"Itu ... sa-saya benar-benar enggak sengaja, Pak."
"Alasan kamu terlalu klasik, Zulaikha!"
Tiba-tiba laki-laki tadi bangun, dia bersihkan kemeja cokelatnya dengan tangan. "Bukan salah kakaknya kok, Pak, tadi ada yang nabrak dia, tapi orang itu malah pergi karena enggak mau disalahin, lagi pula enggak terlalu panas, saya pakai kaus lagi di dalam."
"Tapi tetap aja, kamu harus hati-hati, Zulaikha!"
Zulaikha mengangguk sambil menundukkan kepala. "Iya, Pak, saya minta maaf."
Rendy menghela napas pelan lalu pergi begitu saja.
"Terima kasih, Kak," ucap Zulaikha pelan, kepalanya masih menunduk--merasa bersalah.
"Kamu enggak salah kok, omong-omong, kayaknya kita satu universitas, ya? Aku kayak pernah lihat kamu. Salam kenal, aku Kafka, nama kamu siapa tadi, Zulaikha, ya?" Laki-laki bernama Kafka itu menangkupkan tangan di d**a.
"Ah ya, aku juga seperti pernah lihat di sekitar Fakultas Ekonomi," ucap Zulaikha sambil menangkupkan tangannya di d**a juga. Ia tersenyum kecil saat Kafka tersenyum.
"Iya, aku emang mahasiswa dari Fakultas Ekonomi, kamu dari fakultas apa?"
"Fakultas Ilmu Pendidikan."
Kafka menganggukkan kepalanya sambil membulatkan bibir. "Dekat, ya ...."
Zulaikha ikut menganggukkan kepala. "Yaudah, aku permisi, ya, Kak, mau kerja lagi."
"Oh iya, sampai ketemu di kampus, Zulaikha."
Zulaikha hanya tersenyum menanggapinya.
"Masyaallah, Lik, ganteng banget ciptaan Allah," bisik Anisa sambil menuangkan kopi ke dalam gelas. Dia masih memerhatikan Kafka, laki-laki itu sedang tertawa riang bersama temannya, nampaknya dia memang laki-laki yang ceria dan mudah akrab dengan siapa pun.
Zulaikha hanya tersenyum menanggapinya, Anisa memang seperti itu setiap kali melihat laki-laki tampan di cafe. Ia dan Anisa sudah bekerja di cafe ini tiga tahun, dan tiga tahun pula Zulaikha terbiasa dengan sikap Anisa.
"Kamu emang enggak tertarik, Lik? Dia kayaknya enggak cuma ganteng, tapi wangi uang."
Zulaikha langsung mendorong pelan tubuh Anisa agar perempuan itu sadar. "Pikirin dulu tuh tugas kuliah kamu yang numpuk, malah mikirin cowok, dasar!" ucap Zulaikha.
Anisa mengerucutkan bibirnya. "Ya ... hitung-hitung cari hiburan."
Zulaikha hanya menggelengkan kepala, Anisa tidak akan lelah dalam hal ini--membahas laki-laki.
Tepat saat suara azan Maghrib berkumandang, Zulaikha menyempatkan diri untuk salat dahulu, bergantian dengan Anisa. Kebetulan cafe tidak terlalu ramai sore ini. Lagi pula barista di cafe ini lumayan banyak, jadi tidak akan takut keteteran.
"Eh, ketemu lagi."
Zulaikha langsung mendongak, ia memicingkan mata sampai akhirnya tersenyum. Ternyata itu Kafka, dia juga sedang berjalan menuju masjid yang menjadi tujuan Zulaikha.
"Kakak kenapa enggak pulang?" tanya Zulaikha tanpa menatap Kafka. Laki-laki itu pun melakukan hal yang sama. Mereka berdua paham, kontak mata dengan lawan jenis bisa menjadi sumber awal datangnya zina. Sebab, cinta saja dari mata turun ke hati, kan?
"Aku juga kerja sambilan, kebetulan tempatnya ada di sekitar sini."
"Kakak kerja di mana emangnya?"
"Alhusyan Group."
Mata Zulaikha berbinar, itu perusahaan besar keluarga Alhusyan. Ia tahu karena perusahaan itu sering disorot di media.
"Wah, hebat."
Kafka terkekeh pelan. "Kalau bukan anaknya mungkin aku juga enggak bisa masuk sana, jadi aku belum bisa masuk kata hebat."
Mata Zulaikha mengerjap. "Anaknya?"
Kafka mengangguk sambil tersenyum.
Tiba-tiba suara iqomat berkumandang, perbincangan mereka pun terhenti, mereka segera bergegas masuk shaf.
***
Saat keluar dari masjid pun Zulaikha dan Kafka bertemu kembali. Laki-laki itu anak orang terpandang, tapi tidak menyirikan, Zulaikha kagum dengan karakternya yang humble dengan siapa pun, termasuk kepadanya yang sering kali dianggap rendah oleh orang lain dengan sebutan si anak kentang yang berusaha menjadi berlian.
Ah, ia memang sering diremehkan, banyak yang bilang Zulaikha nekat kuliah, padahal keluarga krisis ekonomi. Lalu, saat ia bekerja, orangtuanya yang dianggap buruk sebab membiarkan anak perempuannya berjuang sendiri. Mendengar omongan orang yang tidak suka dengan kita memang tidak pernah berbau positif, pasti negatif saja, jadi sudah biasa.
"Kamu mau langsung pulang, Zulaikha?" tanya Kafka.
Zulaikha menggeleng. "Aku harus kembali ke cafe, jam delapan baru boleh pulang."
Kafka menganggukkan kepala sambil membulatkan bibir. Bibirnya sudah terbuka, tapi belum sempat mengeluarkan suara, mobil berwarna navy mendekat ke arahnya sambil menyalakan klakson. Kaca mobilnya terbuka, tapi pengendara tak bisa terlihat jelas lantaran lumayan jauh dari tempat mereka berdiri.
"Itu kakak pertamaku, aku mau pergi sama dia, aku duluan, ya, Zulaikha, semangat dan sampai jumpa di lain waktu, assalamu'alaikum." Kafka melambaikan tangan lalu pergi dari hadapan Zulaikha.
"Wa'alaikumussalam warrahmatullah," jawab Zulaikha pelan, bibirnya melengkung kecil. Ia baru menemukan laki-laki sebaik Kafka dari kalangan laki-laki asing dalam hidupnya.
Ia embuskan napas pelan, ia selalu berdoa kebaikan kepada setiap orang yang sudah berbuat baik kepadanya, tidak hanya yang berbuat baik, bahkan yang berbuat jahat sekalipun tetap ia doakan kebaikan agar dapat hidayah dan ampunan dari Allah.
***
"Siapa tadi?"
"Zulaikha."
Yusuf--kakak laki-laki Kafka--menganggukkan kepalanya.
"Semalam aku ketemu sama kak Tari, dia minta bantuan aku buat dekat sama kamu, haha, kamu banyak banget fans-nya."
Yusuf terkekeh pelan dan singkat, benar-benar singkat. Ia masih belum bisa membuka hati untuk masalah percintaan sampai saat ini.
"Masih mau stuck di luka masa lalu?" tanya Kafka sambil menghela napas pelan, ia tatap jalanan dari jendela mobil bagian depan.
Yusuf tidak menjawab, dia hanya diam saja, matanya fokus menatap ke depan. Sudah lima tahun lamanya ia tak tertarik dengan dunia percintaan. Dan sudah lima tahun lamanya pula ia terjebak dalam cinta semu yang tak bisa digapai kembali.
Lima tahun yang lalu, ia hendak menikah dengan seorang perempuan penghafal Al-Qur'an. Sejak masih duduk di bangku pesantren, ia kagum dengan perempuan itu. Setelah lulus S.1--di usia 22 tahun--ia melamar perempuan itu. Namun, setelah lamaran selesai dan perempuan itu sudah menerimanya, dua hari kemudian dia malah pergi meninggalkannya, sangat jauh dan tak akan kembali lagi ke dunia ini.
Perempuan itu kecelakaan pesawat saat hendak pulang kampung ke rumah orangtuanya yang ada di Malaysia--bersama kakak laki-lakinya. Ya, perempuan itu blasteran Indonesia dan Malaysia. Dia tinggal di Indonesia bersama kakak laki-lakinya, sementara orangtuanya tinggal di Malaysia. Saat lamaran pun orangtuanya hanya bisa ikut melalui video call, kakak laki-lakinyalah yang menemani.
Sejak saat itu, Yusuf benar-benar tertutup dengan percintaan. Ayahnya sudah sering kali menjodohkan dengan perempuan lain, dari mulai hafizah seperti perempuan yang hendak menikah dengannya dulu, dokter, bidan, pengusaha muda, guru, dosen, sampai pemilik butik besar, ia tetap tidak mau. Dia bilang, dia akan menikah dengan perempuan yang menjadi pilihannya. Ayahnya tidak pandai membujuk, ia sering kali sedih, takut Yusuf trauma karena kehilangan wanita yang ia cintai dua kali.
Yusuf dan Kafka sudah tidak punya ibu, ibunya meninggal saat kondisi keluarganya sedang mengalami krisis ekonomi, kala itu ibunya sedang mengandung Kafka, ayahnya sakit keras, dan hanya ada Yusuf kecil yang berusaha keras membantu ibunya saat ingin melahirkan Kafka.
Yusuf pergi ke sana ke mari mencari pertolongan orang, tapi tak ada orang yang mau membantunya. Karena kejadian itu Yusuf bercita-cita menjadi dokter, ia tidak mau kejadian itu terulang kembali di kehidupan ia selanjutnya. Yusuf berhasil membawa ibunya ke rumah sakit bersama tukang becak yang baik hati, tapi saat sampai rumah sakit ibunya tak tertolong, hanya adiknya saja yang hidup.
Yusuf yang masih berusia enam tahun itu hanya bisa menangisi jasad ibunya, ayahnya yang sedang terkapar lemas di rumah hanya bisa bedoa agar istri dan anaknya baik-baik saja. Ia benar-benar tak sanggup untuk bangun, karena itu Yusuf yang berusaha mencari pertolongan.
Untungnya setelah Kafka dilahirkan ayahnya mulai pulih, keluarga ibunya pun membantunya. Dahulu ayah Yusuf tak mendapat izin menikah dengan ibu Yusuf oleh kedua orangtuanya, tapi ayah Yusuf memaksakan kehendak karena dahulu ia dipaksa menikah dengan orang yang tak ia cintai, akhirnya keluarga ayah Yusuf tak mau membantu meski saat itu keluarga Yusuf benar-benar sedang krisis.
Namun berkat Maha Baik Allah, ayah Yusuf yang lahir dari keluarga berada, berpendidikan tinggi dan memiliki otak cerdas itu bisa merintis perusahaan dari kecil sampai besar. Ia merawat Yusuf dan Kafka seorang diri tanpa istri dan tak pernah berniat untuk menikah lagi. Akhirnya ia sukses, Yusuf pun bisa sukses menjadi seorang dokter, adiknya mulai belajar dunia bisnis sambil meneruskan S.2.
Dari latar belakang kehidupannya Yusuf tak pernah sombong meski kini ayahnya sangat kaya dan ia pun demikian. Yusuf memang sudah berhasil mengubah masa kelamnya, tapi sampai detik ini ia masih sulit untuk membenahi permasalahan cintanya. Ayah dan keluarga ibunya selalu memaksa Yusuf untuk menikah, menjodohkan dengan kenalan mereka, tapi tak ada wanita yang berhasil memikat hatinya pacsa ditinggal meninggal oleh orang yang ia cintai lima tahun lalu.
"Udah saatnya buka hati, Kak, usiamu sekarang udah 27 tahun, mau nikah kapan?"
Yusuf mendesis. "Kamu bisa bahas masalah lain, enggak, sih?!"
Kafka langsung tertawa, kakaknya memang selalu sensitif dalam permasalahan cinta. Di balik tawa Kafka, sebenarnya ia kasihan, ia ingin membantu kakaknya, tapi permasalahan cinta, ia tak bisa ikut campur, sebab ini masalah hati, hanya pemiliknyalah yang mengerti.
"Semoga kelak ada perempuan yang bisa meluluhkan hatimu lagi, Kak."