Ke esokan harinya Zulaikha sudah dipindahkan ke ruangan rawat, bukan lagi di ruangan UGD. Meskipun ruangan rawatnya tidak pribadi, alias satu kamar bisa berisi empat orang atau lebih, setidaknya ruangan ini lebih tertutup dari sebelumnya.
Kemarin ayah dan ibunya sangat khawatir, bahkan ayahnya sampai memaksakan diri untuk hadir ke rumah sakit. Zulaikha jadi merasa bersalah, karena ia orangtuanya harus susah payah datang ke rumah sakit.
Untungnya zaman sekarang ada yang namanya tunjangan untuk pembiayaan rumah sakit, jadi Zulaikha bisa sedikit bernapas lega, ya walaupun masih mandet-mandet karena pikiran lain terus memenuhi otaknya.
Siang ini Zulaikha menyuruh Fauzan untuk membawa ayah dan ibunya pulang, ia tidak mau ayah dan ibunya ikut sakit, ia pun sudah mengatakan kalau ia sanggup menjalani perawatan tiga hari ke depan di rumah sakit tanpa bantuan ayah dan ibu. Ia mengatakan itu bukan karena tidak suka akan kehadiran ayah dan ibunya, ia justru merasa sangat bersalah kalau merepotkan ayah dan ibunya. Awalnya ayah dan ibunya tidak mau, tapi setelah Zulaikha memaksanya akhirnya mereka mau. Lagi pula ibunya harus bekerja di pabrik kue, yang mana atasannya tidak bisa memberikan jadwal libur seenak jidat, Zulaikha cukup tahu diri akan hal itu.
Karena sekarang hari Sabtu, Alea jadi bisa datang menjenguk. Dia di rumah sakit sudah dari pagi, sekitar jam tujuh, dan sekarang--di pukul dua siang--anak itu masih menetap. Sudah dikatakan sebelumnya kalau Alea itu anak tunggal, ayah dan ibunya selalu sibuk, karena itu ia sering merasa kesepian. Biasanya Alea akan mengisi waktu luangnya untuk organisasi ekstra kampus, berhubung sekarang Zulaikha--sahabat terbaiknya--sedang sakit, ia jadi menggunakan fasilitas rumah sakit sebaik mungkin; tidur di lantai beralaskan tikar yang sengaja ia bawa sambil diam-diam makan makanan dari luar, menggunakan wifi, dan lain sebagainya, Zulaikha sudah tidak aneh dengan tingkah sahabatnya itu.
Alea sampai tersedak makanan saat melihat gorden yang menutupi kasur dan beberapa jengkal lantai di sekitarnya terbuka. Untungnya kali ini ia tidak memakan makanan aneh, hanya satu bungkus roti, tidak seperti sebelumnya; chiki, sushi, dan lain sebagainya. Padahal Zulaikha sudah memarahinya, tapi Alea tidak mau mendengar. Sejak tadi Alea banyak cerita, membuat Zulaikha lupa akan beban hidupnya untuk beberapa saat.
"Diminum obatnya, ya, Mbak, supaya lukanya cepat mengering dan rasa nyerinya bisa terkikis," ucap seorang perawat yang sebelumnya pernah Zulaikha lihat di ruangan UGD, Sara namanya.
"Terima kasih, Sus," ucap Zulaikha sambil meraih satu kapsul obat, ya, hanya satu kapsul obat saja.
Saat Sara pergi, tepat ketika Alea hendak menutup gorden kembali, matanya menangkap sosok Yusuf sedang memeriksa seorang kakek-kakek, tampaknya kakek-kakek itu baru selesai operasi dan sekarang masih pada tahap penyembuhan yang mengharuskannya menetap sebentar di rumah sakit.
"Lik," ucap Alea dengan nada berbisik.
"Kenapa? Kok enggak dilanjut? Tutup aja gordennya."
"Ada dokter Yusuf di depan banget," ucap Alea masih dengan suara pelan.
"Terus?"
"Mau lihat enggak? Hitung-hitung cuci mata."
Zulaikha mendesis. "Tutup, Le, aku mau makan, lapar," ucap Zulaikha sambil melihat makanan yang belum lama dikirimkan oleh petugas.
Alea mendengkus. "Huh, enggak seru!" ucapnya sambil menutup gorden dengan kasar. Hal itu membuat kepala Yusuf spontan menoleh, tapi saat ia menoleh yang ada di penglihatannya hanya gorden yang sudah tertutup, jadi ia balik menatap pasiennya kembali.
***
Sore-sore, di parkiran, Yusuf berpapasan dengan Fauzan. Laki-laki itu membawa tas yang entah apa isinya, dia tampak jalan kaki, mungkin sebelumnya naik bus atau diantar teman yang tidak ikut masuk sebab kalau ikut masuk harus bayar parkir. Yusuf melambaikan tangan, ia masih ingat betul Fauzan--remaja laki-laki yang sudah membenarkan mobilnya tanpa ia bayar sama sekali.
"Mumpung berpapasan, sekalian bayar aja," pikirnya.
Fauzan tersenyum saat Yusuf sudah ada di hadapannya. Dia tidak ingat siapa nama laki-laki yang ada di hadapannya, tapi ia masih ingat kalau laki-laki ini pernah ia temui di bengkel.
"Kamu Fauzan, kan?" tanya Yusuf, dia tahu nama Fauzan dari teman laki-laki itu, yang ikut serta juga di dalamnya--memperbaiki mobil Yusuf.
Fauzan mengangguk. "Iya, saya Fauzan."
Kalau dilihat-lihat, Fauzan memang sangat berbeda dengan Zulaikha. Di mana Zulaikha terlihat seperti muslimah taat, Fauzan justru sebaliknya--muslim yang tidak taat. Rambut laki-laki itu gondrong dan dicat warna pirang, dia juga memakai kaus dengan kata-kata tidak sopan--f**k You--dengan pasangan levis bolong di lutut, tapi, Yusuf tahu betul kalau menilai orang tidak baik dari penampilannya saja. Mengingat Zulaikha adalah gadis yang baik, Yusuf jadi berpikir kalau Fauzan pun demikian.
"Waktu itu kamu membenarkan mobil saya, tapi saya lupa memberikan kamu upah," ucap Yusuf sambil merogoh kantung celananya.
Saat dompet tebal keluar dari tempat persembunyiannya, Fauzan langsung melambaikan tangan. Meskipun ia akui kalau ia bukanlah laki-laki yang baik dan selalu tidak mau mendengar nasihat orangtua dan kakaknya, sebenarnya Fauzan juga selalu mengingat poin-poin penting dari nasihat orangtua dan kakaknya. Kakaknya selalu bilang jangan malu menjadi diri sendiri, tapi jangan mau dikasihani kalau masih sanggup berjuang. Ia pribadi memang tidak suka dianggap rendah orang lain.
"Terima kasih, Pak Dokter, tapi saya udah dapat jatah kok dari yang punya bengkel, maaf saya buru-buru, mau antar pakaian kakak saya, duluan, Dok." Setelah mengatakan itu Fauzan membungkukkan badan sekilas lalu pergi meninggalkan Yusuf yang masih memegang dompetnya sambil bengong.
Yusuf mengerjapkan mata saat punggung Fauzan semakin menjauh. "Ternyata dia sama seperti kakaknya, itu yang aku lihat, mereka pandai menutupi sisi yang memang enggak mau mereka tampaki," ucap Yusuf sambil memasukkan kembali dompetnya ke dalam saku celana.
Hari ini ia pulang sore, karena azan Maghrib sudah lebih dulu berkumandang, akhirnya Yusuf memutuskan untuk salat terlebih dahulu, baru pulang.
Di sisi lain, Fauzan mempercepat langkahnya untuk sampai ke ruangan kakaknya yang ada di lantai tiga, ia harus menaiki lift dan jalan beberapa langkah. Fauzan sampai terkejut saat melihat kasur tempat kakaknya harusnya merebahkan tubuh kosong, tapi belum sempat ia bertanya ke orang lain, kakaknya sudah lebih dulu muncul dari kamar mandi, rupanya dia baru selesai wudu.
Dengan langkah perlahan dan sambil menarik tiang yang menjadi penyangga infusan, Zulaikha terus maju ke tempatnya semula.
"Terima kasih, ya, maaf aku merepotkan kamu terus," ucap Zulaikha seraya mengambil tas dari tangan Fauzan. Ya, dia yang menyuruh Fauzan datang ke rumah sakit untuk membawakan ia pakaian dan mukena.
"Salat dulu, gih, ada musala kok di bawah," ucap Zulaikha.
Fauzan diam saja, tanpa bicara apa pun dia langsung pergi meninggalkan Zulaikha. Zulaikha sudah tidak aneh dengan tingkah adiknya.