Part 14

1320 Kata
Napas Vian tercekat mendengar kenyataan itu langsung dari Lisa. Gadis itu akan dijodohkan dengan pria lain, harusnya Vian senang tapi entah kenapa ia tidak suka. Ada perasaan aneh yang menyusup ke dalam hatinya. “Bagus kalau begitu. Ada yang menjagamu,” kata Vian. Ia merutuki kebodohannya. Tidak sepantasnya ia mengatakan hal itu pada Lisa, tidak mudah bagi gadis itu menerimanya. Hening melanda keduanya, semilir angin membuat suasana semakin dingin namun Lisa dan Vian masih betah duduk memandangi langit yang mulai menggelap. “Saya tidak mencintainya, tapi saya tidak punya pilihan. Demi balas budi saya akan menikah.” Deg. Vian menatap Lisa lekat. Ada perasaan aneh yang menyusup ke hatinya, berkali-kali Vian menepis perasaan itu, tapi rasanya semakin jelas. Apa dia mulai tertarik pada gadis ini? Vian mengusap wajahnya pelan, pikirannya kacau sama seperti hatinya. Tidak mungkin Vian menyukai Lisa, gadis ini bukan tipe-nya. “Lebih baik kita pulang, ini sudah malam.” Vian menarik tangan Lisa namun gadis itu menepisnya dengan halus. Hati Vian mencelos melihat Lisa tidak punya semangat lagi. “Dengar Lisa, kamu bilang ingin membuat saya jatuh cinta. Saya tidak suka gadis lemot dan pemurung,” ujar Vian. Lisa menegakkan tubuhnya. Ia menatap Vian dengan mata bulatnya yang cukup besar. “Benarkah kamu tidak suka gadis pemurung?” Vian mengangguk, detik itu juga Lisa tersenyum lebar membuat Vian merinding. Sepertinya Vian melakukan kesalahan fatal. “Tapi aku belum mau pulang.” Lisa kembali murung membuat Vian gemas sendiri. Bagaimana bisa perasaan gadis itu berubah-ubah dengan cepat. Gadis aneh yang sialnya membuat Vian mulai tertarik. “Pergi bersamaku. Kita merantau bersama.” Entah dari mana Vian mendapatkan ide gila itu namun sukses membuat Lisa tersenyum. “Tidak bisa. Saya akan tetap di sini.” Penolakan pertama dalam hidup Vian membuatnya sedikit kecewa. Dalam hati kecil Vian tidak bisa memungkir bahwa ia ingin Lisa ikut bersamanya, menemaninya berlayar hingga kembali ke desa ini sebelum kembali ke masa depan. Tapi setidaknya penolakan Lisa membuktikan bahwa dia gadis yang tidak buta akan cinta. *** Semilir angin seolah menertawakan kedua insan yang tengah menyusuri jalan berbatu. Diam membisu seperti membeku dalam dinginnya malam. Sesekali Lisa mengusap lengannya yang dibalut baju panjang tipis. “Kalian datang dari masa depan?” tanya Lisa memecah kebisuan. Vian menoleh namun pandangannya kembali lurus ke depan. “Iya,” jawabnya singkat. “Bagaimana masa depan itu? Apakah indah?” Vian menghentikan langkahnya, kemudian diikuti oleh Lisa. Jarak rumah Lisa sudah dekat namun Vian masih ingin bersama gadis itu. Setidaknya untuk hiburan, apalagi Lisa sangat cerewet. “Sangat indah. Di masa depan banyak gedung tinggi, ada mobil dan motor. Semuanya serba cepat dan praktis. Mau makan tinggal pesan dan tunggu di rumah. Sangat menyenangkan.” Menyisip rasa rindu di benak Vian akan rumahnya. Jakarta dengan segala masalahnya namun mampu membuat siapa pun rindu untuk kembali. Vian melipat tangannya di depan d**a, kebiasaan ketika bersantai di kantor masih di bawanya hingga sekarang.  Melipat tangan sambil memandang deretan gedung perkantoran dan apartemen. Vian Rindu ruang kerjanya, begitu juga dengan meja dan benda-benda yang ada di dalamnya. s**l, Vian ingin segera pulang. “Kalian hidup di zaman yang menyenangkan, tidak seperti sekarang semua serba susah.” Lisa mendongkak menatap langit. “Padahal langit yang kita tatap adalah sama, tapi waktu yang telah mengubah segalanya.” Kata-kata Lisa membuat Vian mengingat sesuatu. Ia merasa tidak asing dengan ucapan itu, tapi di mana ia pernah mendengarnya? “Apa yang kau bicarakan?” tanya Vian. Lisa menatap Vian kemudian tersenyum. “Saya mengatakan tentang waktu dan kesempatan. Waktu yang telah membawamu ke sini dan kau memiliki kesempatan untuk mengubah takdirmu. Ini terasa aneh, bagaimana orang dari masa depan bisa kembali ke masa lalu, tapi semua pasti ada alasannya.” “Jadi kau benar-benar percaya aku berasal dari masa depan?” “Sejak awal saya selalu menepis anggapan itu. Kamu tidak pernah berbohong tentang siapa dirimu, bukan karena kamu jahat tapi karena kejujuranmu. Saya selalu memandangmu sebagai Malin tapi hati saya menganggap dirimu bukan Malin Kundang. Saya mencintaimu.” Tatapan keduanya saling beradu saling menyelami hingga menemukan sebuah jawaban. Hanya ada kejujuran yang tersirat di mata Lisa. Ketulusan gadis itu bisa Vian rasakan. “Sudah malam, saya harus pulang.” Lisa menunduk, berjalan mendahului Vian. Baru beberapa langkah tubuh Lisa tertarik ke belakang hingga berada di dalam dekapan Vian. Perlahan tangan Vian mengusap rambut Lisa lembut. Ada rasa canggung saat melakukannya. “Jangan mencintai saya. Lupakan rasa itu, kita tidak akan bisa bersama,” ujar Vian. Lisa mendorong tubuh kekar pria yang ada di depannya. Matanya bergerak liar menatap wajah rupawan itu. “Saya tidak memaksa kamu untuk mencintai saya, tapi jangan paksa saya untuk melupakan rasa cinta saya. Perasaan saya adalah milik saya sendiri. Maaf saya harus pulang.” Lisa berlari menjauhi Vian yang masih mematung di tempatnya. Dalan sekali hembusan angin Lisa sudah pergi, meninggalkan perasaan aneh yeng membuat Vian tidak nyaman. “Kenapa kau mempertemukan kami jika pada akhirnya kami harus berpisah?” Vian menatap langit malam dengan sendu. Matanya perlahan terpejam, meredakan gejolak dalam hati. Lisa dan Melisa, dua gadis itu membuat Vian tidak bisa tenang, selalu mengusik ketenangan hati. *** Riko  mengemas barang-barang yang akan mereka bawa, membungkusnya dengan kain yang cukup lebar. Menurut informasi yang ia dapatkan dari orang-orang bahwa sebentar lagi kapal besar akan berlayar. Tidak ada waktu untuk mengurus bos malangnya yang sedang patah hati. Sejak pagi Vian hanya diam di kamar tanpa melakukan apa pun. Sungguh malang nasib manusia yang tidak peka dengan pilihan hati. “Cepatlah berkemas. Kamu bisa melamun di kapal sepuasnya,” ujar Riko membuat Vian menoleh. “Yang ada saya muntah sepuasnya,” sahut Vian. “Kira-kira berapa lama kita di laut?” Riko menghentikan tangannya saat mengikat perbekalan mereka dengan selembar kain. Sejujurnya Riko belum pernah naik kapal laut, ia pun tidak tahu seberapa lama perjalanan akan di tempuh. Di masa depan transportasi udara selalu menjadi pilihan Riko ketika bepergian ke luar negeri, bisa dikatakan ini pengalaman pertamanya naik kapal besar. “Tidak peduli seberapa lama kita menempuh perjalanan yang jelas kita harus segera berangkat. Ayo pergi.” Riko mendahului Vian, membiarkan adik sepupu sekaligus bosnya merenung sendiri. “Harusnya perasaan ini tidak pernah ada.” Vian beranjak menyusul Riko yang tengah menunggunya di pekarangan rumah bersama Mande Rubayah. Tidak tega rasanya Vian meninggalkan Mande Rubayah seorang diri di rumah. Bagaimana sepinya hari-hari wanita itu tanpa ada yang menemani. “Apa bundo baik-baik saja kalau saja tinggal?” tanya Vian saat berdiri di depan Mande Rubayah. “Bundo baik-baik saja selama Malin baik di sana. Bundo akan menunggu kepulangan Malin.” Vian memeluk erat wanita tua itu. Tubuhnya terlihat  kurus dan lemah namun menyimpan kekuatan yang tidak bisa Vian remehkan. Kekuatan tekad kata Mande Rubayah saat mereka bicara pada suatu malam. “Bundo jaga diri, saya berjanji akan pulang setelah keinginan saya terwujud.” Mande Rubayah meneteskan air mata. Anak yang telah dirawatnya sejak kecil kini tumbuh menjadi pemuda tampan yang sebentar lagi akan meninggalkan dirinya untuk merantau. Waktu berlalu sangat cepat. “Kamu juga, Malin jaga diri. Jadi anak yang penurut agar Malin dan Riko punya banyak teman. Malin ingat kata-kata bundo, meskipun tahun berganti dan musim berubah, pegangan hidup janganlah lepas. Gapai keinginan Malin dan pulanglah dengan selamat,” nasihat Mande Rubayah. Riko dan Vian kompak mengangguk. Mande Rubayah pun mengantar mereka berdua ke pantai tempat kapal besar bersandar. Angin cukup kencang siang itu membuat Mande Rubayah was-was melepas anak tercintanya. Di depan sana orang-orang  bersiap menaiki kapal besar. Rata-rata mereka adalah lelaki yang ingin mengadu nasib ke tempat lain. “Tunggu!”  Lisa berlari kencang menghampiri Vian, tangannya menenteng sebuah benda dari tanah liat berukuran kecil. Benda yang sering dibawa gadis desa untuk mengambil air minum. Vian bisa melihat mata gadis itu berair. Apa sepanjang perjalanan Lisa menangis? “Ada apa?” tanya Vian saat Lisa tidak kunjung bicara. “Bawa ini, kamu mabuk laut.” Lisa memberikan benda yang ia bawa pada Vian. Laki-laki itu ragu namun ia tetap menerima pemberian Lisa. Riko menepuk bahu Vian sambil menahan tawanya. “Ehemm… ayo kita naik. Kapalnya akan segera berangkat.” Vian mengangguk kemudian pergi setelah mengucapkan terima kasih pada Lisa. Vian tersenyum tipis saat tahu Lisa masih memerhatikannya tentu dengan cara yang tidak biasa. Vian menatap ke belakang berharap Mande Rubayah dan Lisa beranjak pergi namun kedua perempuan itu masih setia menunggunya hingga naik ke atas kapal. Lisa dan Mande Rubayah melambaikan tangan mereka ketika kapal mulai menjauh dari tepi. Hati Lisa terasa hampa ketika kepal itu berlayar jauh. Pada akhirnya kita tetap berpisah, batin Lisa.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN