LE -1-

1411 Kata
"Nadia, ayolah, kita hanya makan-makan saja sebentar, lagi pula pekerjaan ini bisa ditinggal dan diselesaikan besok, Bos pasti mengerti bahwa ini adalah hari bahagiamu dan kita harus merayakannya dengan makan-makan." "Iya, Katya benar." "Nadia, ayo ikut kami." Saat ini, teman-teman Nadia sedang memaksa perempuan itu untuk pulang cepat dan meninggalkan pekerjaan baru Nadia karena memang mereka sudah janjian untuk merayakan pencapaian Nadia sebagai manajer personalia yang baru. Namun Nadia malah menolak karena pekerjaannya masih menumpuk dan ia tak mau membuang waktu dengan melakukan hal tak penting. "Maaf, teman-teman. Aku tidak bisa meninggalkan pekerjaanku. Atau begini saja, besok aku akan membawakan kue dan sebelum waktu masuk kerja, kita akan memakan kue itu bersama-sama? Tolong mengerti keadaanku." "Baiklah, tapi kuenya harus enak." Teman-teman Nadia terpaksa setuju dengan saran Nadia karena bagaimana pun mereka tak bisa terus memaksa Nadia. Nadia pun merasa lega karena memiliki teman-teman yang pengertian. "Aku berjanji kuenya akan enak." "Kalau begitu kami pulang. Jangan terlalu bekerja keras hingga kau lupa kesehatan dan waktu untuk dirimu sendiri." "Iya, kalian hati-hati di jalan." "Oke, sampai jumpa besok, Nadia." Setelah berpamitan, teman-temannya pun pulang dan Nadia kembali sibuk dengan pekerjaannya yaitu menyusun laporan kinerja kerja karyawan baru kepada pimpinan perusahaan. Ia begitu teliti dan tenang mengerjakan tugas ini walaupun hari sudah malam dan kantor sudah lumayan sepi, hanya ada beberapa karyawan atau atasan yang bekerja lembur. Setelah laporan selesai, Nadia mulai membereskan barang-barang kerjanya dan memasukkannya ke dalam tas. "Akhirnya selesai juga. Aku harus segera memberikan dokumen ini kepada pimpinan perusahaan." Nadia pun keluar dari ruangannya setelah memasukkan file di laptopnya ke dalam flashdisk yang akan diberikan pada pimpinan perusahaan yang berada di lantai sepuluh. Ia pun berjalan ke arah lift sambil menenteng tas kerjanya dan menggenggam flashdisk di tangannya. Saat ia masuk ke dalam lift, ternyata sudah ada pemuda lain di dalam lift, lift pun tertutup. Nadia menatap sekilas ke arah pemuda itu yang terlihat seperti remaja sekolah dengan pakaian sekolahnya yang berantakan. Dalam pikirannya sudah menulis bahwa pemuda ini adalah berandal. Nadia pun sengaja menjaga jarak dari pemuda itu sebagai antisipasi jika pemuda itu menyakitinya dan lagi pula bagaimana pemuda ini bisa masuk ke perusahaan ternama dan terkenal dengan pakaian berantakannya? Untungnya lift sudah terbuka dan Nadia langsung keluar namun ia terkejut saat pemuda itu juga ikut keluar. Ia pun memilih tak memikirkan hal itu lalu langsung menyerahkan flashdisk di tangannya ke sekretaris pimpinan. "Ini flashdisk yang diminta oleh Pak Regan, isinya tentang dokumen kerja karyawan baru. Tolong berikan pada, Pak Regan." "Baik, Bu." "Saya pamit pulang." "Iya, Bu. Hati-hati di jalan." Nadia mengangguk lalu hendak pergi namun langkahnya tertahan saat melihat pemuda berandal itu masuk ke ruangan pimpinan perusahaan tanpa izin, padahal pimpinan perusahaan ini tak suka dengan sikap tak disiplin dan tak sopan seperti itu. Sekretaris yang melihat manajernya itu tak beranjak pergi dan malah menatap ke pintu ruang pimpinan akhirnya mengetahui alasan manajer perusahaan ini belum kunjung pergi. Ia pun berinisiatif memberitahu pada Nadia sebelum perempuan itu bertanya. "Dia adalah Putera Bos, sikap dan penampilannya memang seperti itu." "Oh, terima kasih infonya." "Sama-sama, Bu." Nadia pun langsung berjalan menuju lift dan masuk ke dalam lift. Ia cukup terkejut dengan fakta ini, ia berpikir anak bos pasti memiliki sifat dan kecerdasan yang menurun dari sang ayah, namun ia salah besar. [][][][][][][][][][][][][][][] Setelah kepergian Nadia, suasana di ruang pimpinan perusahaan terasa begitu mencekam dan tegang, suasana tersebut ditimbulkan dari tatapan mata Regan yang menyorot tajam ke arah sang putera seakan mata itu bisa keluar dari tempatnya karena terlalu marah akan kelakuan nakal puteranya. Jika orang lain akan takut ditatap seperti itu oleh ayahnya yang berwibawa dan tegas, terutama para karyawan di sini. Namun itu tidak berlaku bagi Rama yang terlihat biasa saja dan santai menghadapi ayahnya karena ia sudah sering ditatap seperti itu dan akan berakhir dengan pertengkaran dengan sang ayah. "Sekarang masalah apalagi yang kamu buat, Rama?" "Aku engga buat masalah, aku hanya bolos sekolah lalu terjebak tawuran." "Itu masalah besar bagi remaja seusia kamu." Regan mencoba bersabar menghadapi puteranya ini, ia sudah pusing dan lelah dengan kelakuan puteranya, jari telunjuknya berkali-kali memijit pelipisnya untuk meredakan rasa pusing yang semakin menjadi. Lalu tanpa sengaja tatapannya tertuju pada bingkai foto mendiang istrinya yang sudah meninggal sejak melahirkan Rama di rumah sakit. Ia sadar bahwa Regan kekurangan kasih sayang seorang ibu sehingga berkelakuan nakal seperti ini, namun ia bisa berbuat apa jika takdir dan Tuhan mengambil Asri dari hidupnya dan sang putera untuk selama-lamanya? Ia juga telah mencoba menjadi ayah yang baik untuk Regan, mencoba menyediakan waktunya yang begitu sibuk dengan berbagai kegiatan perusahaan. Namun hal itu tak kunjung membuat puteranya menjadi pribadi yang lebih baik. Ia bahkan pernah bicara baik-baik secara empat mata pada puteranya tentang alasan puteranya berbuat nakal namun puteranya hanya diam dan tak mau mengucapkan apapun hingga berakhir dengan amarahnya yang meledak dan memecahkan vas bunga di depan sang putera. Ia tak mengerti lagi bagaimana cara membuat puteranya mengerti kondisinya yang hanya seorang diri mengurus puteranya dan harus mengurus perusahaan sebesar ini. Rama sendiri hanya diam dan tak membalas ucapan ayahnya, bahkan ia tak berminat duduk di kursi depan ayahnya dan lebih memilih berdiri di dekat pintu, lagi pula pembicaraan ini pasti akan cepat berakhir. "Ayah sudah putuskan bahwa Ayah akan menikah lagi." "Apa? Ayah bercanda kan? Ini lelucoan yang engga lucu!" Rama terkejut mendengar pengakuan ayahnya, ia bahkan sedikit meninggikan nada bicaranya di depan sang ayah, jika biasanya ayahnya yang hilang kendali terhadap dirinya maka sekarang Rama yang hilang kendali dan langsung menghampiri meja ayahnya dengan tatapan setajam elang yang diwarisi oleh ayahnya. "Ayah engga bercanda, Rama. Ayah sudah engga kuat menghadapi kamu di usia yang sudah tua ini, Ayah pikir kamu memang butuh sosok figur Mama setelah kepergian mendiang Mama kandung kamu. Mungkin dengan kehadiran Mama tiri maka kamu bisa berubah perlahan-lahan." "Engga seperti itu, Ayah. Rama engga butuh Mama lain. Rama hanya butuh sedikit waktu, Ayah. Rama malah akan semakin memberontak dengan kehadiran orang asing di keluarga kita!" Rama jelas menolak ucapan ayahnya karena baginya tak akan ada wanita yang bisa menggantikan posisi mulia mamanya di hidupnya. Ia yang biasanya bicara singkat bahkan diam di depan ayahnya, kini bicara panjang lebar untuk meyakinkan ayahnya tak melakukan hal ini. Regan terdiam sejenak untuk mempertimbangkan keputusannya karena ini juga adalah keputusan yang berat baginya, ia masih sangat mencintai Asri walaupun delapan belas tahun sudah berlalu sejak kematiannya. Tak ada wanita lain di hidupnya walau Asri sudah meninggal, ia akan sulit mencari wanita yang benar-benar bisa menyayangi anaknya dan membawa anaknya ke jalan yang benar di usianya yang sudah tak muda lagi, banyak wanita ingin dipersunting olehnya hanya karena kekayaannya. Ucapan puteranya pun semakin membuatnya ragu dengan keputusan ini namun ia harus memberikan sedikit tekanan pada puteranya agar tak berani lagi melakukan kesalahan seperti sekarang. "Keputusan Ayah sudah bulat. Ayah akan menikah lagi dalam beberapa hari, kamu harus siap dan menerima keputusan Ayah." "Rama engga akan terima keputusan Ayah ini. Ayah harus pilih antara Rama atau kekasih Ayah itu." "Ayah akan pilih kamu. Ayah engga akan menikahi wanita lain asalkan kamu bisa memenuhi permintaan Ayah." Rama tak langsung mengiyakan ucapan sang ayah karena ia tahu jika ayahnya pasti akan menggunakan kesempatan emas ini untuk mengaturnya. Ia pun berpikir sejenak namun tak ada pilihan lain kecuali menerima permintaan ayahnya atau kondisinya akan semakin buruk dengan kehadiran mama tiri. "Oke, Rama akan turuti permintaan Ayah. Ayah mau minta apa?" "Ayah mau kamu tidak bolos lagi sampai pengumuman kelulusan. Belajar yang benar agar kamu lulus dengan nilai memuaskan dan setelahnya kamu harus masuk Universitas pilihan Ayah di Luar Negeri, setelah kelulusan kamu bebas berpesta dengan teman-teman kamu atau melakukan hal lain sampai waktunya kamu masuk kuliah." Sebuah permintaan yang tak sulit bagi Rama karena walaupun ia sering bolos namun otaknya tidak bodoh, melainkan cerdas. Warisan otak cerdas sudah diturunkan dari ayahnya yang merupakan lulusan S3 Harvard University dan mamanya yang merupakan lulusan S2 Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Jadi lulus adalah hal yang mudah, ia pun langsung mengangguk dengan tegas. "Rama akan melakukan permintaan Ayah asalkan Ayah tak menikah lagi." "Baik, Ayah setuju." Setelah mendapat hasil dari perundingan antara ayah dan anak ini, Rama pun langsung keluar dari ruangan ayahnya tanpa pamit karena ia sudah terbiasa bersikap tak sopan seperti itu. Bahkan ia masih sempat menggoda sekertaris ayahnya yang seksi dan cantik dengan memberikan kedipan mata yang pasti membuat siapa pun meleleh dengan pesonanya. Sedangkan Regan akhirnya bisa bernafas lega karena salah satu bebannya menghilang, walaupun anaknya nakal namun ia yakin jika Rama adalah laki-laki bertanggung jawab yang akan memenuhi janjinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN