BAB 5

1140 Kata
Di pukul tujuh pagi kurang Zulaikha izin pergi ke kampus, ia ada kelas pagi ini. Sudah sepuluh menit ia menunggu giliran memasuki busway yang selalu ramai setiap hari. Saat sudah memasuki busway ia bertemu dengan Amar—teman laki-laki Kafka yang kemarin ia temui. Amar tersenyum sambil menganggukkan kepala saat berpapasan dengan Zulaikha, Zulaikha pun melakukan hal serupa. Saat sampai di area kampus Zulaikha dikejutkan oleh suara kelakson mobil yang ada di sampingnya. Saat Zulaikha menoleh senyuman Kafka-lah yang dapat ia lihat. Zulaikha langsung mengulas senyum pula. "Semangat kuliahnya, Zulaikha," ucap Kafka. "Terima kasih, Kak, kakak juga, ya." Setelah Zulaikha mengatakan itu Kafka menganggukkan kepalanya lalu melajukan mobilnya kembali. Zulaikha menghela napas pelan, sebenarnya tadi ia sangat terkejut, bahkan jantungnya pun masih berdegup sampai sekarang, tapi ia tak bisa memarahi Kafka hanya karena itu. Keringat sudah membanjiri kening Zulaikha, ia mempercepat langkah karena waktu semakin mepet. Di mana orang-orang sering bolos kelas, Zulaikha selalu rajin masuk dan senantiasa aktif, sebab itu ia mendapatkan nilai tinggi, banyak dosen yang suka dengan karakter Zulaikha. Dia tidak hanya pintar dan cantik, tapi juga rajin dan memiliki adab yang tinggi. Saat sampai di kelas Zulaikha tidak mendapati Alea, sepertinya anak itu tidak datang pagi ini. Namun perkiraannya salah, tepat saat dosen datang, Alea baru sampai, keningnya sudah banjir keringat, napasnya terengah-engah, untungnya dosen kali ini tidak killer. Sepanjang pelajaran Zulaikha fokus dan aktif, sementara Alea diam saja karena menahan ngantuk. Ia kesiangan karena begadang nonton drakor. Niatnya hanya satu episode, tapi malah bablas sampai jam tiga. Di jam tiga niatnya tidak mau tidur, tapi malah ketiduran dan terbangun lima belas menit sebelum jam kelas tiba. Yang biasanya durasi mandinya lama pun tadi dipercepat, saat sampai kampus nyawanya baru berkumpul satu persatu. Alea itu anak satu-satunya, ayah dan ibunya sibuk kerja, jadilah ia tak ada yang membangunkan dan kemungkinan kedua orangtuanya mengira Alea sudah berangkat ke kampus karena anak itu memang jarang izin saat pergi. Alea bukan kurang suka dengan orangtuanya, dan bukan pula kurang kasih sayang dan berakhir mengabaikan kedua orangtuanya, bukan. Karakter ia memang seperti itu, sama teman terlihat sangat peduli, tapi dengan orangtua malu menampakkannya meski ia sangat menyayangi orangtuanya. Setelah jam kelas selesai Alea memberikan handphone-nya kepada Zulaikha. Zulaikha yang awalnya ingin bertanya kenapa Alea datang terlambat pun urung mengeluarkan pertanyaannya saat melihat foto yang ada di handphone Alea. "Kenapa aku sampai enggak sadar, ya, kalau kak Kafka itu kakak tingkat yang baik banget sama kita. Dulu wajah dia masih belum dihiasin bulu halus, dan agak kurus, aku sampai enggak kenal sama dia yang sekarang. Aku juga baru sadar kalau dia kak Kafka yang itu, kira-kira dia masih ingat enggak, ya, sama kita ...." Zulaikha menautkan kedua alisnya, itu foto Zulaikha, Alea, dan teman satu kelompoknya, di sisi kanan bagian ujung ada Kafka dengan senyumannya, ia juga mengacungkan jari telunjuk dan jari tengah membentuk huruf V. "Ah, ya, kenapa aku bisa enggak ingat, ya. Padahal dia baik banget, selalu bantu saat buntu tujuan waktu kita masih jadi mahasiswa baru, ternyata sekarang dia udah S.2. ya di sini, masyaallah." Zulaikha menyetujui apa yang Alea katakan, memang banyak perubahan dalam fisik Kafka, dan jujur saja, sekarang laki-laki itu tambah tampan. Kafka sendiri sebenarnya lupa-lupa ingat. Lagi pula ia hanya membantu, tidak sampai berkenalan. Dan ia tidak hanya membantu satu orang, banyak orang yang sering ia bantu dari kalangan mahasiswa baru ataupun mahasiswa lama, jadi ia sedikit lupa. "Fiks, sih, ini mah, kalau ketemu nanti aku mau tanya," ucap Alea sambil menarik kembali handphone-nya dari meja. "Kamu kenapa telat? Pasti nonton drakor, nih?" tanya Zulaikha. Alea hanya menampakkan cengiran kuda, Zulaikha sering memarahi ia kalau begadang. Dan seperti yang sering tejadi, di saat itu juga Zulaikha menceramahi Alea panjang lebar. *** Kini usia Kafka 22 tahun, dia sekarang sedang melanjutkan pendidikan S.2. bertepatan di semester dua. Sementara Zulaikha dan Alea sedang melanjutkan pendidikan S.1. bertepatan di semester tiga. Artinya, saat mereka menjadi mahasiswa baru Kafka masih melanjutkan pendidikan S.1. bertepatan di semester tujuh. Saat itu Kafka pure ingin membantu, ia memang baik dengan siapa saja. Bahkan ia baru kenal nama Zulaikha saat di cafe saja, sebelumnya ia tidak pernah bertanya siapa nama Zulaikha. Dan untuk ke sekian kalinya Kafka berpapasan dengan Zulaikha. Perempuan itu jalan sendiri sambil memeluk buku-bukunya. Ia menautkan kedua alis, entah mengapa setiap menatap Zulaikha ia merasa kalau mereka sudah kenal sebelumnya, tapi ia belum bisa memastikan sebab begitu banyak orang yang ia kenal. "Tadi gua ketemu sama dia di busway, siapa deh namanya, Zulaikha, ya?" ucap Amar. Ya, dia sedang ada di dalam mobil Kafka. Amar adalah anak dari pathner kerja ayahnya. Sama sepertinya, Amar tak pernah menampakkan kalau ia lahir dari keluarga kaya raya, dia juga jarang membawa mobil, lebih asyik dengan dunianya yang sederhana. Bedanya, Amar lebih pendiam sementara Kafka tidak sependiam Amar. Kafka tahu di mana waktunya untuk bicara dan di mana waktunya untuk diam. "Iya, Zulaikha, lu merasa enggak asing sama dia enggak, sih? Gua kok kayak udah sering lihat gitu sebelumnya." "Lu lupa?" Kafka mengerjapkan matanya. "Kenapa?" "Dia dulu waktu jadi mahasiswa baru sering lu bantu, ah, lu mah kenalannya banyak, pantas aja banyak yang lu lupain. Pantas aja banyak perempuan yang suka sama lu, tapi kasihan, sih, mereka, lu bertingkah baik ke siapa aja, eh mereka malah kebawa perasaan, ujung-ujungnya kayak di-ghosting enggak, sih? Haha." Kafka tertawa, Amar itu banyak bicara dan bertingkah normal hanya dengan orang-orang yang sudah dekat dengannya. Namun masalah dengan siapa ia berbuat baik, jawabannya adalah dengan semua orang, hanya saja ia tidak terlalu baik, dia tidak mau dimanfaatkan, plus pintar memilih orang. Kafka tahu karakter Amar meski baru berteman di semester lima saat melanjutkan pendidikan S.1. "Pantas kayak enggak asing, nanti kapan-kapan gua tanya deh," ucap Kafka sambil tersenyum. "Suka lu, ya, sama tuh perempuan?" Kafka malah tertawa menanggapinya, mana mungkin ia bisa langsung jatuh hati dengan perempuan dalam jangka waktu sependek ini. Meski begitu, ia tak dapat menampik, Zulaikha memang memiliki pesonannya sendiri, yang berhasil memikatnya, membuat ia selalu menoleh saat melihat perempuan itu. "Kayaknya anaknya pekerja keras banget," ucap Amar. "Iya, dia malah kerja sambilan di cafe." Amar menganggukkan kepalanya. "Gua sempat beberapa kali ketemu sama dia setiap pagi, dia mungkin enggak lihat, tapi gua lihat. Dia rajin banget datang ke kelas, bahkan dosen ada yang akui keaktivan dia." "Dosen mana?" "Paman gua, Rizal, dia, kan, dosen di PGSD." Kafka menganggukkan kepalanya. Pada akhirnya mereka berdua malah membicarakan Zulaikha sampai berheti di lampu merah. "Lu lamar aja, kayaknya perempuan baik-baik, katanya lu, kan, mau nikah nanti pas lulus S.2?" Kafka langsung menimpuk Amar dengan tissue. "Lu kira lamar anak orang kayak nikahin kucing, belum tentu juga dia mau sama gua." "Perempuan mana, sih, yang nolak lu. Ganteng iya, baik iya, tajir iya, dijamin masa depan cerah." Kafka menggelengkan kepala. "Gua enggak sesempurna itu, Brother." Amar memang sangat pandai memuji orang lain, padahal dirinya sendiri sangat luar biasa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN