Bagian 7

1036 Kata
Aku berjalan gontai menuju Mama yang masih berdiri, menatap Arkana di dalam sana, dari balik di dinding kaca itu. Kedua mata Mama berkaca - kaca. Rasa bersalah dalam dadaku kembali muncul. Sesal itu luar biasa aku rasakan. Harusnya aku mendengarkan nasihat Mama sejak awal. Seharusnya aku juga percaya pada dokter Lugas sejak awal.  Tapi aku baru percaya dan mau mengerti saat keadaan Arkana sudah menjadi gawat. Meski hasil diagnosanya belum keluar, perasaanku benar - benar tak enak.  Mama akhirnya menoleh karena mendengar derap langkahku.  "Nara ... kamu sudah kembali, Nak?" Mama buru - buru mendekat ke arahku. "Ayo katakan pada Mama tentang keadaan Arkana. Dia baik - baik saja kan, Nak? Ayo katakan!" Mama menatapku seakan memohon.  Aku benar - benar tidak sampai hati mengatakan ini padanya. Rasanya sungguh berat. Teramat sangat berat.  "Nara ... kenapa kamu diam aja, Nak? Ayo cepat katakan pada Mama! Cepat katakan bahwa Arkana baik - baik saja!" Mama sampai mengguncangkan kedua lenganku.  Aku segera meraih kedua tangan mama, menggenggamnya erat, berharap ini bisa membuat mama tenang meski hanya sedikit.  Mama pun terdiam, menatapku dengan sorot penuh harap.  Aku menarik napas dalam. Meski sulit dan berat, aku tetap harus mengatakan ini.  "Ma ... maafin aku. Seharusnya aku dengerin Mama sejak awal. Juga dengerin saran dokter Lugas untuk melakukan pemeriksaan lengkap pada Arkana." Aku akhirnya memulai penjelasan dari sana. Berharap Mama sudah bisa menangkap maksudku, bahwa berita yang akan aku sampaikan bukan lah berita yang membahagiakan. Bahkan melenceng dari harapan Mama.  "Kamu ini ngomong apa, Nara? Kalau ngomong yang jelas biar Mama ngerti. Ayo katakan, Nara. Arkana baik - baik aja, kan?" Mama sudah kembali menangis hebat.  Aku benar - benar tidak tega melihatnya. Tapi mau bagaimana lagi.  "Ma ... saat ini hasil pemeriksaan Arkana belum keluar. Tapi kemungkinan dilihat dadi gejala yang dia alami ... ada tumor di otak belakangnya, Ma." Aku begitu perlahan mengucapkan itu semua supaya Mama tidak terlalu terguncang ketika mendengarnya. Tapi ternyata tetap saja.  Mama tetap menangis begitu hebat. Mama seketika lemas, hendak terjatuh menghantam lantai. Aku segera menangkap tubuh Mama. Memeluk ibuku itu dengan begitu erat.  "Ya Allah ... Arkana, Ya Allah. Arkana cucu Oma anak baik. Kenapa Arkana harus alami ini semua, Ya Allah?" Mama menangis sejadi - jadinya.  Aku masih terus memeluk Mama. "Maafin aku, Ma. Maaf." Aku juga terus mengucapkan kata maaf.  "Nara ... sekarang kamu meminta maaf. Tapi nggak ada gunanya, Nak." Mama mengucapkan itu tidak dengan nada marah. Tapi justru itu, kata - kata Mama justru membuat aku semakin merasa bersalah.  Pasti Mama sengaja. Sengaja membuatku merasakan efek jera atas perbuatanku sendiri. Aku tidak akan melawan. Aku terima. Karena aku memang bersalah.  "Ini dia hasil panen dari apa yang kamu tanam, Nara. Kamu selalu merasa paling benar sendiri. Tidak pernah mendengarkan orang lain. Bahkan Mama yang merupakan ibu kamu ini, tidak pernah kamu dengarkan. Apa lagi dokter Lugas yang bukan siapa - siapa kamu." Mama mengatakan itu sembari memukul - mukul Dadanya.  Aku berusaha menghentikan aksi Mama itu. Dan Mama terus melanjutkan ucapannya kepadaku.  "Kamu harusnya sadar, Nara. Yang terjadi ini adalah salah satu peringatan Tuhan pada kamu. Supaya kamu jadi manusia jangan sombong dan selalu merasa paling benar sendiri. Karena perbuatan kamu yang seenaknya, sekarang anak kamu yang nggak bersalah, justru jad korban. Kamu harusnya ngerti itu, Nara."  Aku hanya menunduk. Menunduk sangat dalam. Dadaku rasanya sesak. Ingin aku menangis, namun air mataku seakan telah mengering. Karena begitu kerasnya hatiku.  Aku menyesal. Tentu aku sangat menyesal. Mama benar. Aku memang manusia sombong yang selalu merasa paling benar dalam segala hal. Menurutku selama ini semua manusia selalu salah kecuali aku. Hanya aku yang benar.  "Aku menyesal, Ma. Aku salah. Maafin aku, Ma." Aku kembali meminta maaf.  Aku kembali mendekap ibuku itu. Merasa hanya dengan pelukannya lah yang bisa membuatku lebih tenang saat ini. Berada dalam pelukan ibuku.  Nyatanya setelah begitu banyak kesalahan yang aku lakukan. Begitu besar kesalahan yang aku lakukan. Seorang ibu memang tidak pernah benar - benar marah pada anaknya.  Mama lantas memelukku dengan erat, menepuk - nepuk punggung atasku, berusaha membuat aku lebih tenang. Merasa lebih baik.  ~~~ Single Father - Sheilanda Khoirunnisa ~~~  Kami berdua sama - sama saling menguatkan. Kami juga melakukan saran dari dokter Lugas untuk sering berinteraksi dengan Arkana. Entah itu dengan rangsang sentuhan, ataupun berbicara dengannya. Semua itu dilakukan untuk merangsang kesadaran Arkana.  Sembari kami menunggu hasil pemeriksaan yang urung juga keluar.  "Kami belum bisa memastikan apa yang harus kami lakukan pada Arkana, karena hasil pemeriksaannya juga belum jelas. Tapi tetap lakukan rangsangan - rangsangan itu." Seperti itu lah saran yang diucapkan dokter Lugas kala itu.  Pagi ini aku hendak berangkat ke kantor. Untuk pertama kalinya semenjak Arkana mendapatkan serangan kemudian tertidur sampai sekarang. Kurasa sudah terlalu lama absen. Aku harus kembali bekerja. Aku yakin Arkana juga tidak akan suka jika aku absen kerja terlalu lama karena dirinya.  Mama pun setuju dengan keputusan ini. Mama bilang memang lebih baik aku segera kembali bekerja. Supaya tidak terlalu stress hanya menunggu hasil pemeriksaan Arkana.  Dan aku memang tetap harus bekerja karena biaya pengobatan dan rumah sakit Arkana nantinya tidak akan menelan biaya sedikit, melainkan sebaliknya.  "Ma ... aku berangkat ya." Aku meraih jemari Mama, mengecup punggung tangannya.  "Hati - hati di jalan, Nara. Doakan Arkana terus jangan sampai putus. Jangan lupa sholat juga kamu."  "Iya, Ma."  Setelah berpamitan pada Mama, aku juga berpamitan pada Arkana. Aku berjalan menuju putraku itu.  Aku mengecup keningnya. Kemudian meraih jemarinya, mengarahkan jemariku yang berada dalam genggamannya, menuju bibirnya. Seolah - olah ia mencium punggung tanganku.  "Papa berangkat ya, Arka. Hari ini Papa mulai masuk kantor lagi. Doakan semuanya lancar. Papa juga doakan kamu supaya cepat sadar dan cepat sembuh. Sekali lagi maafkan Papa ya, Nak." Dadaku kembali terasa sangat sesak. Kembali teringat segudang kesalahan yang membuat aku merasakan penyesalan besar ini. Seandainya saja waktu bisa diputar kembali. Seandainya saja.  Aku kemudian benar - benar berangkat. Rasanya berat meninggalkan Arkana dalam keadaan seperti itu. Tapi aku meyakinkan diriku sendiri, bahwa Arkana akan baik - baik saja bersama Mama di sini.  Langkahku berat meninggalkan tempat ini. Sangat berat.  Takut di kantor nanti aku akan mendapatkan berita yang tidak - tidak. Pertama kali dalam seumur hidupku, aku merasakan ketakutan yang sebesar ini. ~~~ Single Father - Sheilanda Khoirunnisa ~~~  T B C 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN