm… udah deh Mas jangan mulai lagi. Aku cuma mau bilang kemarin Devi ngajakin aku bisnis skincare. Awalnya ya mungkin aku nawar-nawarin doang ke orang, tapi kan lumayan Mas kalo ada yang beli. Lagian warung kan lagi tutup, kita ngga tau sampai kapan. Itung-itung buat nambahin uang belanja gitu Mas maksud aku.”   “Udah lah, ngga usah… aku masih sanggup kok hidupin kamu sama Sila.” Jawab Adi cepat, lalu menyeruput kopinya yang masih panas. Buat Adi, harga diri seorang pria adalah bekerja. Ia tidak mau masalah mencari nafkah diserahkan pada Dina. Dina pun tak bisa membantah perkataan suaminya. Dari awal menikah Ia memang sudah berkomitmen untuk selalu mendengarkan perkataan suami agar rumah tangganya selalu harmonis. Padahal Dina begitu ingin membantu ekonomi keluarga. Kesuksesan yang Devi raih saat ini sudah pasti membuat Dina tergiur dengan bisnis yang Devi jalani. Bukan tidak bersyukur dengan apa yang ada saat ini, tapi paling tidak jika Ia memiliki pemasukan lain, itu bisa sebagai cadangan jika bisnis rumah makannya sedang turun seperti sekarang ini.   ***   Adi tiba-tiba masuk ke kamar dengan wajah garang.   “Nih maksudnya apa nih?” tanya Adi sambil melempar telepon genggam Dina ke tempat tidur, tepat di samping Dina yang sedang menidurkan Arsila.   Karena kaget Arsila pun terbangun dan menangis kencang.   “Apa sih Mas?” tanya Dina dengan nada sedikit tinggi. Dina kesal karena Ia sudah susah payah menidurkan Arsila tapi dengan seenaknya suaminya masuk ke dalam kamar dan berbicara keras.   “Jadi kamu masih berhubungan dengan mantan pacar kamu yang b******k itu?” tanya Adi geram. “Pantesan tiba-tiba aja kamu mau ikut-ikutan bisnis si Devi itu. Itu cuma alasan kamu buat ketemu sama dia kan?.”   Dina mengambil telepon gengamnya dan melihat ke layarnya.   “Astaga Mas… Dia kan cuma tanya kabar. Itu pun ngga aku bales kok. Sengaja aku ngga hapus biar Mas tau kalo aku emang ngga pernah nyembunyiin sesuatu dari Mas.”   “Alah sama aja… kalo kamu emang ngga mau berhubungan lagi sama dia kan bisa kamu block nomornya.” Ucap Adi, masih dengan nada tinggi.   “Iya Mas, iyaa… nanti aku block nomornya. Ya udah, Mas ngga usah marah-marah.” Dina berusaha sabar menghadapi suaminya kali ini. Akhir-akhir ini Adi memang sedang uring-uringan. Ia jadi mudah marah jika ada sesuatu yang tidak pas dengan keinginannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN