BAB 16

1041 Kata
"Likha! Kenapa bisa? Kenapa bisa kamu santai-santai aja? Padahal diajak bicara sama dokter Yusuf!" Zulaikha langsung menutup telinga saat mendengar ocehan Anisa. Beberapa menit lalu Yusuf izin pergi sebab ada yang menghubunginya, dia bilang ada pasien yang harus ia urus. Sejak tadi Anisa memang terus menatap ke arah mereka, memberikan kode-kode--kedipan mata dan lain sebagainya. Zulaikha sudah tidak aneh dengan tingkah teman kerjanya yang satu ini. "Lha, emangnya aku harus gimana, Nis?" tanya Zulaikha sambil melangkahkan kaki keluar dari cafe, sekarang waktunya untuk pulang, jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. "Emangnya kamu enggak tremor gitu? Enggak salah tingkah? Ya Allah, Likha, kamu suka laki-laki, kan? Kamu normal, kan?" Zulaikha menghela napas pelan. Anisa ini sering sekali mengajukan pertanyaan panjang, membuat lawan bicaranya kewalahan harus menjawab dari mana, bahkan lupa apa yang dia tanyakan karena saking banyaknya. Di mana Anisa ingin mengajari Zulaikha untuk lebih peka dan memepet anak sulung atau anak bungsu kaya raya, Zulaikha justru berkeinginan mengajarkan Anisa untuk merukiah diri sendiri. Perempuan ini seperti kerasukan kalau tingkat keingintahuannya sudah meningkat sampai ubun-ubun. "Harus banget gitu?" tanya Zulaikha sambil terus melangkahkan kakinya. "Aku kalau jadi kamu mungkin udah tremor di tempat. Nih, ya, Lik, saran aku kamu pepet salah satunya deh. Yang lebih menjanjikan sebenarnya dokter Yusuf, tapi sama kak Kafka juga menjanjikan, dia calon penerus perusahaan Alhusyn Group, bayangin sekaya apa nanti dia?" Zulaikha menggelengkan kepalanya. Kalau Zulaikha sudah tidak bicara apa-apa sambil menggelengkan kepala, tandanya ia memang sudah lelah dan bingung ingin bicara apa. Anisa paham itu. Namun tetap saja, Anisa gemas dibuatnya. Ia jadi berandai-andai jika ia bisa merasuki tubuh Zulaikha, kalau ia bisa melakukan itu, ia pasti akan membantu jiwa tidak peka Zulaikha itu kalau sedang berhadapan dengan Yusuf ataupun Kafka, ia akan buat salah satu dari laki-laki itu menikahi Zulaikha dengan kemampuannya menggaet laki-laki. "Aku belok, ya, hati-hati di jalan, jangan banyak mikirin laki-laki, kuliah yang benar, tugas juga dikerjakan, jangan nakal. Ingat orangtua di kampung, Anak Rantau!" Setelah mengatakan itu Zulaikha langsung belok, meninggalkan Anisa yang membeo tidak terima. Zulaikha tersenyum kecil saat sudah belok, kalau dipikir-pikir yang dikatakan Anisa memang benar. Kenapa ia bisa terlihat biasa saja? Zulaikha menggelengkan kepalanya lalu menggedikkan bahu. Sepenglihatannya, Yusuf pure ingin membantu, tidak lebih, jadi tidak ada yang perlu ia risaukan. Sebenarnya kalau dibilang tremor atau tidak, jujur saja ia tremor, hanya saja tremor karena tidak biasa bicara dengan laki-laki, terlebih Yusuf belum ia kenali secara dekat, bukan seperti apa yang Anisa pikirkan. Zulaikha pun bisa mengontrol diri. Zulaikha menghela napas berat. "Anisa itu, pikirannya emang laki-laki mulu, dia enggak tau apa, ya, nikah itu enggak seindah n****+-n****+ yang sering dia baca, enggak semua pernikahan mulus." Di sisi lain, Anisa masih berpikir, bagaimana cara supaya ia bisa mendekatkan Zulaikha dengan Yusuf atau Kafka. Namun saat ia mengingat bagaimana respon Zulaikha, ia malah jadi berpikir, "Bagaimana kalau aku aja yang deketin mereka berdua, siapa tau di antara mereka berdua jodoh aku, kan enggak ada salahnya buat usaha, selain memperbaiki keturunan, memperbaiki uang bulanan juga." Anisa memetik tangannya. "Ide bagus!" *** Di saat jam istirahat tiba, Zulaikha dan Alea memilih untuk cari makanan di luar kampus. Selain harganya lebih murah, menunya pun banyak, tidak itu-itu saja. "Nasi padang yuk, Lik?" ajak Alea sambil melihat-lihat tukang jualan di sisi jalan. "Kemarin, kan, udah makan nasi padang, yang lain, kek, Le. Bosan aku, lha." Alea menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Bakso kayaknya mantap nih," ucap Alea, kali ini wajahnya langsung menoleh ke arah Zulaikha sepenuhnya, ia menampakkan wajah berbinar, seolah meminta Zulaikha untuk menyetujui apa yang ia tawarkan. Akhirnya Zulaikha menganggukkan kepala, lagi pula tukang bakso yang Alea maksud masih sepi pengunjung, hitung-hitung sebagai penglaris dan juga agar tidak terlalu lama menunggu lalu mereka harus makan tergesa-gesa; tidak menikmati sama sekali. Di sisi lain, Kafka dan Amar juga memilih untuk mencari makanan di luar kampus. Tanpa sengaja Kafka melihat Zulaikha dan Alea melangkah ke sana. Entah mengapa, akhir-akhir ini ia sangat tertarik dengan Zulaikha, sebagai laki-laki normal, ia tidak munafik, Zulaikha memang wanita yang cantik, selain itu, sebenarnya yang membuat Kafka tertarik dengan Zulaikha adalah perangai wanita itu, tentunya dengan bagaimana dia yang terus berjuang meski kondisi tidak mendukung dan lain sebagainya. Mengingat ia tidak terlahir dalam keadaan langsung senang, ia jadi sangat tertarik dengan orang-orang yang penuh perjuangan seperti Zulaikha. "Beli bakso, yuk, Mar?" ajak Kafka. Amar langsung paham karena ia juga melihat Zulaikha dan Alea masuk ke sana. Dari awal ia sudah menebak kalau Kafka tertarik dengan seseorang di antara mereka--Zulaikha dan Alea--sekarang ia sudah menemukan siapa incaran Kafka dari dua perempuan itu yang tak lain adalah Zulaikha. "Udah langsung bilang aja dah kalau naksir mah," ucap Amar sambil melangkah lebih dulu. Kafka tertawa kecil, Amar itu tipe orang yang diam-diam menghanyutkan. Dia tak banyak bicara, tapi peka dengan keadaan. Orang yang tidak mengenalnya pasti akan mengira dia orang yang lugu, polos, dan tidak tahu banyak hal, padahal otak Amar jauh lebih luas, dan harus digaris bawahi, dia tidak sepolos apa yang terlihat, Kafka sangat tahu bagaimana Amar. Dia juga laki-laki normal pada umunya, dia juga laki-laki berusia 22 tahun pada umumnya. Memang tidak baik menilai orang dari cover. "Eh, Kak Kafka," ucap Alea saat melihat Kafka ikut masuk bersama Amar. Zulaikha yang sebelumnya sibuk melihat handphone, langsung mendongak. Ia tersenyum saat matanya berpapasan dengan mata Kafka. "Wah kita ketemu lagi," ucap Kafka. Dia duduk tidak jauh dari tempat di mana Zulaikha dan Alea duduk. Tinggallah Amar yang tetap tenang meski dalam hati tertawa, Kafka juga bisa bohong, Kafka juga bisa gombal, sejak awal mereka sering bertemu sebenarnya bukan tanpa sengaja, tapi memang karena disengaja. Sejenak Kafka dan Alea berbincang, Zulaikha dan Amar hanya jadi penyimak atau kadang-kadang menyela jika memang ditanya. Zulaikha jadi berpikir, mungkin Kafka menyukai Alea. Padahal yang terjadi sebenarnya Kafka justru mengagumi ia dan Alea adalah satu-satunya orang yang bisa membuat Kafka dekat dengan Zulaikha. "Wah, ada Kafka dan Amar," ucap seseorang dari arah pintu. Seketika Kafka berhenti bicara, Amar menghela napas pelan, sementara Zulaikha dan Alea saling berpandangan bingung. "Apa kabar kalian, udah lama banget enggak kumpul, beruntung kita ketemu di sini. By the way, Raf, dulu, kan, tempat ini jadi tempat favorit kita, masih ingat, enggak?" Raf .... Raf .... Raf .... Panggilan itu seolah menggema di pendengar Kafka, rasanya sangat tidak nyaman.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN