Karena Yusuf memiliki pasien di ruangan yang sama dengan ruangan di mana Zulaikha dirawat, dia jadi sering datang ke ruangan itu. Sudah tiga hari berturut-turut Zulaikha melihatnya. Namun hanya Zulaikha saja yang melihatnya, Yusuf tetaplah seperti laki-laki yang ia kenal di awal; cuek dengan orang lain. Padahal tanpa Zulaikha tahu, Yusuf pun sudah tahu kalau Zulaikha ada di ruangan itu.
Yusuf tertarik menatap ke arah Zulaikha karena perempuan itu berhasil menarik perhatiannya dengan apa yang perempuan itu lakukan. Yusuf pernah melihatnya sedang baca Al-Qur'an, lalu salat, zikiran, bahkan dia masih sempat belajar meski sedang berada di rumah sakit. Biasanya orang-orang yang ada di rumah sakit akan memfokuskan diri dengan penyakitnya, tapi tidak untuk Zulaikha. Diam-diam, Yusuf kagum dengan perempuan itu, perempuan yang awalnya tak pernah ia kenali sama sekali, perempuan sederhana yang terlihat mengilap di matanya.
Hari ini adalah hari terakhir Zulaikha diinapkan di rumah sakit, dia pun sudah tidak lagi mengenakan selang infus. Di pukul dua siang ini, ia ditemani oleh Alea dan Fauzan. Alea sudah datang sejak pukul sebelas sementara Fauzan baru datang, dia datang untuk menjemput Zulaikha karena disuruh oleh orangtuanya. Meskipun Zulaikha selalu mengatakan kalau ia bisa sendiri, orangtuanya tetap tidak tega. Fauzan pun tampaknya demikian, dia tidak membantah sama sekali saat orangtuanya menyuruh ia untuk menjemput Zulaikha.
Lalu Alea, dia memang selalu ke rumah sakit setiap hari, dia juga selalu membawa makanan enak dan memberikan resume yang menjelaskan perkuliahan hari itu, ia tak akan pernah melupakan semua kebaikan yang sudah orang lain lakukan kepadanya, terlebih itu Zulaikha, salah satu orang yang selalu ada untuknya saat susah ataupun senang.
"Kamu ke sini naik apa?" tanya Alea saat Fauzan mulai menenteng tas berisi pakaian kotor Zulaikha.
"Bus," jawab Fauzan singkat.
Alea menganggukkan kepalanya, ia sudah tahu banyak tentang Zulaikha dan keluarganya, tak terkecuali Fauzan, jadi saat Fauzan menjawab pertanyaannya dengan nada ogah-ogahan, ia bisa memaklumkan. Laki-laki itu memang memiliki karakter kurang baik, sangat berbeda dengan Zulaikha--kakaknya.
"Yaudah naik mobil aku aja kalau gitu."
Fauzan tidak menjawab apa pun, bahkan menganggukkan kepala pun tidak, bicara dengan Fauzan itu memang tidak menyenangkan. Zulaikha terkekeh pelan saat melihat raut Alea berubah tidak enak. Melihat Zulaikha cekikikan di kasur pesakitan, Alea langsung melotot ke arahnya.
"Ayo kita pulang," ucap Zulaikha sambil bangun dari duduknya,
Fauzan langsung melangkahkan kakinya lebih dulu. Tepat saat Alea dan Zulaikha keluar dari ruangan, mereka melihat langkah Fauzan terhenti karena ada yang mengajaknya bicara. Itu Yusuf. Alea langsung menyikut lengan Zulaikha agar sadar situasi.
"Fauzan emang kenal sama dokter Yusuf, ya?" bisik Alea.
Zulaikha menganggukkan kepalanya. "Dia pernah ngebenerin mobilnya pak Yusuf," ucap Zulaikha pelan.
Alea menganggukkan kepalanya sambil membulatkan bibir. Namun, saat mata Yusuf terarah ke padanya bulatan bibir pun langsung berubah menjadi simpulan senyum. Tak disangka-sangka, Yusuf juga tersenyum ke arahnya.
"Halo, Dok," sapa Alea, Alea ini memang pandai dalam urusan menyapa orang lebih dulu sekalipun orang itu tidak ia kenal dekat. Sangat jauh berbeda dengan Zulaikha yang harus menyiapkan mental terlebih dahulu.
Yusuf menganggukkan kepalanya sekali lalu melambaikan tangan. "Ya, halo."
"Ini kakak saya," ucap Fauzan. Tadi Yusuf memang basa-basi bertanya kepada Fauzan sedang apa dan juga bertanya siapa kakaknya, meskipun sebenarnya ia sudah tahu. Entahlah ia pun bingung mengapa jadi basa-basi seperti ini.
"Zulaikha?" ucap Yusuf sambil menatap ke arah Zulaikha yang terus menunduk.
Saat mendengar namanya disebut, Zulaikha langsung mendongakkan kepalanya, ia tersenyum kecil sambil menangkupkan tangannya di d**a. "Iya, Pak."
"Dokter kenal kakak saya?" tanya Fauzan sambil menatap Yusuf dan Zulaikha bergantian.
Yusuf menganggukkan kepalanya. "Ya, saya udah beberapa kali bertemu dengan dia."
Fauzan menganggukkan kepalanya sambil membulatkan bibir.
"Bagaimana keadaanmu?" tanya Yusuf.
"Alhamdulillah udah baik, Pak."
Yusuf menganggukkan kepalanya. "Syukurlah, yaudah kalau begitu saya permisi, hati-hati di jalan."
Setelah Yusuf pergi Alea langsung memeluk lengan Zulaikha. "Kamu sama dokter Yusuf ...?"
"Apa?!"
Tiba-tiba Alea melepaskan pelukannya di lengan Zulaikha lalu menempelkan kedua jari telunjuknya di udara. Di saat itu juga Zulaikha langsung menghempaskan tangan nakal Alea itu.
"Enggak!" tukas Zulaikha cepat.
Alea cekikikan, untung saja sudah sampai di parkiran, jadi dia langsung memasuki mobil.
"Ayo masuk, kamu di depan, Lik, ada yang mau aku omongin lagi, biarin si Fauzan sendirian di belakang."
Zulaikha menatap Fauzan yang tidak menampakkan ekspresi apa pun selain flat.
"Aku naik bus aja." Tanpa mau mendengarkan ucapan Zulaikha ataupun Alea lagi, Fauzan langsung pergi begitu saja.
Alea menaikkan bibir atas bagian kirinya. "Parah, sih, adik kamu nyebelin banget!" ucap Alea sambil menyalakan mesin mobil.
Zulaikha tersenyum kecil. "Maafin adik aku, ya, Le, dia emang kayak gitu, jangankan sama kamu, sama aku aja gitu."
Alea menggelengkan kepalanya sambil menghela napas pelan. "Untung ganteng."
"Lha emangnya kalau enggak ganteng mau kamu apain adikku?"
"Tampol, kan kalau tampan sayang tuh mukanya, bisa dijadiin ladang uang."
Zulaikha mendesis. "Aku enggak izinin wajah adikku jadi bahan halu perempuan, nanti setiap detik dia dapat dosa."
Alea cekikikan. "Becanda elah."
Setelahnya Alea langsung membicarakan soal Isal yang nekat datang ke rumahnya membawa martabak telur tapi ia usir karena takut ketahuan ayah dan ibunya yang kebetulan lagi ada di rumah. Tujuan Alea menceritakannya kepada Zulaikha adalah bertanya apakah Isal akan merah atau tidak dengan ia, tapi cukup disayangkan jawaban Zulaikha hanya gelengan kepala.
***
"APA? ZULAIKHA DIRAWAT? KENAPA BARU KASIH TAU AKU, KAK? PANTES AJA AKU ENGGAK LIHAT DIA BEBERAPA HARI INI."
Yusuf langsung menutup telinganya. "Bisa pelan aja enggak, sih, bicaranya?"
Kafka menghela napas pelan. "Aku tuh lagi merasa bersalah sama dia, aku kira dia enggak kelihatan beberapa hari ini karena emang lagi hindari aku, ternyata dia sakit. Ayo jawab kenapa Kakak baru kasih tau sekarang?"
Yusuf yang sebelumnya berdiri sambil menatap Kafka yang sedang telentang di karpet berbulu ruangan keluarga pun sekarang duduk di samping Kafka. Di saat itu juga Kafka ikut duduk di sampingnya.
"Aku ...." Tiba-tiba Yusuf bingung ingin menjawab apa, ia pun bingung, kenapa ia merasa enggan memberitahu adiknya yang beberapa hari ini ia ketahui mengagumi Zulaikha. Ada rasa tidak rela, atau sejenisnya, entahlah, ambigu ....
"Kenapa?" Kafka semakin penasaran.
"Aku juga baru tahu." Ingin rasanya ia memukul diri sendiri, kenapa malah jadi berbohong? Yusuf mengusap pelan wajahnya sementara Kafka menganggukkan kepalanya lalu bangkit dari duduk.
"Mau ke mana?" tanya Yusuf.
"Mau tanya Zulaikha." Tanpa mendengarkan Yusuf lagi, Kafka langsung melangkahkan kakinya menuju kamar, lagi pula Yusuf sudah tidak bicara apa pun setelahnya.
Saat Kafka pergi, Yusuf langsung menepuk kedua pipinya. "Ada apa denganku?"
***
Ke esokan harinya Zulaikha langsung kuliah, padahal luka di kepalanya belum sempurna sembuh. Zulaikha takut ketinggalan banyak pelajaran kalau berlama-lama izin tidak kuliah. Meskipun ia selalu mendapatkan resume dari Alea, tetap saja, rasanya tidak memuaskan kalau bukan hasil simakan sendiri.
Semalam ia mendapatkan pesan dari Kafka, dia bertanya apakah Zulaikha sakit, dan segala pertanyaan lainnya. Zulaikha pun sudah memberitahukan hal itu kepada Kafka. Namun ada satu pesan yang belum Zulaikha balas karena sudah terlalu malam dan ia pun sudah mengantuk. Niatnya ia akan bicara langsung saja kalau memang bertemu. Zulaikha kurang suka berlama-lama chat dengan laki-laki, ia membalas chat Kafka karena rasa segannya saja, kalau saja ia tahu Kafka bukan laki-laki baik-baik, dijamin, saat itu juga ia delete nomor Kafka.
"Lik! Kamu emangnya udah sehat?!" ucap Alea heboh saat melihat Zulaikha sudah ada di tempat bisanya duduk.
Zulaikha menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. Sementara Alea menggelengkan kepalanya, ia sudah tidak aneh dengan sikap pekerja keras yang Zulaikha miliki. Anak itu benar-benar memiliki prinsip kalau waktu adalah uang, leha-leha tidak ada dalam kamus hidup Zulaikha. Jujur saja, Alea iri dengan kegigihan wanita itu.
Hari Rabu ini mereka ada satu mata kuliah saja. Alea cukup bersyukur akan hal itu, setidaknya Zulaikha tidak akan terlalu pusing,
Setelah perkuliahan selesai, Alea menyeret Zulaikha untuk langsung pulang. Namun Zulaikha menolak karena dia mau ke perpustakaan terlebih dahulu, katanya mau mengumpulkan referensi untuk makalah yang akan ia garap, dia bilang deadline-nya tinggal hitungan jari, jadi Alea tidak jadi memaksanya.
"Ayo aku temenin," ucap Alea.
Akhirnya mereka berdua pergi ke perpustakaan, sebelum itu mereka membeli air mineral dahulu supaya tidak bulak-balik keluar, dari aura-auranya, Alea yakin Zulaikha akan lama memilih bahan referensi. Soalnya ini bukan yang pertama, ia sudah sering menemani Zulaikha ke perpustakaan.
"Zulaikha, ya?" tanya perempuan bertubuh jangkung dengan body goals impian banyak wanita.
Zulaikha menganggukkan kepalanya. "Iya, ada apa, ya?" Zulaikha tahu siapa perempuan itu, dia satu angkatan dengan Zulaikha, hanya beda kelas saja.
"Tadi gua papasan sama kak Kafka di gerbang, dia cariin lu, gua cuma sampein salam aja. Duluan ...." Setelah mengatakan hal demikian perempuan bernama Irish itu langsung pergi bersama tiga temannya yang sama-sama tidak mengenakan kerudung. Bisa dibilang mereka itu kumpulan perempuan good looking dan good dompet, menurut gosip yang beredar, mereka itu memiliki black card.
Dari kejauhan mereka tampak berbisik sambil tertawa, sesekali saling senggol-menyenggol.
"Lagi ngomongin kamu tuh mereka, kurang suka banget sama mereka," ucap Alea sambil menatap punggung keempat orang tadi dengan tatapan jengkel. Alea memang pernah bertengkar dengan Irish, bahkan sampai jambak-jambakan. Saat itu Irish mengatakan Alea murahan karena gabung dengan banyak laki-laki, Alea tidak terima sebab ia gabung dengan laki-laki pun sebab ada keperluan mendesak. Awalnya hanya adu mulut, tapi karena tidak mau saling kalah, malah bertengkar hebat.
"Husss! Jangan suuzon, udah ayo masuk."
Alea berdecak. "Najis!"
"Le!"
"Iya-iya."
Kenyataannya empat orang itu memang membicarakan Zulaikha, mengatakan kalau Zulaikha cari yang tajir karena lelah menjadi mahasiswa pengejar beasiswa. Mereka mengakui kalau Zulaikha itu cantik, wajahnya seperti barbie, tapi mereka menyayangkan kalau Zulaikha suka dengan yang kaya dan lupa bagaimana kenyataan hidupnya. Mereka memang kumpulan good looking, good dompet, tapi sayang tidak good attitude.
Sebenarnya Zulaikha pun tahu kalau ia sedang dibicarakan, tapi ia tidak mau ambil pusing. Biarlah mereka bicara apa, kalau Zulaikha ikut membalasnya, itu sama saja ia sama dengan mereka.
***
Tepat saat Zulaikha dan Alea keluar dari gerbang universitas, mereka mendapati Kafka, Amar, dan Rizwan sedang adu mulut bersama seorang laki-laki asing dengan suasana penuh emosi. Jalanan pun tampak ramai. Amar terlihat sedang menahan Rizwan, sementara Kafka sedang berusaha menenangkan laki-laki asing itu.
"Ada apaan tuh?" tanya Alea.
Zulaikha hanya menggelengkan kepalanya.
"Coba yuk lihat," ajak Alea sambil menyeret tangan Zulaikha.
"Dih, enggaklah."
"Udah ayo!" Tanpa mau mendengarkan dumelan Zulaikha lagi, Alea langsung menarik tangan anak itu untuk menjauh. Akhirnya Zulaikha hanya pasrah, lagi pula Alea tidak akan membiarkan ia pergi sebelum rasa penasarannya terobati.
***
Yusuf menghela napas pelan sambil memijit keningnya saat seorang perempuan dengan jas dokter masuk ke ruangannya sambil membawa rantang berisi makanan. Dia adalah Tari, perempuan yang pernah Kafka dan pak Alhusayn singgung saat makan malam.
"Aku buat makanan ini sendiri, semoga kamu suka," ucap Tari sambil menyodorkan rantang itu kepada Yusuf.
"Lain kali enggak usah repot-repot, biasanya saya lebih nyaman makan di luar," ucap Yusuf tanpa menatap Tari yang masih saja menampakkan senyumannya.
"Maaf."
Hening untuk beberapa saat, Yusuf memilih untuk tidak peduli dan meneruskan pekerjaannya, sementara Tari terus menatap wajah Yusuf dengan tatapan penuh keterpesonaan. Ia jadi semakin terobsesi dengan Yusuf, laki-laki itu tambah tampan saat fokus bekerja. Tari pun tidak tahu kenapa ia sangat mengagumi Yusuf yang sama sekali tidak membalas perasaannya, padahal di luar sana, banyak laki-laki tampan dan kaya yang mengidamkan ia.
"Kamu nanti malam free enggak, ayah sama ibu undang kamu makan malam, kata ayah dia juga udah ajak ayah kamu dan ayah kamu setuju."
Yusuf yang sebelumnya fokus menulis langsung menghentikan kegiatannya. Ia mendongak dengan wajah tidak bersahabat, tapi yang ia dapati malah senyuman manis Tari.
"Saya sibuk, Tari, bisakah kamu membiarkan saya bekerja?"
Tari tergagap. "O-oh maaf, yaudah kalau gitu nanti malam aku tunggu, ya, selamat bekerja, jangan lupa untuk makan dan istirahat, aku harap kamu selalu sehat." Setelah mengatakan itu dan tak mendapatkan respon apa pun dari Yusuf, akhirnya Tari memutuskan untuk keluar dari ruangan laki-laki itu.
Ia menghela napas pelan lalu mengumpat dengan volume kecil. "Laki-laki sialan!"
***
"Saya warga asli sini, dia kira mentang-mentang mahasiswa universitas bergengsi bisa nasihatin orang yang lebih tua? Saya mau malak kek, apa kek, suka-suka saya!" ucap seorang laki-laki berjaket kulit.
Laki-laki itu sudah sering datang ke depan kampus hanya untuk memalak mahasiswa, kalau dilihat-lihat dia seperti habis mabuk, bicara pun asal jeplak. Rizwan niatnya hanya ingin menolong seorang mahasiswi yang sudah mengatakan kalau uangnya pas-pasan tapi laki-laki itu terus memaksanya, saat Rizwan berusaha melerai laki-laki itu malah memukul Rizwan sampai babak belur, padahal Rizwan bicara baik-baik.
"Bapak punya anak di rumah? Bagaimana perasaan Bapak kalau anak Bapak dipalak? Dia gadis perantau, harus me-manage uang sebaik mungkin, kalau mau dapat uang, ya, kerja!" ucap Rizwan bersunggut-sunggut. Hari ini ia habis terkena omelan dosen, dan sekarang harus kena pukul, tentu saja emosinya langsung naik ke ubun-ubun.
"Sialan lu, ya! Anak kurang ajar!"
Satu pukulan melayang kembali, tapi kali ini bukan Rizwan yang mendapatkannya, melainkan Kafka, dia memang sengaja menamengi Rizwan yang sudah babak belur.
Kafka memejamkan matanya, darah segar keluar dari ujung bibir bagian kanannya. Seketika suara desisan orang yang ikut merasa kesakitan terdengar.
"Bapak mabuk, ya? Kelihatan. Bapak butuh uang untuk apa?" tanya Kafka masih dengan suara rendah, sejak tadi ia memang berusaha untuk melerai.
"Ya buat keperluan gua lah! Makan, beli rokok, amer, banyak!"
Kafka menggelengkan kepalanya. Ia niatnya ingin memberikan uang agar bapak itu pergi, tapi ia tak mau uang pemberiannya digunakan untuk hal haram.
"Ramai, lho, Pak, kalau petugas keamanan kampus yang lagi ada urusan di dalam keluar, Bapak bisa dapat konsekuensi, mending sekarang Bapak pergi," ucap Kafka.
Laki-laki itu tampak tambah emosi. "Anak zaman sekarang semuanya kurang ajar! Gua enggak suka dinasihatin, kasih gua uang dulu!"
Perempuan yang tadi baru saja kena palak mengumpat di balik Amar, dia tampak ketakutan.
Seketika tangan laki-laki itu melayang lagi di udara, tapi kali ini Kafka tidak mengizinkan wajahnya jadi sasaran lagi. Dia menahan tangan laki-laki itu lalu memelintirnya sampai laki-laki itu kesakitan.
"Saya juga bisa kasar, lho, Pak," ucap Kafka masih dengan nada rendahnya.
Alea menutup bibirnya dengan telapak tangan. "Kak Kafka agak ngeri, ya ...."
"Ngeri kenapa coba, ayo pulang dih!" ucap Zulaikha.
"Bentar tanggung!" ucap Alea sambil memeluk lengan Zulaikha lebih erat.
"Bapak udah keterlaluan, jadi maaf saya kurang sopan!" Satu pukulan keras melayang ke wajah laki-laki itu, hanya satu pukulan saja laki-laki itu langsung tergeletak di tanah. Tak lama kemudian petugas keamanan kampus yang sebelumnya entah sedang mengurus apa di dalam keluar berbondong-bondong. Mereka segera mengamankan orang yang memang sedang mereka incar karena mendapat banyak laporan tentang pemalakan.
"Eh, Likha, Alea," ucap Kafka saat menoleh. Mendengar Kafka menyapa Zulaikha dan Alea, orang-orang yang sebelumnya sedang menatap ke arah Kafka kini berpaling ke arah Zulaikha dan Alea.
"Bisa bicara sebentar?"