Bagian 5

1512 Kata
Ramli tiba - tiba membuka pintu ruang kerjaku. Ia menatap diriku yang sedang terguncang akibat berita dari Mama. Ramli tadinya hendak mengatakan sesuatu, namun urung mengatakannya karena melihat keadaanku.         "Kenapa, Nara? Semua baik - baik aja, kan?"        "Ram, aku izin hari ini, ya!" jawabku akhirnya. Aku otomatis mengesampingkan keprofesionalitasan yang selama ini selalu kujunjung tinggi.         "Izin? Kenapa? Apa terjadi sesuatu pada Arkana?" Ramli langsung bisa membaca suasana.        "Sorry, Ram. Aku nggak bisa jelasin sekarang. Nanti, oke? Aku pergi sekarang, Ram." Aku segera melenggang secepat mungkin. Meninggalkan atasanku yang entah apa tujuannya tiba - tiba menemuiku.       "Oke, Nara. Pergi lah. Toh aku ke sini memang buat nyuruh kamu pulang ngurusin Arkana."        Aku bisa mendengar ucapan Ramli itu. Aku tahu ia sengaja mengucapkannya. Sekadar untuk membuatku sedikit lega. Setidaknya bebanku karena meninggalkan tanggung jawab di kantor sedikit terlipur.        ~~~~~ Single Father - Sheilanda Khoirunnisa ~~~~~         Aku memacu kecepatan mobil. Pikiranku tak bisa beralih dari Arkana. Memikirkan betapa keras kepalanya aku beberapa hari ini. Terhitung semenjak Arkana jatuh di sekolah. Dan juga omongan dokter yang sama sekali tak kudengarkan.         Sejujurnya aku juga takut, aku khawatir. Terlebih aku mendapat tekanan dari banyak pihak, Mama, Ramli, dan dokter. Namun hati kecilku menolak untuk menerima.        Aku bersikeras menolak percaya bahwa putraku sakit. Putraku satu - satunya yang kurawat sendiri sejak kecil. Tak mungkin Arkana - ku benar - benar sakit, kan?        Traffic Light sudah beralih pada lampu merah. Tapi aku benar - benar harus segera sampai rumah. Terpaksa aku menerobos.        Suara klakson terdengar keras dari berbagai arah, menghakimiku. Tapi aku tak peduli. Tujuanku hanya sampai rumah sesegera mungkin.        Aku berdoa dalam hati, semoga ini hanya akal - akalan Mama yang sedang menjailiku. Ia hanya sedang sangat kesal padaku karena menolak saran dokter untuk melakukan pemeriksaan lengkap pada Arkana. Ya, semoga saja benar begitu.          ~~~~~ Single Father - Sheilanda Khoirunnisa ~~~~~          Sampai rumah aku berlari masuk, berlari pula menaiki tangga menuju kamar Arkana.        Tanganku bergetar menyentuh knop pintu. Aku takut menerka - nerka keadaan Arkana di dalam sana.        Suasana hening. Terdengar isakan Mama. Mama duduk di atas karpet di samping ranjang Arkana. Mama menggenggam erat jemari Arkana.         Anak itu sadar, napasnya memburu. Ia berkeringat sangat banyak. Juga nampak begitu pucat. Namun ia terlihat tenang. Aku berjalan mendekat.        "Papa ...," gumam Arkana ketika menatapku.        Mama ikut menoleh setelahnya. Baru menyadari kehadiranku.        Aku masih diam, menunggu penjelasan. Arkana memang tidak kejang sekarang. Namun aku yakin Mama tidak bohong. Mama tidak sedang menjailiku.        Air mata ibuku masih terus mengalir. Ia terisak hebat. Juga kondisi putraku ... terlihat sangat sakit.       "Tadi Arkana tiba - tiba kejang. Mama panik. Mama telepon kamu. Mama juga telepon rumah sakit jaga - jaga seandainya kamu nggak percaya sama Mama. Sebentar lagi pasti ambulans dateng. Tapi ternyata kamu ada di sini sekarang.        "Mama nggak bohong, Nara. Arkana tadi benar - benar kejang. Sampai bola matanya terlihat bagian putihnya saja. Mama benar - benar takut, Nara. Syukurlah sekarang kejangnya sudah berhenti. Nara, Mama rasa kita memang benar - benar harus melakukan pemeriksaan lengkap pada Arkana. Mama mohon, Nara. Mama mohon ...."        Aku terhenyak. Betapa berdosanya aku. Ibuku sendiri bahkan sedang memohon padaku seperti ini.       Seharusnya aku menyetujui pemeriksaan lengkap pada Arkana sejak awal. Bukannya bertahan pada sikap keras kepalaku yang terlalu yakin bahwa putraku baik - baik saja.        Aku ... tidak terima jika saja Arkana benar - benar sakit.        Tapi ... akan lebih tak terima lagi, jika sakitnya bertambah parah hanya karena aku terlambat mengambil tindakan.        "I - iya, Ma. Aku percaya ucapan Mama. Aku tahu Mama nggak bohong. Sekarang Mama tenang, ya. Mama sudah melakukan hal benar. Iya, kita ke rumah sakit. Ambulans bentar lagi pasti dateng. Nanti Mama sama Arkana di ambulans, ya. Aku mau nyiapin segala keperluan, lalu nanti nyusul."       "Iya, Nara. Syukur lah, Mama lega karena kamu akhirnya mau mengerti kondisi Arkana. Terima kasih, Nara."       Hatiku semakin tersayat mendengar ucapan Mama. Ibuku sendiri sampai mengucap terima kasih atas keputusanku yang terlambat.        "O - ma ...." Suara Arkana terdengar lirih, terbata.        Perhatianku dan Mama segera teralih padanya. Satu tangannya menggenggam erat jemari Mama. Satu lagi menutup mulutnya dengan erat.       Mama kembali panik. "Kenapa, Sayang? Apa yang terjadi? Mana yang sakit? Kamu mual lagi, Sayang?" Mama kelabakan mencari sesuatu entah apa         Sementara aku dengan bodohnya hanya mematung. Aku hanya menjadi penonton saat putraku kesakitan, dan ibuku yang sibuk mengurusnya.        Rasa bersalahku semakin menjadi. Kenapa? Kenapa aku baru menyadari bahwa memang ada yang salah dengan kondisi putraku, sehingga ia memerlukan penanganan lebih.         Mama telah menemukan apa yang dicarinya. Sebuah wadah cukup besar yang dilapisi dengan tas plastik warna hitam. Di dalamnya sudah ada cairan kekuningan yang bening. Jadi tadi Arkana sudah muntah.       Kulihat Arkana susah payah mengangkat tubuhnya sekadar untuk memposisikan dagu dan mulutnya pada wadah itu. Bodohnya aku masih terus mematung. Tetap Mama yang membantunya.        Mataku membulat menatap putraku dalam kondisinya sekarang. Ia muntah. Tapi ... aku baru sekali ini melihat orang muntah seperti itu. Muntahnya terlihat menyemprot seperti air kran yang tertekan. Deras dan keras. Kenapa begitu? Apa yang salah.       Cukup banyak yang dimuntahkan Arkana. Ia nampak lemas. Baru lah aku mampu mengendalikan tubuhku. Aku kini bisa beralih dari posisi mematungku.        Aku menangkap tubuh Arkana yang terkulai. Sementara Mama menggeser wadah itu kembali ke tempatnya, di kolong ranjang.        Tubuh Arkana seakan tanpa daya. Keringat semakin deras membasahi tubuhnya. Kulitnya pun semakin pucat.       Tangis Mama kembali pecah. Mamaku menangis sejadinya.        Arkana kini menggenggam jemariku. Ia nampak menahan sakit. Ya Tuhan ... aku benar - benar Ayah yang buruk.        Bagaimana aku tak tahu putraku sakit? Sementara aku selalu mengatakan bahwa aku yang merawatnya sejak kecil? Bagaimana aku bisa melewatkan hal sebesar ini?       "Tunggu sebentar, ya, Sayang. Tunggu sebentar. Ambulans segera datang. Papa janji, kamu akan sembuh. Kamu akan kembali sehat seperti sedia kala. Maafin Papa, Sayang." Kukecup kening putraku yang tertutup helaian anak rambut lurus hitamnya.        Arkana tersenyum tipis. "Makasih, Pa," lirihnya.        "Apa yang kamu rasain sekarang, Sayang? Ayo katakan ke Papa. Biar nanti Papa bilang ke dokter, supaya mereka bisa menangani kamu semaksimal mungkin."        Ia kembali tersenyum. "Sakitnya udah mendingan. Tapi ...." Matanya hendak terpejam.        Aku segera menanyainya lagi. "Tapi apa, Sayang?"        Ia menggeleng pelan, hampir tak terlihat. "Aku ... ngantuk, Pa." Matanya terpejam erat, kemudian ia berusaha membukanya dengan susah payah.        Aku bisa mengerti. Ia baru saja mengalami kejang, dan muntah hebat seperti itu. Ia pasti lemas. Wajar jika ia merasa sangat mengantuk.        "Tidurlah, Sayang. Tidurlah, Nak. Saat kamu bangun nanti, semua akan baik - baik saja. Percaya sama Papa." Kugenggam erat jemarinya. Aku memaksakan sebuah senyum meski hatiku hancur. Sekadar untuk menenangkan putraku.        Ia tersenyum tipis lagi, membalas senyumku. Kemudian matanya kembali tertutup. Ia tertidur dengan cepat, masih dalam dekapanku.       "Nara, Mama ... Mama takut!" Suara Mama bergetar hebat.      "Tenang, Ma. Aku yakin ini masih belum terlambat. Tim medis pas akan melakukan yang terbaik. Arkana pasti sembuh."        Mama menggangguk. Aku tahu Mama sedang berusaha keras berpikir positif dan juga berusaha menenangkan dirinya sendiri.         "Ya, tentu saja. Pasti Arkana akan sembuh." Mama pun memaksakan sebuah senyuman setelahnya.        ~~~~~ Single Father - Sheilanda Khoirunnisa ~~~~~         Masya Allah Tabarakallah.        Halo semuanya. Ketemu lagi di cerita saya. Kali ini judulnya Murmuring. Mau tahu kenapa dikasih judul Murmuring? Ikutin terus ceritanya, ya.         Oh iya, selain cerita ini saya punya cerita lain -- yang semuanya sudah komplit -- di akun Dreame / Innovel saya ini.   Mereka adalah:          1. LUA Lounge [ Komplit ]                   2. Behind That Face [ Komplit ]              3. Nami And The Gangsters ( Sequel LUA Lounge ) [ Komplit ]              4. The Gone Twin [ Komplit ]         5. My Sick Partner [ Komplit ]        6. Tokyo Banana [ Komplit ]                7. Melahirkan Anak Setan [ Komplit ]         8. Youtuber Sekarat, Author Gila [ Komplit ]          9. Asmara Samara [ Komplit ]        10. Murmuring [ On - Going ]        11. Genderuwo Ganteng [ On - Going ]        12. Theatre Musical: Roll Egg [ On - Going ]        13. In Memoriam My Dear Husband [ On - Going ]        14. Billionaire Brothers Love Me [ On - Going ]         Jangan lupa pencet love tanda hati warna ungu.       Cukup 1 kali aja ya pencetnya.    Terima kasih. Selamat membaca.         -- T B C --          
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN