Vian menatap bulan yang ada di atasnya. Cahayanya sangat terang mengingat sebentar lagi bulan purnama. Riko duduk di samping Vian mendongkak menatap langit malam bertabur bintang.
“Kenapa kita bisa berada di sini?” tanya Vian entah pada siapa. Vian mengeratkan sarung yang membungkus tubuhnya. lelah berdebat dengan perasaannya. Ia juga lelah pura-pura menjadi Malin Kundang yang sifatnya sangat berbeda.
“Kita jalani saja dulu. Aku yakin kita bisa kembali ke masa depan asal sabar,” sahut Riko.
“Kak Riko bisa cerita kisah Malin Kundang yang lengkap? Saya mau dengar.”
“Kamu belum baca ceritanya di internet?” tanya Riko. Vian menggeleng, ia tidak sempat mencari tahu tentang kehidupan Malin Kundang. Vian membuka ponselnya yang mati. Andai ia membawa charger, eh tapi di sini belum ada listrik. Rumah itu hanya diteringi cahaya seadanya.
“Ceritanya sedikit panjang, mau dengar?” Vian mengangguk dia siap mendnegar cerita panjang yang dikatakan kakak sepupunya. Riko mulai bercerita dari awal kisah Malin Kundang sampai di akhir cerita Riko mulai terusik dengan suara dengkuran. Vian tertidur pulas, meringkuk di atas lantai seperti bayi yang baru lahir.
“Aku ceritain dongeng malah tidur,” gerutu Riko. Ia tidak berniat untuk membangunkan Vian, diselimutinya tubuh sang sepupu kemudian masuk ke dalam membiarkan Vian tidur di balkon.
***
Burung-burung terdengar riang bernyanyi saat matahari menampakkan diri di ufuk timur. Embun basah masih terasa menetes namun Riko dan Vian harus pergi ke ladang mencari ubi untuk dijual ke pasar. Awalnya Vian tidak mau ikut dengan alasan panas dan kotor tapi Riko memaksanya walau ia tahu Vian tidak akan mau bekerja di ladang.
“Ending-nya Malin Kundang berubah menjadi batu?” tanya Vian. Dari rumah ia bertanya-tanya tentang kisah Malin Kundang yang diceritakan Riko semalam. Sialnya karena kelelahan Vian tertidur selama Riko bercerita dan sekarang ia kembali bertanya.
“Hmm,” gumam Riko sebagai jawaban. Ia malas menceritakan kisah Malin Kundang berulang-ulang.
“Tapi Malin Kundang itu pria yang baik, ‘kan?” Riko menghentikan langkahnya, ia berbalik menatap Vian yang terlihat takut. Tatapan Riko tidak bersahabat.
“Iya, Malin Kundang itu anak yang baik dan penyayang kemudian ia merantau mencari nafkah untuk membantu ibunya terus jadi kaya dan lupa dengan ibu Mande, akhirnya dia kena kutuk. Tamat.” Riko menaikkan satu oktaf suaranya membuat Vian bergidik ngeri. Hanya dengan satu tarikan napas Riko menyelesaikan ceritanya. Ternyata seperti ini sifat Riko kalau sudah bertanduk dua.
“Oke saya mengerti. Jadi sebagai Malin Kundang jadi-jadian saya harus bersikap baik, ya, kan?”
Riko mengatur napasnya yang terengah. Bicara dengan Vian menguras cukup banyak tenaganya. Padahal Vian itu atasannya yang terkenal jenius tapi masalah dongeng Vian sangat payah.
“Betul. berbuat baiklah. Jangan memancing keributan. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Ikuti saja alur ceritanya si Malin siapa tahu kita bisa kembali pulang,” sahut Riko.
Mereka melanjutkan perjalanan menuju ladang. Di sana Lisa sudah menunggu, gadis itu terlihat senang membajak sawah sambil main lumpur. Lisa melambaikan tangannya pada Vian namun pria itu hanya membuang wajah ke arah lain. Menjijikkan sekali bermain lumpur seperti itu, atau Lisa adalah gadis aneh yang tidak tahu malu.
“Malin ayo ke sini,” teriak Lisa, melambaikan tangannya. Vian berlindung di belakang Riko. Bermain lumpur hanya mengotori kulitnya. Banyak kuman yang bisa membuatnya sakit. Vian anti dengan kotor. Jangankan lumpur debu saja dia tidak suka.
“Kamu dipanggil sama pacarmu. Romantis dikit kek sama pacar,” ledek Riko.
“Saya tidak tertarik menjadikan dia pacar.”
“Bohong, bilang saja kamu juga naksir. Kalau benar kamu tidak mau, biar saya saja yang dekati dia,” kata Riko.
Vian melenggang pergi ia malas berdebat dengan hal yang tidak penting. Saat Vian berjalan tanpa sengaja ia terpeleset membuat kakinya masuk ke dalam lumpur.Vian mengerang, ia tidak suka kotor.
“Kaki saya kotor,” gumamnya jijik.
“Malin ayo kita ikut bajak sawah.” Lisa mendekatinya. Sekujur tubuh gadis itu sudah belepotan dengan lumpur. Vian menatapnya tidak suka.
“Saya bukan sapi yang bertugas membajak sawah. Jangan ajak saya jadi sapi,” ujarnya pedas. Lisa berkacak pinggang, ia kesal dengan perkataan Vian.
Tiba-tiba Lisa menarik tangan Vian hingga ia jatuh ke ladang. Kini sekujur tubuh Vian kotor oleh lumpur. Pria itu mengerang marah, ditatapnya Lisa dengan kesal. Tahu jika pria di depannya marah Lisa pun berlari menjauh. Persetan dengan lumpur itu, Vian pun mengejar Lisa. Dia tidak akan membiarkan Lisa kabur begitu saja, aksi kesar-kejaran pun tidak bisa dihindari.
Riko yang melihat tingkah mereka berdua hanya mematung, dirinya harus bekerja di ladang mencari ubi untuk dijual sedangkan Vian asik main kejar-kejaran seperti film-film bollywood.
“Nasib-nasib,” gumam Riko yang iri melihat Vian dan Lisa.
***
Vian membasuh wajahnya dengan air yang mengalir. Untuk pertama kalinya seorang Vian mandi di sungai. Tubuhnya yang kotor oleh lumpur memaksanya untuk membersihkan diri di aliran sungai tempat di mana orang-orang desa menjadikan tempat itu untuk mandi dan mencuci pakaian. Terutama para wanita
Vian membersihkan rambutnya dari lumpur, layaknya bintang iklan shampoo ia mengibaskan rambut hitamnya. Para wanita yang sedang berjalan ke sungai menghentikan langkah mereka melihat Vian yang memesona. Tubuh atasnya t*******g memperlihatkan otot perutnya yang terpahat sempurna. Kata gagah tidak cukup untuk mendeskripsikan dirinya.
Pandangan Vian bertemu dengan para gadis desa yang membawa bakul berisi pakaian yang akan dicuci. Vian tersenyum manis membuat wanita-wanita itu tersipu malu.
Pluk…
Vian memejamkan matanya sejenak saat mendapatkan baju kaosnya mendarat tepat di wajah.
“Baju kamu sudah saya cuci, cepat dipakai,” kata Lisa ketus. Gadis itu berada di depan Vian berjarak sekitar satu meter. Tidak jauh berbeda dengan Vian, Lisa pun tengah membersihkan diri dari lumpur.
Dengan enggan Vian mengenakan pakaiannya kembali. Baru saja ia selesai pamer tubuh berototnya pada kembang desa. Vian cukup kaget saat para wanita menghampirinya.
“Kamu gagah sekali Malin,” ujar seorang wanita berambut panjang malu-malu.
“Kamu semakin tampan,” puji salah satu dari mereka.
Vian menyisir rambutnya, di mana pun dia berada para wanita selalu menempel dengannya itu berarti ketampanan Vian tidak memudar sama sekali. Kesenangan Vian terganggu saat Lisa menjewer telinganya. Pria itu mengerang kesakitan. Vian malu mendengar para gadis terkikik geli melihatnya.
“Kenapa kamu menjewer telinga saya?” tanya Vian setelah berhasil melepaskan tangan Lisa.
“Jaga mata kamu. Tidak boleh lihat wanita seperti itu.”
Vian menunduk menatap Lisa yang sedang marah. Gadis itu berkacak pinggang dengan mata melotot. Apa yang dipikirkan gadis ini sebenarnya, mengganggu kesenangan Vian saja. Tanpa banyak bicara Vian berjalan meninggalkan Lisa.
“Malin tunggu!” Lisa mencoba mengejar Vian namun langkah kaki panjang Vian membuatnya harus berlari. Karena ceroboh, Lisa tidak melihat ada sebuah lubang kecil di depannya sehingga membuat gadis itu terjatuh.
“Aww,” ringis Lisa menahan sakit di pergelangan kakinya. Lisa mengurut kakinya untuk mengurangi rasa sakitnya.
“Makanya jaga mata kamu jangan dibiarkan lari,” ledek Vian. Ia mengulurkan tangannya pada Lisa dan gadis itu menyambutnya hangat.
“Bisa jalan?” tanya Vian.
“Bisa, kamu duluan saja,” jawab Lisa.
“Tadi disuruh tunggu, sekarang disuruh duluan,” dumel Vian.
Vian kembali meninggalkan Lisa yang berjalan tertatih di belakangnya. Rasa sakit di kakinya membuat Lisa berjalan pelan, tidak jarang ia berpegangan pada pohon yang ada di sekitarnya. Lisa berhenti sejenak merasakan kakinya berdenyut.
“Bilang dari tadi kalau sakit.” Lisa mengangkat kepalanya melihat Vian sudah berdiri di depannya. Tanpa diduga Vian menggendong Lisa hingga gadis itu memekik kaget. Lisa mengalungkan tangannya di leher Vian. Takut kalau jatuh.
“Turunkan saya sekarang!”
“Kamu diam saja, sudah mau di bantu.”
“Tidak mau!”
“Cerewet!” balas Vian.
Sepanjang perjalanan mereka tidak berhenti adu mulut. Beberapa orang yang berpapasan dengannya hanya menggeleng. Baru pertama kalinya Lisa dan Malin Kundang marah-marah, begitulah yang ada di pikiran mereka.
Vian mendudukkan Lisa di sebuah kursi saat sampai di rumah Mande Rubayah. Sepertinya ibu dari Malin Kundang itu belum pulang. Keadaan rumah terlihat sepi sama seperti rumahnya di Jakarta walau pun megah namun hanya dipenuhi angin yang berhembus.
“Terima kasih, Malin sudah membantu saya,” kata Lisa sambil mengurut kakinya.
“Anggap saja sebagai imbalan saat kamu menolong saya di hutan,” kata Vian. Tanpa mengatakan apa pun ia pergi meninggalkan Lisa di rumah untuk mencari Riko.
Bruk….
Riko membanting karung yang berisi ubi yang ia dapatkan di ladang tepat di depan Vian saat mereka berpapasan di jalan. Pria itu terlihat marah. Peluh bercucuran dari dahinya belum lagi tubuhnya kotor oleh tanah. Vian hanya menelan ludahnya saat Riko mendekat.
“Tuan Vian yang terhormat saya mohon dengan sangat tolong bantu saya! Jangan enak-enakan pacaran,” semprot Riko. Vian hanya bisa menutup telinganya dengan kedua tangan. Membela diri pun percuma karena Riko sudah marah.
“Cepat bawa ubi-ubi ini,” perintah Riko.
“Kak berat saya tidak akan kuat. Saya janji akan menaikkan gaji Kak Riko saat kembali nanti,” sahut Vian.
“Bodo amat, cepat bawa ubi-ubi itu.”
Vian mencebik kesal di saat seperti ini dirinya harus bekerja berat. Tidak pernah terpikirkan sebelumnya seorang Vian anak dari pemilik H&B Group harus memikul ubi. Di mana letak harga dirinya sebagai pria tajir melintir. Vian mencoba memikul ubi-ubi itu, karena berat ia pun meninggalkannya dan pergi menyusul Riko.
Di sebuah rumah salah satu warga terjadi keributan. Vian menghampiri Riko yang berada di dalam kerumunan.
“Ada apa ini?” tanya Vian. Riko menatapnya dengan kening mengernyit.
“Mana ubinya?” tanya Riko.
“Oh, ubinya aku tinggal. Habisnya berat,” ucap Vian santai. Tangan Riko mengepal, ingin rasanya ia memukul wajah bosnya. Kalau bukan bos sekaligus adik sepupu mungkin Riko sudah pergi jauh darinya. Riko keluar dari kerumunan untuk mengambil ubi yang ditinggalkan Vian. Sementara Vian masih anteng menonton drama live di depannya.
Ada seorang pria bersama beberapa orang yang Vian pikir adalah anak buahnya berdiri di depan seorang pria tua. Vian tidak paham dengan ucapan orang itu tapi Vian mengerti dengan permasalahannya. Pria tua itu terlilit hutang pada saudagar kaya yang sombong.
Seketika jiwa sultanya meronta, dengan gagah Vian mendekati pria tua itu. Hanya hutang beberapa keping uang saja itu kecil bagi Vian. Kalau mau Vian bisa membeli sebuah pulau.
“Berapa hutang bapak ini?” tanya Vian membuat orang-orang kaget. Vian menyeringai melihat raut wajah saudagar itu. Vian berkacak pinggang layaknya bos besar dengan segala kekuasaannya. Tentu dia adalah pewaris perusahaan ayahnya dan setiap orang yang berhubungan dengannya harus tunduk kecuali Riko. Hanya kakak sepupunya itu yang tidak bisa ia kendalikan.
Suara tawa menggelegar membuat Vian jengkel. Dia tengah diledek oleh pria penagih hutang itu. Vian mengangkat dagunya tinggi-tinggi.
“Hei anak muda, jangan bermimpi mau melunasi hutang kakek ini. Kamu punya apa?” Mereka tertawa membuat Vian tersenyum miring. Belum tahu mereka total kekayaan keluarga Malino Oktaviansyah yang tidak akan habis 7 keturunan.
“Katakan saja berapa hutangnya?”
“Satu kantong emas. Anak miskin seperti kamu tidak akan bisa membayarnya. Makan saja susah.” Pria itu terbahak membuat Vian semakin geram.
“Siapa bilang saya tidak bisa membayarnya. Jangankan koin emas satu kantong, satu truk pun saya sanggup,” ujar Vian sombong.
“Kalau begitu buktikan pada kami.”
Vian merogoh saku celananya mengambil dompet yang selalu ia bawa. Beruntung benda ini selalu ada di kantongnya ke mana pun Vian pergi. Dikeluarkannya sebuah kartu berwarna hitam. Vian mengacungi kartu itu di depan saudagar penagih hutang. Senyum miring terpatri di wajah tampannya. Namun rupanya Vian salah. Saudagar itu kini tertawa mengejek, bahkan orang-orang di sekitar mengulum tawa.
“Kamu pikir saya bodoh?” Saudagar itu merebut kartu yang Vian berikan kemudian menginjaknya seperti sampah tak berguna. Mata Vian membulat melihat kartu andalannya diperlakukan seperti itu. Bahkan Vian memperlakukan benda itu layaknya raja. Pria tua itu belum tahu berapa isinya. Uang miliaran rupiah yang tersimpan di dalam kartu itu hanya berakhir di tanah.
“Jangan pernah bermimpi kamu bisa memberikan saya satu koin emas. Lihat ibu kamu yang setiap hari berkeliling menjual kue. Makan saja susah, jangan ikut campur urusan saya. Benda aneh ini tidak ada gunanya.”
Vian mengepalkan tangannya. Ingin rasanya ia memukul pria itu. Seenaknya saja ia menghina Vian tidak sanggup membeli makan. Matanya memerah menahan amarah yang siap meledak.
“Kenapa mata melotot?” Salah satu anak buah saudagar kaya itu mendatangi Vian. Tatapan sengit keduanya layangan, namun sedetik kemudian Vian tersenyum.
“Tidak masalah, mataku memang besar,” ujarnya dengan mata yang sengaja melotot.
“Ayo kita pergi.”
Saudagar dan para pengawalnya pergi, begitu pula dengan warga desa satu per satu membubarkan diri. Vian menatap pria yang masih bersimpuh di tanah. Tanpa banyak kata Vian pergi meninggalkan pria itu.
“Tunggu Malin!”
Vian menghentikan langkahnya ketika pria itu memanggilnya dengan nama Malin. Bagaimna caranya mengatakan pada semua orang bahwa dia bukan Malin Kundang tapi Malino Oktaviansyah pria tertampan sejagat raya.
“Terima kasih telah membantu saya, Malin.”
Vian mengangkat tangannya sebagai insyarat ‘tidak masalah’ kemudian ia pergi begitu saja. Mood-nya sudah hancur sejak tadi.