Brak ....
Suara pintu dapur yang sebelumnya terkunci kubuka dengan kencang. Aku segera melangkah masuk mendekati Sashi yang wajahnya kaget mendapatiku secara tiba-tiba di sana.
“Waktu 1 jam sudah habis ya?” tanya Sashi sambil berjalan mundur menjauhi langkahkku yang mendekatinya.
Aku tidak menjawab dan terus melangkah mendekatinya.
“Terus kenapa kamu ada di sini? Bukankah aku diberikan waktu untuk diriku sendiri selama 1 jam di dapur?” tanyanya jelas kebingungan dengan kedatanganku.
“Waktunya belum habis,” ucapku sambil berhenti di depan meja yang tersaji bermacam-macam hidangan.
Aku mengamati seluruh hidangan tersebut dan membuat Sashi kembali berkata, “I-itu ... maaf ... aku menggunakan bahan-bahan di kulkas.”
Segera aku menolehkan wajahku untuk menatapnya. Wanita ini sebenarnya siapa? Kenapa malah perkataan maaf yang keluar dari mulutnya? Memang aku ada memarahinya karena memasak menggunakan bahan-bahan di kulkas?
“A-aku ... sebagai ganti bahan-bahan yang kugunakan, makan saja masakan ini semua,” ucapnya kemudian.
“Kau berani menawariku makanan yang kau buat? Kau lupa kenapa dirimu di tahan di sini? Siapa yang bisa menjamin makanan ini tidak diracuni?” tanyaku kesal.
Aku bukan kesal karena makanan ini mungkin diracuni, aku melihat seluruh prosesnya. Dia tidak memasukkan bahan apapun yang mencurigakan. Jadi aku yakin makanan ini tidak diracuni. Aku hanya meluapkan kekesalanku atas perasaan aneh yang kualami yang tidak kumengerti setiap berkaitan dengannya.
Aku tidak meracuni kamu, melalui makanan ini ataupun minuman di gelas saat di klub dulu,” jawab wanita itu sambil menunduk dan meremas-remas jemarinya.
“Apa buktinya kalau makanan ini tidak kamu racuni?” tanyaku mencoba mencari jawab dari kekhawatirannya.
“Aku akan ikut memakannya bersama kamu, jika makanan ini ada racunnya maka aku akan mati juga,” ucapnya dengan mata berani seakan baru kembali lagi menemukan keberaniannya.
“Bisa saja kau berani mati demi lancarnya misi yang kau jalankan. Ayolah Sashi, tidak semudah itu menjebakku,” kembali aku menyudutkannya.
“Bagaimana jika sebelum kamu memakan sesuatu, aku akan memakannya terlebih dulu? Agar kamu yakin jika makanan ini diracuni, maka aku yang akan mati lebih dulu,” ucapnya lagi semakin berani.
Menarik sekali, Sashi dengan keberaniannya yang membuatnya mendadak terlihat seksi. Sial! Di mana aku bisa menemukan keseksiannya dalam balutan seragam pelayan lusuh yang sudah tidak diganti beberapa hari ini?
“Boleh juga penawaranmu,” jawabku sambil kemudian duduk di salah satu kursi menghadap hidangan makanan yang harumnya menggugah selera ini.
“Ah ya, aku ingin kamu menyuapiku!” ucapku lagi.
“Kenapa harus disuap?” tanyanya seperti tidak terima.
Tidak ada gunanya kau tidak terima! Aku akan tetap melakukan apapun yang kuinginkan!
“Lakukan atau aku akan menambahkan kejadian ini sebagai satu lagi bukti kau mencoba meracuniku?” aku mulai mengancam.
Wanita itu akhirnya menurut juga, walau wajahnya jelas menunjukkan penolakan. Dia mengambil dua buah sendok dan berdiri di sisiku duduk.
“Mau makan yang mana dulu? Biar aku cicipi dulu,” ucapnya kemudian.
Setelah mengamati satu per satu hidangan yang tersaji, aku memilih hidangan pertama yang langsung menarik perhatianku.
“Mie goreng seafood,” jawabku.
Wanita itu langsung mengarahkan tangannya untuk menyendok mie goreng yang terlihat sangat lezat itu. Dia menusukkan satu udang di garpunya dan memasukkan makanan itu ke mulutnya. Dia terlihat mengunyah dengan sangat lezat, seperti sudah lama tidak makan enak. Apa setidak enak itu makanan yang selama ini diberikan pengawalku padanya?
Melihatnya makan dengan lahap, membuatku sudah tidak sabar ingin menncobanya juga.
Aku pun membentak, “Lama sekali kau mengunyah? Kapan aku bisa mencobanya juga?”
“Ya memang ‘kan juga sekalian nunggu reaksinya. Siapa tahu kamu belum percaya kalau semua makanan ini nggak ada racunnya,” ucap wanita itu kemudian mendadak nada suaranya semakin lantang.
“Banyak jawab kamu, cepatkan suapkan aku mie goreng itu!” perintahku akhirnya.
Sashi terlihat cepat-cepat menggulung mie dan juga menusukkan sepotong udang dalam suapannya padaku. Aku tanpa ragu membuka mulutku lebar dan mataku mengamatinya yang fokus menyendokkan mie ke dalam mulutku terus menerus selanjutnya.
Satu suapan terakhir mie goreng tidak terasa sudah datang. Aku melihatnya kembali menyendokkan mie itu untuk kemudian tangannya diarahkan ke mulutku. Aku kemudian sengaja mengarahkan mataku untuk melihat wajahnya, ketika tangannya sudah di depan mulutku.
“Aaaaa,” ucapnya kesal karena sejak tadi aku tidak membuka mulut.
Aku melirik sekali sendok terakhir ini dan wajahnya yang cemberut. Sepertinya aku paham mengapa dia cemberut, dia mau sendok terakhir mie goreng seafood ini.
“Untukmu saja,” ucapku kemudian menjauh dari sendokannya.
Sedikit aku melirik dari ujung mataku, Sashi mendadak riang dan cemberutnya hilang. Dia segera melahap sendok terakhir itu dengan senyum di wajahnya.
“Mau makan apa lagi?” tanyanya.
Aku pun terus memilih makanan selanjutnya, yang kembali kunikmati dengan suapan Sashi dan sesekali aku merelakan beberapa suapan juga untuknya. Aneh, situasi ini membuat ada yang bergetar di hatiku. Khususnya, ketika melihatnya sangat bahagia bisa menikmati masakan lezatnya.
*****
Satu hari sudah berlalu dan memang tidak terjadi apa-apa padaku ataupun Sashi. Tidak ada efek apapun setelah kami makan masakannya kemarin. Jadi dia memang berkata jujur bahwa dia tidak meracuni makanan itu.
Akan tetapi, setelah mencicipi semua masakannya kemarin aku jadi bertanya-tanya. Semakin tidak bisa aku tebak siapa wanita pelayan ini sebenarnya. Bagaimana mungkin masakannya bisa selezat itu? Apa dia sebenarnya bekerja sebagai koki di klub? Lalu apa yang dilakukannya menjadi pengantar minuman?
Eh ... tapi dia masih seorang mahasiswa katanya. Fakta-fakta ini membuat aku semakin tertarik untuk menginterogasinya dan terus menginterogasinya.
Mulai hari ini, sesi interogasi untuk wanita bernama Sashi itu akan dilakukan di dapur. Sambil menanyainya, aku akan memintanya memasak. Masakannya setelah itu akan kita nikmati bersama sambil mengobrol. Pada intinya, aku ingin makan masakan lezatnya lagi.
Sial, aku sudah kecanduan! Jika pada masakannya saja aku kecanduan, bagaimana dengan keberadaannya?
Setelah berhari-hari melakukan interogasi di dapur, fakta-fakta baru kutemukan. Sashi adalah seorang mahasiswi jurusan tata boga. Dia mahir memasak berbagai jenis masakan. Itulah penyebabnya dia bisa membuat masakan selezat ini.
Lalu dia juga mulai membuka diri bercerita mengenai keluarganya dan dirinya. Aku pun aneh, lama kelamaan pertanyaanku mulai keluar jalur. Aku tidak lagi fokus bertanya untuk mencari fakta-fakta mengenai percobaan pembunuhanku, tetapi fokus mencari tahu lebih jauh wanita yang kini selalu ada di sisiku.
“Kamu punya pacar?” tanyaku mendadak di hari kesekian interogasi kulakukan.
Sashi terlihat kaget dengan pertanyaanku dan enggan menjawab.
“Nggak punya?” tanyaku masih memaksanya menjawab.
“Ada, tapi entahlah!” jawabnya mendadak ketus.
Aku sempat tidak terima mengetahui wanita ini sudah memiliki kekasih. Aneh ‘kan aku? Namun bukan itu sekarang fokus pertanyaannya. Aku harus mencari lebih jauh mengenai hubungannya dengan sang kekasih.
“Entahlah bagaimana maksudmu?” tanyaku kemudian.
“Kami baru saja bertengkar hebat, satu hari sebelum aku bekerja di klub. Saat itu aku tidak menyangka bahwa itu adalah hari terakhir aku bertemu dengannya, sebelum akhirnya terjebak dalam masalah ini. Kini juga aku sudah menjadi tawanan dan kami sudah tidak bertemu beberapa hari. Aku tidak yakin apakah hubungan kami masih bisa diperbaiki,” wanita itu menjelaskan dengan raut wajah yang mendadak sedih.
Bajingan, rasanya aku ingin menemukan lelaki yang disebutnya kekasihnya itu. Lelaki itu sangat beruntung dan kini bahkan disedihkan oleh seorang wanita mempesona seperti Sashi? Benar-benar aku iri!
Aku mendengus kesal tanpa bisa dikendalikan. Hal itu membuat Sashi salah paham.
“Eh maaf ... jadi aku bercerita terlalu jauh ya. Hari ini apa yang ingin kamu tanyakan terkait interogasi? Oh dan kalau aku boleh tahu, sampai kapan kira-kira proses interogasi ini akan berlangsung?” tanyanya.
“Kau tidak perlu tahu. Cukup ikuti saja semua proses interogasi yang dijadwalkan. Atau kau akan benar-benar berakhir menjadi pelakunya,” ancamku akhirnya kesal karena dia seperti ingin segera lepas dari tempat ini. Ingin segera lepas dariku dan menemui kekasihnya itu mungkin?
Shit! Tidak bisa seperti ini, mengapa aku jadi terbiasa dengannya? Terbiasa dengan keberadaannya? Bahkan kini tidak ingin terpisah darinya? Gilakah aku?
Bersambung