Bahkan saat angkutan umum itu baru mau jalan, Rama hampir saja terjatuh ke bawah jika saja Nadia tak sigap menarik tangan pria itu. Rama menghela nafas lega sambil menatap ngeri ke aspal jalan, ia mendengus kesal dalam hati dan menggerutu pada supir serta Nadia yang membuatnya dalam kondisi yang menyebalkan. Sedangkan Nadia bersyukur pria ini tidak jatuh atau ia akan disalahkan.
"Sudah aku bilang, aku tidak bisa naik angkutan umum ini. Kau terus saja memaksaku."
"Diamlah, Rama. Semua orang menoleh ke arah kita. Kau hanya membuat kita menjadi pusat perhatian semua orang."
Rama menatap sekitarnya dan benar semua orang menatap dirinya dengan berbagai tatapan, para pria menatap bingung dan cukup terganggu dengan nada tingginya sedangkan para wanita menatap memuja padanya karena ketampanannya, ia pun memilih diam saja, menuruti ucapan Nadia.
"Kau mau ganti tempat duduk?"
"Kau tidak masalah duduk di tepi seperti ini? Kau bisa saja terjatuh, lagi pula matamu ...
Sebenarnya Rama ingin langsung menyetujui tawaran dari Nadia untuk menyelamatkan dirinya namun saat ingat kondisi wanita itu karena dirinya, membuat ia ragu menyetujuinya karena ia cukup sadar diri akan kesalahannya membuat wanita itu buta, tidak mau membuat wanita itu celaka lagi. Sebelum Rama berhasil menyelesaikan perkataannya, Nadia sudah lebih dulu memotong ucapannya dan berbisik di telinganya agar mereka saja yang mendengar pembicaraan ini.
"Jangan membahas mataku di depan umum atau semua orang akan tahu aku buta sebelah."
"Aku tidak masalah, ayo cepat berganti tempat duduk."
"Baiklah, jika kau memaksa."
Rama pun akhirnya setuju berganti tempat, mereka pun perlahan-lahan berganti tempat duduk. Nadia yang sudah terbiasa naik angkutan umum semasa kuliah sudah terbiasa duduk di tepi seperti ini sehingga ia langsung berpegangan pada tiang atas untuk pegangan kenek. Rama yang melihatnya pun baru mengerti fungsi tiang itu. Namun karena ia masih khawatir dengan keselamatan wanita ini maka ia pun menggenggam tangan kiri Nadia dengan cukup erat untuk berjaga-jaga agar nantinya ia bisa langsung sigap menarik tangan kiri Nadia saat supir ini tiba-tiba rem maupun jalan. Nadia sendiri hanya diam dan membiarkan saja sampai mereka sampai di tempat tujuan yaitu rumah Nadia.
"Kiri, Bang."
"Iya, Neng."
Angkutan umum itu pun berhenti di tepi. Rama jelas terkejut dengan ucapan Nadia, kenapa malah bilang kiri? Bukannya bilang berhenti? Supir itu pun langsung mengerti kode Nadia dan Nadia pun langsung turun. Rama pun langsung turun karena tak mau tertinggal di angkutan umum.
"Ini uangnya, Bang."
"Makasih, Neng."
Nadia pun hanya mengangguk lalu supir itu pun lanjut mengemudikan angkatan umumnya, suara orang muntah membuat Nadia menoleh ke belakang dan melihat Rama sedang muntah di selokan air di hadapan umum yang kini ditatap semua orang di sekitar jalan raya. Pria ini benar-benar memalukan!
[][][][][][][][][][][][][][][][][][][][]
"Ini minyak kayu putih. Oleskan di perutmu. Ini juga ada tolak angin, diminum biar mendingan mual dan muntahnya."
Nadia memberikan minyak kayu putih dan tolak angin kepada Rama dan untungnya pria itu menerimanya. Sebenarnya Rama terpaksa menerimanya karena tak ada obat lain dan sialnya dompetnya tertinggal di mobil. Ia tidak terbiasa memakai obat-obat yang menurutnya kampung seperti ini namun ia harus melakukannya karena ia tak tahan dengan rasa mual akibat naik angkutan umum tadi.
Sekarang mereka berada di rumah Nadia. Rama cukup terkejut karena wanita ini punya rumah yang cukup bagus walau tidak sebesar rumahnya, rumah Nadia tidak mewah, rumah lantai dua minimalis dengan warna dasar putih serta biru. Tadi juga ia melihat ada mobil dan motor di parkiran wanita itu. Ia tak menyangka jika Nadia ternyata adalah wanita yang mandiri, memiliki aset milik sendiri, ia jadi malu karena tak punya apapun padahal ia pria. Tapi rumah ini sepi, tidak ada penghuni lain kecuali ia dan Nadia.
"Keluargamu tidak tinggal di sini?"
"Tidak. Mereka tinggal di tempat lain."
"Kenapa?"
"Masalah keluarga. Aku kabur dari rumah karena orang tuaku menentang cita-citaku. Aku suka manajemen tapi mereka ingin aku hidup seperti kemauan mereka yaitu jadi artis."
Ternyata di dunia ini tidak hanya Rama yang punya masalah dengan keluarganya, Nadia memiliki masalah yang lebih besar dan ia kagum karena wanita ini bisa bertahan hidup dan sukses dengan kerja kerasnya sendiri. Ia pun kembali bertanya karena masih penasaran dengan kehidupan wanita itu.
"Memangnya keluargamu terkenal?"
"Kau akan tahu dua hari lagi saat kita ke rumah keluargaku, persiapkan dirimu untuk melamarku di hadapan keluargaku."
Entah kenapa seketika Rama menjadi takut dan khawatir pada hal yang tak pasti. Biasanya ia suka menantang siapa pun dan tak peduli akan bertemu dengan siapa pun karena ia punya kepercayaan diri yang tinggi sebagai anak dari ayahnya yang merupakan pengusaha kaya raya. Namun setelah mendengar sedikit cerita Nadia soal keluarganya, ia bisa menarik kesimpulan bahwa keluarga Nadia adalah keluarga yang keras, penuh aturan, dan menjungjung nama baik keluarga.
"Kau mau makan? Biar aku pesankan makanan, kebetulan dekat sini ada warung makan."
"Aku lapar karena stok makanan di perutku habis karena muntah, tapi aku tidak mau memakan makanan warung."
"Kenapa?"
Sungguh, Nadia sekarang sedang bersabar menghadapi manusia tidak tahu diri ini, sudah ditawarkan makanan malah minta yang lain, pantas saja pria ini sering membuat kesalahan karena hidupnya sangat dimanja. Lihat saja nanti, Nadia akan mengubah hidup remaja ini menjadi keras agar tahu bagaimana sulitnya hidup tanpa nama keluarga.
"Makanannya tidak higenis. Tempatnya kotor. Harganya pun murah."
"Aku akan tetap pesankan makanannya, kau harus terbiasa makan makanan di warung, hilangkan pemikiranmu tentang makanan di warung, makanannya sehat dan tempatnya bersih, kalau soal harga, kau benar. Tapi itu adalah makanan terbaik untuk kita saat tak punya apapun."
Rama tertegun diam mendengarkan penjelasan dari Nadia. Wanita ini benar-benar membuatnya kagum dengan pemikirannya, selama ini ia selalu bertemu dengan wanita yang suka sekali belanja dan menghamburkan uang namun Nadia berbeda dengan wanita itu.
"Kau benar-benar serius mau hidup miskin denganku? Memangnya kau bisa? Rumahmu cukup bagus, kendaraanmu banyak, karirmu bagus, pendapatanmu di kantor besar, kau pasti tidak tahan hidup miskin denganku. Aku tanpa nama Ayah, bukan siapa-siapa, hanya remaja yang tak punya uang, harta, kekuasaan, bahkan kedudukan."
"Jika aku sudah mengatakan bahwa aku akan menikah denganmu maka aku akan melakukannya. Aku akan keluar sebentar, kau tunggu saja di sini."
Nadia langsung keluar dari rumah tanpa menunggu balasan dari Rama karena hanya membuang waktu saja, ia sudah lapar dan bubur rumah sakit tadi pagi tidak membuat rasa laparnya hilang.