Janda 10

1757 Kata
Setelah selesai sarapan, Dhena kembali mengitari kebun sayur dan taman bunga. Dengan ditemani dua cogan kwalitas super sekelas Ilham dan Wildan, Cikgu bercengkerama dan bercanda ria dengan para pegawai yang hari itu terlihat sangat ceria dan bahagia. Bagaimana tidak? Walau mereka tahu putri bungsu majikannya pulang kampung sebelum waktunya, namun jatah uang jajan dan oleh-oleh Bogor tak ketinggalan. Semua mendapatkan amplop ditambah sebuah kaus bergambar Kebun Raya dan Istana Bogor. Kaus hasil kreatifitas siswa-siswi SMKN yang sengaja diborong Dhena jauh-jauh hari sebelumnya. Setelah acara pembagian bingkisan selesai, Dhena, Ilham dan Wildan bersama-sama menyingsingkan celana dan lengan bajunya. Berjibaku dan berbaur dengan para pegawai ikut menyiangi tanaman dari rumput jahat pengganggu, mencangkul dan memanen cabe kriting yang menurut info dari mandor kebun sayuran, harganya sedang melambung tinggi mengalahkan dollar Singaparna. Mata Ilham tak henti-hentinya terbelalak ketika melihat Cikgu dengan entengnya ikut mengangkat cangkul dan arit. Bahkan hingga beberapa kali dia berbisik lembut agar Cikgu menjaga kondisi tubuhnya. Ilham dapat kabar angin dari Rifky jika Cikgu sedang berbadan dua. Namun Dhena hanya tersenyum dan menyampaikan apa yang dikawatirkan Ilham terlalu berlebihan. Cikgu tahu apa yang dilakukannya masih dalam batas aman dan sama sekali tidak membahayakan diri dan kandungannya. Berbeda dengan Wildan dan beberapa pegawai lain. Mereka cuek karena sudah tak asing menyaksikan Dhena yang demikian. Wildan bahkan sangat terbiasa melihat seniornya itu melakukan pekerjaan yang bisanya hanya dilakukan kaum jantan. Duda ojol ganteng itu pun masih sangat ingat, bagaimana dulu seorang Dhena yang cantik jelita, berani memanjat tiang listrik hanya untuk mengambil layangan putus. Gila memang! Sementara itu Bapak dan Ibu Abdullah, hari itu berencana menghabiskan waktu di lapangan tenis bersama beberapa mantan pejabat BUMN tempatnya dulu bekerja. Mereka juga akan melanjutkan dengan kegiatan lain yang bertujuan untuk menjalin keakraban dan bernostalgia. Menikmati dan mengisi hari tua yang menyenangkan bersama kerabat dan sahabat. Suasana hati Dhena dan semua orang terdekatnya yang sedang ceria, bahagia, bebas lepas tanpa beban larut dalam canda tawa itu berbanding terbalik dengan suasana hati seorang wanita yang pada saat yang hampir bersamaan baru saja turun dari sebuah mobil angkutan kota yang berhenti di depan gerbang SMKN 89, tempat Dhena mengajar. Sosok wanita yang berpakaian serba tertutup dan dalam kondisi perut yang besar itu berjalan perlahan memasuki gerbang SMKN. "Maaf Bu Elisa, saat ini Bu Rustini sedang di kantin guru. Ibu bisa menunggu di depan kantor guru atau langsung menemuinya di kantin." Seorang petugas keamanan yang berusia kurang lebih 45 tahun memberikan pilihan. "Kalau begitu saya langsung menemui beliau di kantin saja, Pak" balas Elisa dengan senyum ramahnya. Kedua tangannya kompak merapikan kerudung lebar warna hitam yang hampir menutupi seluruh bagian tubuh atasnya. "Oh Boleh. Silakan ibu bisa lewat belakang ini, lurus aja lalu nanti belok kanan. Kantin guru lokasinya tepat di belakang perpustakaan. Ibu bisa lihat saja papan penunjuk arahnya." Satpam itu menunjuk papan petunjuk arah yang terpampang tak jauh dari pos penjagaan. "Terima kasih. Permisi, saya ke kantin dulu, Pak," balas Elisa dengan sikap anggun dan santunnya. Tak lama dia pun mengundurkan diri dan berjalan mengikuti arah sesuai petunjuk sang penjaga keamanan sekolah. Sementara itu di ruang kantin guru, terasa sangat ramai. Pada jam istirahat sudah menjadi kebiasaan para guru yang tidak sempat sarapan di rumahnya akan langsung berhamburan menuju kantin untuk mengisi perutnya yang mulai keroncongan. Tak jauh beda dengan hampir semua siswanya. "Eh, Ibu-ibu, masih ingat gak sama Bu Ghina, Kepala Kantor Cabang BPR AR yang dulu pernah presentasi di kantor guru, memperkenalkan tabungan syariahnya." Ucap Bu Rustini yang selalu mendominasi dalam setiap perkumpulan. 14 orang guru yang terdiri pria dan wanita, tak ada yang menjawab. Mereka semua hanya memalingkan pandangan menatap Bu Rustini yang berdiri dekat sebuah meja kosong. "Yang seragam hijau putih, bukan?" salah seorang guru pria yang masih muda, menanggapi sekadarnya. "Betul!" jawab Bu Rustini dengan wajah semringah. Dia sangat bahagia karena berita besarnya mulai ada yang menanggapi. Sebenarnya Bu Rustini sendiri sangat tahu jika semua guru yang ada di ruangan itu sangat penasaran dengan ucapannya, walau mereka bersikap seolah-olah tak tertarik. "Kenapa dengan dia, Bu?" Salah seorang guru yang duduk dekat dengan Bu Rustini ikut menangapi. "Sekarang nasibnya sangat tragis!" ucap Bu Rustini dengan suara mendesah dan sedikit berbisik. Sontak semua guru terdiam dan teramat penasaran dengan berita tragis itu. "Dulu, waktu dia presentasi di sini kan ditemani sama brondong ganteng ya. Katanya sih calon suaminya. Kalau gak salah namanya Afrizal. Eh ternyata itu bukan calon suaminya. Beberapa minggu yang lalu si Ghina ternyata dipecat dari jabatannya. Sekarang hanya menjadi staf biasa di kantor cabang pembantu." Bu Rustini mulai melancarkan gosip murahannya. "Oh ya, ada kasus apa, Bu?"tanya tiga orang guru yang lain hampir bersamaan. "Ini berita sangat mengejutkan. Kasusnya sih biasa aja, penggelapan uang nasabah. Yang jadi luar biasa itu, ternyata uang itu dipakai untuk menyewa beberapa brondong." "Masa sih?" "Saya aja baru tahu kalau ternyata si Ghina yang cantik dan berwibawa itu, penyuka lelaki ABG. Duh mit amit ya, padahal dia sendiri masih muda, cantik dan mapan. Ngapain coba harus main sama brondong kere yang mesti dibayar segala. Dia kan bisa cari suami yang lebih tampan dan mapan. Bener gak?" tanya Bu Rustini pada semua guru yang seketika menjadi penyimak yang sangat baik dan manis. "Kalau gak salah, kata Bu Rus, si Ibu itu mau menikah sama brondongnya itu kan?" tanya salah seorang guru yang duduk paling pojok. "Oh itu hanya gosip murahan ternyata," balas Bu Rustini sigap, "brondongnya itu ternyata kabur karena si Ghina sudah hamil duluan oleh OB di kantornya. Mana lelakinya duda beranak tiga, kucel dan usianya aja sudah mau 50 tahun. Gila gak?" Bu Rustini yang telah menguasai medan perghibahan nasional, membuka kedua tangannya lebar-lebar. "Masa sih?" seorang guru berkaca mata sedikit tebal, bertanya seraya membuka kacamatanya. Tampakanya dia mulai pegal dari tadi khusyuk memperhatikan Bu Rustini. "Mungkin itu karma dari Bu Dhena. Soalnya menurut gosip, si Ibu itu kan pernah berselingkuh dengan suaminya Bu Dhena. Kemungkinan sih ingin merebut hartanya, gak tahunya semua harta Pak Rayan itu miliknya Bu Dhena." Salah seorang guru wanita yang terlihat jauh lebih dewasa dan senior, ikut menganggapinya. "Masa sih? Kok Bu Dhena gak pernah cerita sama kita-kita," respon yang lainnya. "Bu Dhena itu bukan Bu Rus. Mana pernah dia mau bergosip, apalagi rahasia pribadi rumah tangganya, hehehe." Seorang guru laki-laki berusia sebaya dengan Bu Rustini ikut menanggapi. Sebenarnya dia sangat membenci dengan kebiasaan ghibahnya, namun anehnya dia juga sangat suka mendengar gosip heboh dan menarik dari Bu Rustini walau kebenarannya selalu diragukan. "Iya sih, untung saja ada Bu Rustini, jadinya kita semua tahu, hehehe." balas salah seorang dari mereka yang tak jelas dari siapa. "Assalamualaikum, maaf saya mau bertemu dengan Bu Rustini." Tiba-tiba sebuah suara yang datang dari pintu masuk, sontak mengejutkan semua dan memaksa mereka untuk memandang seorang wanita gemuk berpakaian syar'i serba hitam yang berdiri dekat daun pintu. "Eh Bu Elis! Mau ketemu saya? Tumben ada apa Bu?" Bu Rustini yang namanya disebut langsung menyambut Elisa walau saat itu juga jantungnya mendadak dag-dig-dug tak karuan. "Saya ada perlu sebentar, gak apa-apa di sini aja Bu," balas Elisa sambil bejalan masuk mendekati Bu Rustini. Seolah sudah dikomando, salah seorang guru yang duduk dekat Bu Rustini langsung bernajak dan pindah tempat duduk. Dia memberikan tempat duduknya pada Elisa. "Ibu-ibu, silakan dilanjukan makan siangnya, nanti kita lanjut lagi ya beritanya." Ucap Bu Rustini setelah Elisa duduk tepat di depannya. Semua guru yang ada di ruangan itu kembali pada makanannya yang belum habis, namun tak seorangpun berani bicara. Semua ingin mendengar ada apa antara Bu Rustini dengan wanita berpakaian serba hitam itu. Yang pasti beberapa guru bisa menangkap ketegangan dan kecanggungan yang tergambar dari gestur wajah dan gestur Bu Rustini. "Gimana kabarnya, Bu Elis?" tanya Bu Rustini dengan suara pelan dan sedikit bergetar. Tak bisa dipungkiri jika saat ini dia sedang sangat salah tingkah tak karuan. Ada firasat tak enak didatangi wanita mantan istri sang kekasih gelapnya. "Alhamdulillah saya baik, Bu. Sebaliknya saya mau tanya, bagaimana kabar ibu dan suami saya. Apakah masih baik-baik saja?" sebuah jawab dan pertanyaaan yang seketika membuat Bu Rustini terperanjat. "Suami ibu? Si Rico bukan? Saya tidak tahu dimana si Rico itu. Sejak dia lulus dari sekolah ini, saya belum pernah bertemu dengan si Rico," jawab Bu Rustini tegas. Semua guru-guru semakin menahan suara dan napasnya. Semua semakin penasaran. Ada yang menunduk, ada yang memalingkan wajah, ada yang serius menatap raut wajah Bu Rustini yang mendadak pucat pasi, ada yang memperhatikan wajah Eisa yang tenang, santai penuh percaya diri. Namun ada juga beberapa guru yang berpura-pura tak acuh. "Maaf Bu. Sampai hari ini, suami saya masih tetap Rayan Justino," ucap Elisa dengan suara yang sangat jelas dan bening. "Terus kenapa ibu menanyakan Pak Rayan pada saya? Saya kan bukan pengasuhnya. Lagian kalau gak salah bukankah Ibu sudah bercerai dengan Pak Rayan? Aduh maaf ya, saya bukan pelakor, mit amit!" Bu Rustini tak mau kalah. "Bu Rus, apakah ibu tidak melihat kehamilan saya? Mana mungkin Uda Rayan menceraikan istrinya yang sedang hamil. Ibu tinggal jawab saja bagaimana kabar suami saya yang saat ini sedang mendekam di rumah Ibu?" Elisa mulai keluar sifat aslinya yang tak pernah mau kalah jika bicara. Apalagi saat ini dia memang memiliki misi khusus yang harus dia selesaikan dengan cepat dan membuahkan hasil. "Eh! jangan sembarangan Anda kalau bicara. Itu namanya fitnah! Suami saya namanya Gatot Sugandhi, bukan Rayan Justino. Suami saya memang saat ini sedang sakit keras diurus oleh pembantu saya di rumah. Rencananya besok akan dibawa oleh anak saya yang sulung untuk di rawat di Rumah Sakit Semarang," sangkal Bu Rustini keras. Sontak semua mata guru dan penjaga tertuju menatap wajah Bu Rustini yang merah padam. "Suami saya, saat ini ada di kamar belakang rumah ibu. Dia sudah satu minggu lebih menjadi suami simpanan Ibu. Apakah kita bisa membuktikannya ke sana?" balas Elisa sambil beranjak dari duduknya. "Ibu masih berani menyangkalnya? Kalau begitu mari kita buktikan rame-rame, siapa sesungguhnya lelaki yang saat ini sedang tiduran di kamar Bu Rustini!" tantang Elisa. 'Astaga!' seru semua guru dalam hatinya masing-masing. Kompak. "Sayangnya, Bu Dhena tidak masuk hari ini," bisik salah seorang pada rekan terdekatnya. 'Ini baru seru! Drama korea sih bakal lewat dengan adegan selanjutnya. Yes, untung gue sedang di sini, jadi bisa langsung menonton sambil ngemil.' Sembilan dari empat belas guru yang ada di sana, kompak bicara dalam hatinya. Sementara si lambe turah, benar-benar sedang mati gaya. Bibirnya kelu, lidahnya kaku, semua omongan yang biasanya runcing dan hebat, seketika hilang sirna. Hanya tersisa otaknya yang berusaha keras mencari cara untuk melawan dan menjatuhkan Elisa di depan rekan-rekannya. Dia tak rela jika dirinya sampai kehilangan martabat dan harga diri di depan para guru. ^^^ Nah apa yang selanjutnya terjadi?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN