Bab 5 - Di Bawah Tubuhku

1240 Kata
Sashi kuantar ke depan ruang tawanannya setelah dari dapur. Sebenarnya ini tidak perlu kulakukan. Dia hanya seorang tawanan dan aku adalah sang penawan. Tapi kini bagiku Sashi seperti kutub magnet berlawanan, ingin dekat terus sesering mungkin. "Terima kasih ya," ucapnya saat kami sudah sampai di depan ruang tawanannya. "Ha," aku tertawa tertahan. Wanita ini benar-benar membuatku tidak tahu harus merespon apa setiap tindakan dan perkataannya. Kenapa dia mengucapkan terima kasih barusan? Seakan-akan mengatur situasi kami saat ini seperti situasi sepasang kekasih yang baru saja pulang berkencan dan akan berpisah, setelah mengantarkan sang wanita pulang. "Kenapa?" tanyanya bingung mendapatkan reaksiku seperti sebelumnya. "Sudah tidak usah banyak tanya. Masuk saja sana," jawabku mencoba kembali dingin padanya. "Baiklah," ucap Sashi kemudian dan benar-benar masuk ke dalam ruangannya. Setelah mengunci pintu, aku pun melangkah kembali menuju kamarku. Ah Sashi! Apa yang harus aku lakukan padamu? Bagaimana bisa aku seperti tidak mau berpisah denganmu terus menerus. Aku sampai di kamarku dengan perasaan tidak menentu. Sudah hampir terlelap sejak menidurkan tubuhku, aku kembali teringat rasa lezat masakannya yang membuat perutku kekenyangan seperti ini. Mengingatnya membuat aku kembali terbangun. Segera aku beranjak kembali menuju ruangannya. Brak .... Aku membuka pintu kencang dan langsung menangkap sosok Sashi terbangun di kasur lantainya. "A-ada apa?" tanya wanita terkejut. "Aku hanya ingin memberitahu, mulai besok pagi buatkan aku sarapan setiap harinya. Malam harinya, sewaktu-waktu aku mungkin akan memintamu membuatkan makan malam," ucapku singkat dan langsung akan berbalik badan pergi kembali. "Ehh tunggu," panggil wanita itu sebelum aku menutupnya. "Apa?" tanyaku datar. "Kenapa aku harus memasak?" tanyanya ragu. "Katamu kau seorang chef?" tanyaku retoris. "I-iya ... tapi kenapa?" tanyanya lagi. "Tidak ada alasan khusus. Lakukan saja apa yang kuperintah, jika kau tidak mau semakin lama ada di sini," ucapku lagi. Sudah seperti itu saja, aku kembali menutup pintu itu. Saat akan menguncinya kembali, tanganku bergetar. Hatiku tidak nyaman mendapati kenyataan ada seorang wanita yang kukurung berhari-hari di dalam sana. Apa boleh buat, untuk saat ini kau harus tetap berada di sana Sashi. Sampai kenyataan terbuka. ***** Setiap pagi sekarang aku selalu berangkat ke kantor dengan perut kenyang. Aku menikmati berbagai macam hidangan lezat, buatan chef bernama Sashi ini. Aku pun terhipnotis dengan semua daya tariknya. Bahkan kini aku sudah tidak memperlakukannya seperti tawanan sepenuhnya. Sudah satu bulan wanita ini kutawan, dan saat ini hanya tinggal dua orang lagi yang menjadi tawanan. Sashi dan si barista. Namun aku memperlakukan Sashi dengan cara yang berbeda. Aku selalu mengantarkan baju untuknya. Makanannya? Dia selalu makan bersamaku di pagi hari, kukirimkan makanan di siang hari, dan kami sesekali makan bersama di malam hari. Beberapa kali bahkan aku mengajaknya makan di kamarku, tidak selalu lagi di dapur. Inilah yang lama kelamaan menjadi pemicu masalah untukku. Tepatnya masalah untuk birahiku! Sashi wanita dengan tubuh yang membuatku berselera. Walau aku bukan laki-laki tanpa pengalaman, tapi aku juga tidak mudah tertarik oleh wanita hanya karena tubuhnya. Selain itu, Sashi juga tidak pernah ragu mengenakan berbagai pakaian yang kuberikan padanya. Awalnya aku mencoba memberikan pakaian yang sedikit transparan padanya, ternyata dia tidak masalah mengenakannya. Jadi aku semakin berani mengubah jenis-jenis pakaian yang kuberikan padanya. Kini Sashi seringkali berkeliaran di dapur untuk memasak atau makan di kamarku dengan pakaian serba mini. Sial! ***** Tepat 1 bulan lebih 7 hari, akhirnya pertahananku hancur juga. Malam ini aku memang sudah bilang pada Sashi bahwa aku akan makan malam di rumah dan dia harus memasak. Sehari sebelumnya, aku baru saja memberikannya baju baru. Sebuah dress pendek tanpa lengan dengan warna hitam. Aku yakin, warna kulit Sashi yang seputih s**u itu akan semakin bersinar ketika mengenakan dress hitam itu. Tadi pagi, aku juga sudah menyarankannya untuk mengenakan baju itu malam ini. Walau Sashi seringkali melawan, tapi beberapa waktu terakhir dia lebih banyak menurut. Dia tetap banyak bertanya, tapi tidak lagi membantah. "Ayo mulai masak," ucapku saat membuka pintu ruang tawanannya setelah baru saja sampai dari kantor. "Kamu langsung mau makan?" tanyanya. "Aku mandi dulu," ucapku singkat dan menyadari bahwa wanita ini masih mengenakan baju santainya. "Oh ya, kenakan dress yang kemarin kukasih!" titahku kemudian. "Nanti tidak nyaman bergerak," jawab Sashi mencoba melawan. "Jangan banyak beralasan. Memang kau sudah mencobanya?" tanyaku lagi. "Sudah. Terlalu pendek, terlalu ketat, aku sulit bergerak," ucapnya sambil cemberut. "Tidak. Kau pasti terlihat cantik memakainya," aku tanpa sadar berucap. "Hah? Apa?" Sashi bertanya entah benar tidak mendengar ucapanku atau hanya ingin menggodaku saja. "Sudahlah! Cepat ganti sana, sebelum ke dapur. Jadi aku bisa mandi secepatnya!" ucapku kemudian. Sashi pun masuk kembali ke ruangan itu. Wajahnya masih tidak ikhlas. Namun setelah beberapa saat akhirnya pintu ruangan itu terbuka, menampilkan sosok cantiknya. "s**t," ucapku tanpa sadar. "Apa?" lagi sehari ini Sashi bolak balik bertanya dengan kata yang sama. "Tidak apa-apa. Ayolah buruan!" aku kemudian berkata ketus membawanya memasuki area bangunan utama. Aku meninggalkan Sashi di dalam dapur yang kukunci. Setelah itu, aku beranjak ke kamar dan membersihkan diri. Mungkin 30 menit kemudian, aku sudah menuju ke dapur. Sashi terlihat sudah duduk di depan meja makan. "Masak apa malam ini?" tanyaku mencoba mencairkan suasana. "Bisa lihat sendiri 'kan?" jawabnya ketus dan tiba-tiba membuatku ingin mengerjainya. "Aku ingin makan di kamar. Pindahkan semua hidangan ini, siapkan meja di kamar, dan temani aku makan di sana," ucapku dingin kemudian dan langsung berlalu memasuki kamarku. ***** Tidak lama kemudian hidangan lengkap di dapur sudah tersaji di atas meja di kamarku. "Suap!" titahku sesaat setelah Sashi menyendokkan suapan pertama ke mulutnya "Aku juga lagi makan. Kamu makan sendiri aja ya?" tawarnya kemudian. "Suap atau 2 jam interogasi dengan pengawalku yang bengis," lagi aku mengancamnya. "Yaudah sini," akhirnya wanita itu menyerah juga. Dia sangat telaten menyuapiku, seakan-akan sedang menyuapi murid-murid saja. Santapan sudah disapu bersih, bahkan bisa sampai berkaca di atas piring. "Aku bereskan piring dan meja dulu ya," ucap wanita itu sesaat setelah kami selesai makan. Namun belum sempat dia berlalu, aku menahan tangannya. Lalu aku menarik tangan itu hingga tubuh si empunya jatuh ke pangkuanku. "Kamu kenapa? Mau apa?" tanyanya kikuk. Ternyata dari jarak sedekat ini Sashi jauh lebih cantik lagi. Matanya bulat besar, bibirnya penuh, dan kulitnya putih mulus. Aku tidak butuh apa-apa selain mencicipi lezatnya makanan dari mulutnya. Jadi dengan pemikiran itu, aku mengeratkan tanganku yang melingkarkan tubuhnya. Cup .... Aku menciumnya. Bukan ciuman penuh birahi. Belum, ini perkenalan saja. Saat aku mengangkat wajahku setelah bibir kami bertemu, wanita itu terlihat merona cerah wajahnya. Dia malu dan malah makin menggemaskan. "Berkenalan sekali lagi?" tanyaku kemudian dan membingungkannya. Aku yakin, wanita ini tidak tahu maksudnya tapi ingin saja mengikuti kata-kataku. Jadi kembali aku menyatukan bibir kami berdua. Namun kali ini tidak cuma bersentuhan saja. Aku melumat bibir atas dan bawahnya bergantian. Aku membuatnya terengah dan tubuhnya meleleh di atas pangkuanku. Tangan wanita itu pun secara kesadaran melingkari leherku. Pergulatan terus terjadi hingga kini Sashi telah kubopong menuju ranjangku. Aku merebahkan tubuhnya tepat di atas ranjang. Aku mencicipi mulutnya lebih dalam dan lebih dalam lagi. Sashi tidak lagi hanya terengah, tetapi juga gelisah. Wanita itu mencoba menarik wajahnya dari lumatanku dengan susah payah. Ketika terlepas, aku akan mencoba menyatukan kembali. Namun yang kali ini wanita itu berusaha menghindar. Dia terus menolehkan wajahnya ke kanan dan ke kiri menghindari ciumanku. "Berhenti," geramku kemudian sambil mencengkeram leher yang berbatas dengan dagunya. Mendapati wanita ini selalu menurut setiap aku menunjukkan emosi, membuatku menjadikannya alat. Alat ketika aku ingin memaksakan keinginanku padanya. Jadi apa keinginanku itu? Bisakah aku mendapatkannya? Sepertinya besar kemungkinan bisa. Karena apa yang kuinginkan, kini sudah tergeletak di bawah tubuhku. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN