“Arrghh.” Vian mengerang frustrasi. Harga dirinya direndahkan di depan banyak orang. Apa yang harus ia lakukan sekarang. Ia benar-benar marah.
“Malin kenapa kamu, Nak? Apa kamu punya masalah?” Mande Rubayah meletakkan segelas air di atas meja kayu yang ada di dekat pintu bilik. Vian menatapnya datar namun tidak menjawab apa yang ditanyakan wanita itu. Ia kesal dipanggil Malin dan disama-samakan dengan pria yang sama sekali tidak ia kenal.
“Malin―”
“Saya bukan Malin Kundang! Sudah berapa kali saya katakan kalau saya bukan anak Tante. Nama saya Malino Oktaviansyah anak dari Martin Oktaviansyah dan Sintya Suliwandari. Apa Tante tidak kenal dengan anak sendiri? Mana ada pria tampan seperti saya hidup di tempat ini.” Vian mengeluarkan unek-uneknya tanpa sadar telah menyakiti hati Mande Rubayah.
“Malin kamu boleh marah sama Bundo, kamu boleh mencaci Bundo tapi jangan pernah kamu melupakan Bundo, Nak. Bundo yang mengandung kamu selama sembilan bulan. Bundo sangat kenal dengan Malin Kundang, anak Bundo sendiri.”
Mande Rubayah menghapus air matanya. Tidak terkira sudah berapa kali ia menangis karena Vian yang dianggapnya sebagai Malin Kundang bicara kasar. Riko datang menemui Vian dengan wajah geram. Bos sekaligus adik sepupunya ini sudah kelewatan. Menyakiti hati wanita tua sama saja menyakiti hati ibu sendiri. Sudah cukup Vian bertahan dengan egonya.
“Bundo lebih baik istirahat. Biar saya yang bicara sama Malin,” kata Riko sembari mengantarkan Mande Rubayah keluar dari bilik. Vian berkacak pinggang melihat Mande Rubayah dan Riko keluar dari biliknya. Dia ingin sendiri menenangkan pikiran.
Riko kembali menemui Vian dan mencengkram kuat kerah pakaian yang dikenakan bosnya. Dia sudah muak dengan semua sikap Vian yang seenaknya menyakiti perasaan orang yang tidak bersalah.
“Gak puas lo bikin orang nangis? Lo gak pernah bayangin gimana perasaan Bu Mande. Dia sudah baik mau nerima kita di rumahnya. Mikir dong Lo mau tidur di mana kita kalau Bu Mande ngusir kita.”
Untuk pertama kalinya Riko berkata kasar pada Vian. Riko melepas cengkramannya, menatap Vian sengit. Tidak ada lagi bos dan asisten tapi kakak dan adik yang tengah berseteru.
“Otak lo ke mana sih, Vian? Sebanyak apa pun lo punya kartu di sini gak ada gunanya. Mau nyari Bank di mana? Mau nyari ATM di mana? Mau gesek di mana tuh kartu? Di batu sungai? Mikir dong, lo. Ingat kita dari masa depan. Jangan samakan hidup di masa depan dengan hidup di masa lalu.”
Riko mengatur napas setelah mengeluarkan kemarahannya. Vian hanya diam menerima kemarahan Riko. Membantah pun percuma karena Riko akan marah besar padanya. Vian tidak mau menyulut kemarahan kakak sepupunya lagi.
“Jadi saya harus bagaimana?” tanya Vian putus asa. Ia sudah tidak tahan berada di tempat asing ini. Hidup tanpa ponsel membuatnya terasa mati. Kenapa orang-orang zaman dulu bisa tahan hidup seperti ini. Ke mana-mana jalan kaki atau pakai kuda bagi mereka yang mampu.
“Kamu tahu alasan kenapa kita ada di sini?” tanya Riko. Kali ini ia lebih lembut dan sepertinya kemarahan Riko sudah mulai reda karena dia kembali menggunakan kata aku kamu sebagai panggilan.
“Gak tahu. Yang jelas saya tidak suka hidup seperti ini.”
Riko menyentuh pundak Vian. Mereka saling beradu pandang dengan serius. Biasanya Vian yang melakukan hal ini pada Riko tapi sekarang justru sebaliknya. Dunia berubah begitu cepat.
“Aku rasa ini ada hubungannya sama kamu.”
Vian mengerutkan dahinya, ia tidak mengerti apa yang kakak sepupunya katakan. Riko menarik tangan Vian untuk duduk di lantai, saling berhadapan. Pembicaraan mereka mulai serius bahkan Riko tengok kanan kiri untuk memastikan tidak ada orang selain mereka berdua.
“Mungkin ini teguran buat kamu. Masih ingat,’kan sama cerita Malin Kundang anak durhaka. Bisa jadi ini pertanda kamu harus tobat.” Vian semakin bingung memahami setiap ucapan Riko. Mana ada cerita seperti itu? Ini dunia nyata bukan dunia dongeng.
“Mungkin saja saya sedang mimpi.”
Vian mencubit tangannya. Ia merasakan sakit itu artinya ini adalah nyata. Ini tidak masuk di akal. Mereka benar-benar terjebak di masa lalu.
“Aku pikir kita punya misi rahasia di sini,” kata Riko misterius. Vian hanya diam menunggu penjelasan lebih lanjut dari Riko. Kedua mata mereka saling bertatapan.
“Apa kamu tidak curiga dengan Lisa? Bukankah dia mirip dengan gadis yang kamu cari?”
Vian mengangguk membenarkan ucapan Riko. Awalnya Vian pun berasumsi bahwa Lisa adalah gadis yang ia cari namun nyatanya Lisa tidak tahu apa pun. Vian mulai tertarik dengan pembahasan tentang Lisa.
“Bisa jadi bukan hanya Lisa yang mirip orang di masa depan. Kemungkinan masih banyak lagi orang-orang yang mirip.”
“Jadi maksud kamu kita akan bertemu orang-orang di masa depan?”
“Bisa jadi. Untuk sementara kita harus berpura-pura. Bagaimana pun juga kita tidak memiliki apa pun di sini,” jelas Riko. Vian berpikir sejenak. Ia mulai mengerti apa yang dijelaskan Riko padanya.
“Apa yang harus saya lakukan?” tanya Vian lagi.
“Kamu harus pura-pura menjadi Malin Kundang selagi kita mencari cara untuk kembali ke masa depan.”
Vian mengacak rambutnya kesal. Ia benci menjadi orang lain apa lagi menjadi Malin Kundang yang diceritakan dalam dongeng sebagai anak yang durhaka, tapi Vian tidak memiliki pilihan lain lagi. Kabur pun percuma karena dia tidak tahu tempat ini.
“Sampai kapan?” tanya Vian frustrasi.
“Sampai kita menemukan jawaban kenapa kita berada di sini.”
Vian memejamkan matanya. Dia butuh kepastian kapan bisa kembali ke masa depan namun sayangnya ia tidak mendapatkan kepastian itu. Vian benci situasi seperti ini.
“Baiklah, tapi jangan harap saya mau disuruh-suruh,” ujar Vian membuat Riko geram. Sifat bossy Vian ternyata tidak berkurang sedikit pun walau berada di situasi seperti ini.
“Iya, tapi dengan satu syarat. Jadilah Malin Kundang yang baik, kasihan Ibu Mande terus menangis gara-gara kamu,” kata Riko. Sejujurnya ia pun sudah muak dengan tingkah Vian yang tidak berperasaan, namun Riko tahu ini adalah bagian dari pekerjaannya untuk membantu adik sepupunya yang menyebalkan ini.
“Iya, saya minta maaf,” kata Vian mengalah.
“Minta maaf sama Bu Mande.” Vian menatap Riko enggan. Ia tidak berniat untuk meminta maaf dengan wanita itu. Vian tidak salah ia hanya mengungkapkan kebenarannya. Riko yang melihat sikap cuek Vian pun dibuat gemas. Terpaksa ia menyeret Vian ke tempat Mande Rubayah walau pun mendapat perlawanan.
Di dapur Mande Rubayah tengah membersihkan tanah yang menempel pada ubi sebelum dijual. Terlihat sesekali wanita tua itu menghapus air matanya. Dia menangis walau tidak ada isakan yang keluar dari bibirnya. Riko merasa iba dengan sosok wanita yang ada di depannya. Riko menatap Vian yang masih bergeming dari tempatnya kemudain menyenggol lengannya.
Vian menatap Riko. Kakak sepupunya itu memberi kode pada Vian untuk segera minta maaf. Vian hanya melipat tangannya di depan d**a. Terpaksa Riko mendorong Vian mendekati Mande Rubayah yang membuat Vian tanpa sengaja menendang keranjang berisi ubi yang sudah dibersihkan.
“Malin,” gumam Mande Rubayah saat menoleh. Ia segera menghapus air matanya dan memalingkan wajah. Vian menatap Riko sejenak. Riko mengangguk sebelum bersembunyi di luar dapur.
“Tante eh Bundo, saya minta maaf. Tidak ada maksud untuk membuat Bundo bersedih.”
Mande Rubayah menatap tubuh tinggi Vian. Air matanya kembali turun melihat Vian yang mirip Malin Kundang berdiri di depannya. Mande Rubayah berdiri dan memeluk Vian erat. Kali ini isak tangis tak kuasa ia bendung. Tubuhnya bergetar karena tangisannya
“Malin anak Bundo, bukan anak orang lain. Bundo akan sakit kalau Malin tinggalkan.” Mande Rubayah membelai kepala Vian lembut. Kasih sayang yang selalu ia berikan pada anaknya―Malin Kundang. Vian terenyuh saat tangan wanita tua itu berada di kepalanya. Ingatannya melayang pada masa lalu saat ia kecil. Vian kecil adalah anak yang ceria namun tidak pernah diperhatikan oleh ayahnya. Setiap kali Vian mencoba mendekati ayahnya sebanyak itu pula sakit yang ia terima. Ayahnya bahkan tidak memandang Vian kecil saat bicara.
Saat Vian kecil menangis ibunya selalu ada memeluk dan membelai kepalanya hingga Vian kecil tenang dan akhirnya tidur dalam dekapan ibunya. d**a Vian sesak mengingat ibu yang menyayanginya saat ini berada di rumah sakit. Vian membalas pelukan Mande Rubayah tidak kalah erat.
“Maafkan saya, Bu, maafkan saya,” ujarnya berkali-kali. Usapan dikepalanya begitu lembut membuat Vian nyaman dengan perlakuan Mande Rubayah. Ia menyesal telah membuat wanita tua ini menangis beberapa saat lalu. Vian berjanji akan berperan sebagai Malin Kundang dengan baik.