My Destiny | 7

2123 Kata
Seminggu sudah waktu berjalan dengan sangat cepat, empat hari belakangan Rara sudah aktif dalam kegiatannya sehari-hari lagi. Dia akan berangkat ke kampus, latihan biola, nongkrong ala anak muda ketika akhir pekan, dan semua yang membuatnya senang akan Rara lakukan. Termasuk menentang semua aturan Alex, membuatnya merasa lebih hebat dan bisa berbuat sesuka hati. Satu lagi informasi penting, meski sudah sembuh total, pria menyebalkan satu itu belum juga berniat angkat kaki dari apartemen Rara. Pria menyebalkan? Ya, siapa lagi kalau bukan Alex. Tidak ada pria lebih menjengkelkan dari Alex, tapi anehnya ... Rara malah main hati. Terlebih cintanya bertepuk sebelah tangan, naas sekali. Katanya Alex akan menginap beberapa hari lagi, sebab kamar mandi di apartemennya sedang melakukan masa perbaikan. Rara bertanya lagi, kenapa tidak pulang ke rumah orang tuanya saja. Di sana fasilitas lengkap, nyaman melebihi hotel berbintang yang mewahnya terkenal selangit. Masih ingat bukan Alex terlahir dari keluarga siapa? Sultan, tujuh turunannya tak akan miskin. Bisnis di mana-mana, dan hebatnya semua berjalan lancar seperti air mengalir. Kecerdasan Paman Elvano memang tak pernah diragukan oleh semua orang, meski sekarang dia sudah berumur. Lagi-lagi Alex hanya menjawab malas. Katanya nyaman sudah berada di apartemen Rara, jaraknya ke kantor juga dekat. Menerima kenyataan harus berada dalam ruangan yang sama dengan Alex membuat Rara gelisah, dia tidak ingin jatuh terlalu dalam. Apalagi dengan perhatian Alex yang tidak pernah tenggelam, selalu ada saja hal-hal kecil yang dia berikan kepada Rara setiap harinya. Tidak bunga, boneka, jepit rambut, makanan kesukaan, dan sebagainya. Alex juga beberapa kali ngotot untuk mengantarkan Rara ke kampus dan latihan musik. Pokoknya di mana ada Rara, di sana Alex berada. Sore ini, Rara sedang membersihkan ruang pakaiannya. Ada beberapa bagian yang gadis itu ubah penempatan barangnya, menambah dengan barang baru juga agar tidak terlihat membosankan dan nampak penuh. "Perlu bantuan?" tanya Alex yang datang secara tiba-tiba. Pria itu bersandar pada kusen pintu, melipat kedua tangannya di depan d**a sambil memerhatikan setiap gerakan Rara sedari tadi. Dia sudah berada di sana sekitar lima menit. Rara berdecak sambil mengelus d**a. "Aku kaget, hampir aja jantung aku copot!" desisnya tajam. Mata Rara menyipit, menyorot tak bersahabat pada Alex yang melangkah ke arahnya. Alex mendekat, tangannya terangkat untuk menepuk-nepuk pelan puncak kepala Rara, lantas tersenyum. Alex tidak pernah sadar jika perlakuannya secekil apa pun menyita perhatian Rara, membuat perasaan gadis itu berdesir tanpa disengaja yang akhirnya menimbulkan cinta. "Aku bantu angkatin mejanya, sementara kamu susun bajunya aja ke dalam lemari." Alex mengambil alih meja yang akan Rara angkat. Gadis itu sudah berkeringat banyak, rambut di daerah pelipis sudah basah dan lepek. Rara menurutinya saja, lagian dia memang membutuhkan seseorang untuk membantunya sedari tadi. Sayangnya Bibi Ann sedang keluar. Entah sejak kapan juga Alex pulang dari kantor, Rara sama sekali tidak mendengar kedatangan orang sedari tadi. Ah, mungkin perasaannya saja karena terlalu fokus dengan kesibukan saat ini. Alex meletakkan meja putih yang sudah di bersihkan itu di sudut ruangan, di atasnya akan di letakkan vas bunga besar untuk memperindah ruangan, terlihat lebih fresh juga nantinya. Rara mengacungkan jempolnya, Alex meletakkan pada tempat yang benar. Sesuai dengan kehendak awal Rara. "Mau aku bantu bereskan pakaiannya juga?" Rara mengangguk saja. Dia sudah lebih baik sekarang hubungannya dengan Alex, tidak seburuk minggu-minggu sebelumnya. Entahlah, ternyata marahan dengan seseorang yang kita sukai itu capek juga. Tidak betah aja rasanya. "Kamu beresin bagian celana jeans aja. Sama pakaian yang di gantung, untuk yang lainnya biar aku." Alex mengangguk. Dia membuka lemari yang masih tertutup, dia pikir di sana tempat celana jeans berada, ternyata ... bukan. Dalamnya begitu mencengangkan, Alex sampai membulatkan mata dan kesulitan meneguk salivanya sendiri. "Astaga, Alexxx!" Rara memekik kaget. Dia langsung menghampiri Alex yang masih terdiam mematung, menutup kasar pintu lemarinya dengan keadaan amat berdebar. "Apa yang kamu lakuin? Aku suruh beresin bagian celana, kenapa malah ambil bagian yang lain?" Rara mendengkus sambil memukul lengan Alex--refleks, dia marah sekaligus malu. Alex tersadar. Kemudian malah terkikik geli. Seolah apa yang terjadi tadi benar-benar kebetulan yang membahagiakan. "Nggak sengaja, Ra. Aku pikir lemari ini bagian celana jeans, ternyata ... pakaian dalam ka--" "Sttsss! Siapa suruh kamu mengatakannya lebih jelas sih? Oh, astaga! Sepertinya aku akan gila sekarang juga!" Rara mengacak rambut, pipinya sudah seperti kepiting rebus. Tidak terbayang bagaimana malunya Rara ketika Alex membuka lemari bagian paling rahasia miliknya. Bagaimana pakaian dalam yang tergantung, bersusun rapih dalam lipatan, berbeda warna dan modelannya. Semua! Astaga, bunuh saja Rara sekarang! "Jangan terlalu dipikirkan. Aku mengerti. Mungkin tidak bisa melupakannya, tapi aku mencoba untuk tidak mengungkitnya lagi." Alex tersenyum, satu alisnya naik ke atas. Menaikkan bahu tanpa dosa. Dia emang hobi menggoda Rara, jadi bukan hal baru lagi dengan suasana seperti ini. "Tapi kalai soal mengingat, mungkin akan ku lakukan sesekali ya. Lumayanlah untuk hiburan aku." Rara berniat meraih guci kecil di atas lemari sepinggang, ingin rasanya dia lempar agar mengenai mulut kurang ajarnya si Alex. "Ck! Diamlah! Aku bukan orang yang sabar, jangan mencari masalah atau kamu akan membangunkan singa tidur!" "Apa kamu pikir aku bakal takut?" Rara berdecak. "Alex! Jangan menyebalkan lebih dari ini! Aku tidak segan menendangmu sekarang. Kalau mau bantu, segera bergerak. Berhenti menatap dan menjahiliku, memang kurang ajar sekali." Sambil menyeka keringat, Rara memajukan bibirnya. "Tidak heran sih, kamu kan memang minim akhlak!" Sebenarnya mereka berdua sama saja, tapi kadang sama-sama tidak sadar diri. Bukannya merasa bersalah dan meminta maaf atas kelakuannya, Alex malah terkikik semakin menjadi. "Oke, oke. Kali ini aku akan serius, aku akan membantumu menyelesaikan pekerjaan lelah ini." Alex membuka lemari sebelahnya. Benar, itu tempat celana jeans. "Bereskan itu, pindah ke sebelah sini." Rara menunjuk rak lemari yang baru. Sudah dia bersihkan dan memastikan jika tidak ada debu di dalam sana. "Jangan sampai ancur susunannya, liat pola susunan yang lain. Biar senada mereka semua." "Iya, iya cerewet!" Alex mendengkus. Dia segera memperbaiki sedikit lipatan celana jeans yang berantakan, memindahkan ke rak lemari yang baru. "Buang-buang ruang banget kamu susunnya begini, kenapa nggak satu rak itu diisi dua lipatan aja? Muat banyak, nggak cepat ketempelan debu." "Jangan banyak komen. Ikutin aja. Suka-suka aku, nggak ada yang boleh larang dan usul sembarangan tanpa persetujuan aku." "Oh begitu ...! Ck, kenapa perempuan secerewet ini? Padahal tinggal ditumpuk dalam satu ruang. Asalkan rapi lipatannya, bakal bagus susunannya. Kenapa harus berpola begini. Aneh." "Kalau nggak aneh-aneh bukan aku namanya. Sudah paham kan sampai sini? Jadi jangan banyak komentar. Kalau mau bantu, ya sudah ... tutup mulut. Kerjain aja apa yang aku suruh, selesai." Alex mencibir. "Pedas banget tuh mulut. Kayak belum pernah dicipok aja." Rara yang tadinya sedang menyusun kaos, langsung berhenti. Dia terdiam membisu. "Iyalah belum pernah. Tapi mau, sebentar lagi. Liat aja. Nanti aku kasih tau rasanya gimana ya." Senyuman miring terlihat jelas, Rara sepertinya tak main-main dengan ucapannya. Dengan tega, Alex menonyor kening Rara hingga sang empunya kaget bukan kepalang. "Jangan macam-macam, masih kecil!" "Hilih, misih kicil. Basi, Lex, aku nggak mau denger lagi kata-kata kecil, bocah, atau apa pun itu. Jika aku ingin, besok pun kalau mau hamil juga bisa. Aku sudah dewasa, udah punya KTP dan SIM, yang artinya boleh menikah." Alex bersungut kesal. "Ngasal aja terus kalau ngomong, nggak ada sopan-sopannya tuh mulut. Kamu pikir menikah di usia muda gampang? Pemikiran belum stabil, emosi belum terkontrol dengan baik, yang ada bukannya harmonis malah berantakan. Ada banyak kerumitan pada orang dewasa, apalagi saat menjalani rumah tangga. Tidak semudah yang kamu bayangkan, tidak segampang yang kamu pikirkan. Tidak semudah kamu membalik telapak tangan, kamu mengerti itu kan?" Rara menarik napas panjang. "Apa kamu pikir aku akan menikah beneran di usia semua ini? Kamu percaya dengan kata-kataku? Ck! Kamu seperti tidak mengenalku saja, aku masih betah bergaul dengan teman-temanku. Masih senang bermain ke sana ke mari, mana mungkin aku menikah segampang itu?" Alex kehabisan kata, menelan saliva saja kian sulit. Apa sekarang dia yang cepat tersulut ketika mendengar Rara ingin memasuki dunia orang dewasa lebih cepat? Kenapa rasanya seperti sangat tidak rela, dia takut kehilangan adik kecilnya. "A-aku cuman menasehati, bukan berarti percaya juga." Alex mencoba berkilah, dia malu jika ketahuan bawa perasaan dengan apa yang Rara ucapkan tadi. "Pokoknya kamu nikmati dulu masa muda kamu, tentu masih dalam batasan wajar. Jangan melampaui batas, maka kamu akan selamat. Jaga hal yang paling berharga dalam diri kamu, jangan sembarangan kasih ke orang yang bahkan kamu belum yakin kekuatan hatinya mencintai kamu, Ra." Rara memijat kening, dia menatap Alex dalam diam beberapa saat. "Sebenarnya kamu ngomongin apa sih? Kok aku sulit memahaminya? Kamu ngomong terlalu jauh, aku bahkan belum terpikir untuk ke sana. Tapi kalau soal cipokan, mungkin saja terjadi." Rara mengangkat bahu, tidak terlalu memedulikannya. "Semua teman-temanku melakukan hubungan intim layaknya suami dan istri, mereka biasa-biasa saja. Enak-enakan aja, nggak ada masalah sejauh ini. Menurutku juga wajar, sebab mereka saling mencintai." "Tunggi dulu!" Alex mengernyit bingung. "Apa maksud dari ucapan kamu barusan ... kamu ingin seperti mereka ketika menemukan seseorang yang kamu cinta nanti padahal tahu betul belum menikah? Iya?" Rara terdiam, kemudian kembali mengangkat bahu. Rara tidak tahu. "Aku tidak bisa berjanji sekarang. Coba kamu pikirkan saja, dua orang sudah menjalin kasih kemudian sama-sama cinta. Bukankah dengan berhubungan lebih jauh dapat memperkuat cinta? Kamu juga begitu kan? Cih, sok banget lagih nasehatin aku." Dengan jengah, Rara memutar bola matanya. Dia kembali teringat hubungan semua orang yang berada di dekatnya, hubungan intim memang sulit di jauhi. Selain nikmat, itu juga kan yang dapat mempererat suatu hubungan? Begitu bukan? Apa dia yang salah? "Aku sesat, makanya kamu jangan ikut-ikutan." Alex mendesah kecewa. Dia kembali pada pekerjaan semula. Setelah percakapan itu, kemudian keduanya sama-sama diam. *** Rara sudah rapi dengan pakaiannya, sesuai janji tadi siang di kampus, Calvin akan menjemputnya makan malam di luar. Kali ini katanya terserah Rara mau ke mana, Calvin akan mengikutinya. Begitu manis perlakuan Calvin hingga kadang Rara merasa bersalah karena tak bisa membalas perasaan lelaki itu. "Mau ke mana kamu?" tanya Alex dengan alis terangkat satu. Rupanya pria itu habis dari dapur. Untuk Bibi Ann, wanita itu sudah Rara beritahu jika tak perlu menyiapkan makan malam, kecuali Alex ingin saja. Sementara Rara akan makan malam di luar bersama Calvin. "Mau ngemis." Rara memutar bola mata malas. Alex menonyor kepala Rara karena kesal. "Jangan ngasal! Jawabannya yang bener sedikit, ngajak gelut aja!" Rara memajukan bibir. "Ya kamu pikir sendiri, aku sudah secantik dan serapi ini sekarang. Gila kan kalau mau ngemis?" Alex mendesah. "Aku mau jalan-jalan." "Ke mana?" "Terserah aku dong mau ke mana, suka-suka kaki aku mau melangkah ke mana." Alex menggerutu dalam hati. "Selalu ada saja jawaban kamu, mengesalkan! Selalu aja terserah kamu, padahal aku nanya baik-baik." "Keliling pusat berbelanjaan sama Calvin. Puas?" "Ck! Belanja lagi? Barang kamu sudah mau penuhim gudang, masih ada yang mau dibeli juga? Aku lihat tadi, pakaian kamu masih banyak yang baru--belum dipakai sama sekali--sekarang sudah mau beli lagi?" "Hem ... ya kira-kira. Tergantung mood aku nanti. Memangnya kenapa???" Rara berkacak pinggang. Dia menyipitkan matanya, jangan bilang Alex akan melarangnya. Tidak akan, Rara tidak mau menuruti mau Alex kali ini. Rara tidak ingin membuat Calvin kecewa karena acara jalan-jalan mereka dibatalkan secara sepihak dan dadakan. Tega sekali Rara kalau sampai hal it terjadi. Ingat ya, Rara masih punya hati. Dia tak ingin mempermainkan perasaan siapa pun. "Nggak apalah, sana gih pergi!" Alex lantas beranjak meninggalkan Rara yang kehabisan kata. Woy, tumben! Rara berdecak senang. "Abis makan apa kamu jadi baik gini? Besok-besok salah makan aja lagi, biar aku nggak merasa dikekang terus!" teriaknya saking bahagianya. Bunyi bel tanda adanya seseorang di depan pintu utama membuat Rara cepat-cepat membukakan pintu. Dia tahu pasti Calvin yang datang. "Hai, Rara." Syeila melambaikan tangan dengan riang di hadapan Rara. Wanita itu nampak anggun dengan pakaiannya yang feminim sekali. Berbanding terbalik dengan Rara yang selalu memakai celana jeans panjang bahkan sobek-sobek dibeberapa bagian sesuai model yang dia sukai. Rara segera menyapa balik, mengabaikan perasaannya yang langsung campur aduk. Apa Syeila dan Alex akan berduaan di dalam apartemennya? Menghabiskan waktu makan dengan bermestaan di tempat tinggalnya? Aish, sungguh ... demi Bumi dan seisinya, Rara tidak rela. Apalagi jika membayangkan kamar tamunya khusus Alex dikotori dengan desah dan erangan kedua pasang kekasih yang sedang dimasuk cinta ini. "Silakan masuk, Kak. Alexnya ada di dalam kamar. Bisa langsung disusulin aja." Rara berusaha bersikap baik-baik saja, seperti tidak terjadi sesuatu. Memangnya dia bisa apa? Rara tidak berhak atas diri Alex, menyedihkan sekali! Syeila mengangguk. "Kamu mau main ya, sudah rapi begini pakaiannya." "Iya, Kak. Calvin sebentar lagi datang ngejemput." Rara mengangguk. "Ah, sepertinya aku menunggu Calvin di lantai dasar aja deh. Bilangin sama orang rumah aku langsung berangkat aja. Dahhh, Kak!" Tanpa menunggu respons yang diberikan Syeila, Rara lebih lebih melenggang pergi. Menaiki lift untuk sampai di lantai dasar. "Lho, ke mana Raranya, Sayang?" tanya Alex pada Syeila. "Baru aja berangkat." "Calvin yang menjemputnya?" Syeila mengangguk. "Kata Rara begitu. Dia memilih menunggu di lantai dasar saja katanya." "Ck! Anak itu kebiasaan." ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN