Berlayar di atas laut ternyata sangat menyenangkan bagi Riko. Pria itu menikmati perjalanannya dengan tenang. Merasakan angin kencang menerpa tubuhnya, udara panas dan sejuk menemani perjalananya yang mungkin saja berlangsung cukup lama. Tidak ada yang tahu kapan mereka akan menepi.
Berbeda dengan Riko, Vian justru menghabiskan waktunya dengan kendi yang diberikan Lisa. Pria itu duduk di pojokan meringkuk seperti bayi. Rasa mual di perutnya semakin menjadi ketika ombak menerjang kapal.
“Huekk…”
Vian mengeluarkan air dari perutnya, tidak terhitung berapa kali ia melakukannya. Yang jelas perutnya terasa kram. Sungguh beruntung Lisa memberikan kendi ini untuk menemaninya selama berlayar. Vian berjanji akan menjadikan benda ini sebagai salah satu benda bersejarah dalam hidupnya.
“Bos, baik-baik saja?” tanya Riko berjongkok di depan Vian.
Wajah sayu Vian membuat Riko iba. Ia bisa meraskan bos tampannya tersiksa saat ini. Sungguh malang nasibnya.
“Aku ingin kembali. Lebih baik―” Vian menghentikan ucapannya, kedua tangannya menutupi mulut. Sampai kapan rasa mual ini akan berakhir. Vian merutuki keberaniannya untuk berlayar. Jika tahu seperti ini, ia tidak akan memutuskan untuk pergi. Tinggal bersama Mande Rubayah tidak terlalu buruk. Vian ingin kembali ke rumah Mande Rubayah.
“Sabarlah, anggap saja ini bukan hari keberuntunganmu.”
“Tapi aku mau pulang. HHHAAAAAAA.” Vian berteriak berharap rasa mual itu mereda namun justru semakin menjadi.
“Hei kalian berdua, jangan teriak. Mengganggu saja,” ujar seorang pria salah atu a*k kapal. Pakaiannya hitam dengan beberapa tempelan kain yang melekat di bajunya, ditambah dengan ikat kepala berwarna merah membuat pria pendek bertubuh subur itu sedikit menyeramkan.
“Hei kalian, kemarilah.” Seorang pria kurus tinggi memanggil Vian dan Riko. Keduanya saling berpandangan heran. Untuk apa mereka dipanggil? Apalah daya mereka hanya menumpang, perintah apapun yang diberikan oleh penguasa kapal harus mereka turuti.
“Ikut saya.”
Vian dan Riko mengikuti pria tinggi itu masuk ke dalam kapal. Suasana gelap di bawah sana membuat Vian berkali-kali mengerjapkan matanya untuk membiasakan cahaya yang redup.
Belum beberapa menit berada di dalam kapal, perut Vian kembali mulas. Vian menutup mulutnya rapat-rapat. Udara pengap di dalam sana membuat kepala Vian semakin pusing. s**t, tempat apa ini? rutuk Vian dalam hati.
“Bersihkan tempat ini. Kami akan istirahat di ruangan ini jadi kalian harus sudah selesai sebelum malam.” Pria itu menatap Riko dan Vian bergantian sebelum pergi meninggalkan kedua pria itu. Vian menepuk pundak Riko sambil menunjuk mulutnya yang kembung. Vian sudah tidak tahan dengan rasa mualnya. Mengerti apa yang dimaksud bosnya, dengan cepat Riko mencari wadah yang bisa Vian pakai.
Riko mengambul sebuah tempat minum yang terbuat dari tanah liat. Walau kecil namun cukup untuk menampung air yang keluar dari perut Vian. Tubuh Vian terasa lemas hingga ia bersandar untuk menetralkan napasnya. Sungguh ini sangat menyiksa.
“Istirahatlah, biar aku yang membersihkan semuanya.”
Vian mengangguk. Ia meringkuk di atas lantai kayu yang dingin. Ini lebih menyedihkan dari pada tidur di atas tikar. Vian merindukan rumah Mande Rubayah, walau pun kecil dan sederhana namun Vian mendapatkan kehangatan. Kapal kembali membentur ombak membuat guncangan, beberapa benda yang ada di ruangan itu bergerak akibat guncangan itu. Vian mencoba memejamkan matanya sembari memeluk tubuh yang kedinginan. Bahkan di saat seperti ini keberuntungan ikut menjauhinya.
Matahari tenggelam menghadirkan gelap yang menggantikan terang. Sudah seharian mereka berlayar namun belum ada tanda kapal akan menepi. Beberapa orang yang ikut menumpang di kapal ini pun tengah duduk sambil memejamkan mata. Tidak ada tempat tidur yang layak untuk mereka gunakan.
“Apa yang kamu rasakan?” tanya Riko.
“Menyedihkan. Saya pikir dunia tidak sekejam ini. Saya hanya melihat kemewahan, sejak lahir dirawat layaknya putra mahkota.” Vian tertawa kecil, wajahnya masih pucat namun rasa mualnya mulai reda. Perut Vian sepertinya mulai berdamai dengan laut.
“Jika kembali nanti, apa yang akan kau lakukan?” tanya Riko.
“Saya akan bertemu mama dan minta maaf.” Vian mendongkak menatap langit malam yang indah. Ia seperti hidup di alam liar yang menantang, hidup dengan alam tidak semudah yang Vian pikirkan.
“Setelah itu saya akan mencari jodoh,” celetuk Vian membuat Riko melebarkan matanya. Vian tersenyum lebar, pandangannya kini tertuju pada Riko. “Saya tidak mau kalah dari Kak Riko yang tampangnya pas-pasan,” ledek Vian membuat Riko meninju lengannya pelan.
Malam mereka lewati dengan canda tawa, setidaknya mereka masih bisa saling menghibur untuk mengisi waktu selama perjalanan. Vian berbaring di samping Riko, keduanya kini berada di geladak atas. Ini pengalaman pertama Vian tidur beratapkan langit.
“Jika di masa depan kita hidup seperti sekarang, apa yang akan Kak Riko lakukan?” tanya Vian. Riko menoleh, kemudian kembali menatap langit.
“Aku tidak pernah berpikir seperti itu. Aku tidak bisa membayangkan jika sampai terjadi.”
“Aku terlalu berambisi dengan kedudukan, sekarang aku memahami sesuatu tentang hidup,” ujar Vian menimpali. Riko menoleh, perasaannya menghangat mendengar bos galak dan cuek seperti Vian bertobat. “Hidup itu perjuangan jadi aku semakin yakin untuk menggantikan posisi ayah di perusahaan,” ujar Vian membara. Riko menarik kembali tanggapannya lagi, ternyata Vian belum berubah sama sekali.
“Bos,” panggil Riko.
“Apa?”
“Gak kangen sama Lisa?”
Vian terdiam, pikirannya kembali mengingat dua wanita yang ditinggalnya. Mengingat Mande Rubayah dan Lisa membuat Vian terdiam. Apa yang dilakukan kedua wanita itu sekarang?
“Saya rindu Bu Mande,” ujar Vian.
***
Secercah cahaya matahari membuka mata Vian dan Riko, terusik dengan hangatnya udara setelah kedinginan sepanjang malam. Untuk pertama kali Vian menikmati pemandangan laut luas. Walau rasa mual itu masih ada namun tidak sehebat kemarin yang membuat perutnya kram.
“Lihat, sebentar lagi kita sampai.” Riko menunjuk daratan yang kini sudah nampak. Vian bersyukur sebentar lagi penderitaannya di laut akan berakhir. Vian merentangkan tangannya menikmati sinar matahari pagi dan hembusan angin laut. Dia merasa bebas tanpa beban.
“Saya mulai menyukai laut,” kata Vian. Riko melakukan hal yang sama, merentangkan tangan dengan kepala menengadah. Matanya tertutup meresapi kehangatan yang menerpa kulit putihnya.
“AAAA, KITA BEBAS!” teriak Vian dan Riko sekencang mungkin. Kedua tangan mereka bertautan, terangkat ke udara.
“Woi, berisik!”
Vian dan Riko kompak menoleh pada pria plontos berbadan gemuk. Kumis tebal dan jenggot panjangnya membuat kesan galak pada dirinya. Vian menatap Riko, keduanya terdiam dengan bibir melengkung naik. Sedetik kemudian mereka tertawa bersama memandang lautan biru.
***
Pertama kali Vian menginjakkan kakinya di darat setelah berjam-jam berlayar mengarungi lautan. Entah apa nama tempat yang mereka datangi ini yang jelas Vian tidak peduli. Yang terpenting adalah berada di darat dengan selamat.
“Apa yang harus kita lakukan?” tanya Vian bingung. Mereka tidak punya apa pun. Rumah, makanan maupun uang, tidak satu pun yang mereka miliki. Vian merutuki kebodohannya yang tidak berpikir panjang. Siap atau tidak ia akan menjadi gelandangan tampan sejagat raya, begitulah pikiran Vian.
“Kita harus mencari makan, setelah itu tempat tinggal,” ujar Riko. Vian mengikuti ke mana pun Riko pergi. Berada di tempat asing membuatnya sedikit canggung. Lagi-lagi Vian harus beradaptasi dengan lingkungan baru dengan kebudayaan yang berbeda.
Keringat mulai bercucuran dari dahinya, persediaan air yang mereka bawa pun semakin menipis. Setelah berhasil melalui satu rintangan kini Vian harus menerima tantangan untuk bertahan hidup tanpa sepeser harta. Ini menyebalkan, batin Vian.
“Ee… permisi, apakah Anda punya sedikit makanan?” tanya Riko pada seorang ibu-ibu penjual sayur mayur. Namun sayang ibu itu tidak mengerti dengan ucapan Riko. Ia hanya bicara menggunakan bahasa daerah yang tidak Riko mengerti.
Vian mendengarkan ucapan Riko dengan seksama. Vian merasa harga dirinya sudah tidak ada lagi. Apakah dia benar-benar akan menjadi pengemis? Meminta belas kasihan orang-orang? Tidak, Vian tidak mau menjadi pengemis atau pun meminta belas kasihan orang-orang.
“Kak Riko, kita bukan pengemis jangan minta makanan sembarangan,” kata Vian memperingati kakaknya.
“Vian, kita tidak punya uang. Untuk bertahan hidup kita harus makan.”
“Tapi bukan berarti merendahkan harga diri juga, Kak. Kita bisa bekerja mencari uang.”
“Yang ada hanya aku yang bekerja. Apa salahnya meminta sedikit makanan?”
Perdebatan tidak bisa mereka hindari sampai akhirnya teriakan seorang pria menghentikan aksi adu mulut kakak beradik itu.
“Tolong, pencuri!”
Vian sontak melihat seorang pria berlari kencang dengan sebuah kantong coklat di tangannya. Riko dan Vian kompak mengangguk, mereka pun berlari menghadang pria itu.
“Kembalikan benda itu,” kata Vian tegas.
“Tidak akan.” Pria itu menyerang Vian namun dengan gesit ia menghindar. Beberapa kali penjahat itu melancarkan serangannya namun selalu gagal, Vian dengan mudah menangkis dan menghindari setiap serangannya.
Kekuatan lawannya tidak seberapa, tapi Vian belum melancarkan satu serangan pun, hingga perkelahian itu menjadi pusat perhatian orang sekitar. Vian tersenyum, orang-orang tengah memerhatikan kelihaiannya dalam bertahan dan menghindar. Merasa lawannya kelelahan, Vian tidak menyianyiakan kesempatan itu untuk melancarkan serangan. Sekali sepak pria itu terjatuh terduduk di hadapan Vian, dengan mudah Vian merebut kantong coklat dari tangan si pencuri. Riko bergegas menghampiri Vian dan mengamankan pencuri itu.
“Terima kasih telah menolong saya,” ujar pria pemilik uang. Vian yakin di dalamnya berisi koin emas yang banyak. Melihat dari penampilan pria yang ditolongnya itu terlihat seperti orang kaya.
“Sama-sama, tapi apakah saya boleh meminta imbalan?” tanya Vian. Riko menatapnya bingung, namun ia tetap bungkam sembari memegang kedua tangan penjahat itu ke belakang.
“Tentu.” Pria tua itu membuka kantong coklatnya. “Ini, ambilah koin emas ini. apakah cukup?”
“Terima kasih, ini sudah cukup.” Vian menggenggam erat koin emas itu kemudian berjongkok di depan si pencuri. Vian meraih telapak tangan pria itu dan meletakkan koin emas yang baru ia dapatkan. Vian tersenyum menatap wajah pria tua di depannya.
“Ambilah semua koin ini. Jangan pernah mencuri sesusah apa pun hidup yang dijalani. Pergilah, ” kata Vian.
Pria tua itu menangis dan memeluk Vian erat. Hati Riko bergetar melihat kebaikan Vian, ternyata bosnya masih punya empati pada seseorang. Belum pernah sekali pun Riko melihat Vian melakukan hal baik seperti ini. Vian tidak seburuk yang dikatakan karyawa di kantor. Vian dan Riko berdiri setelah pria tua itu pergi.
“Hei, anak muda kalian baik sekali. Apa kalian mau ikut dengan saya?” tanya seorang pria berjubah merah. Beberapa orang berpakaian hitam berada di setiap sisinya. Vian jadi teringat dengan ayahnya yang selalu dikawal oleh bodyguard.
“Saya akan memberikan makanan dan tempat tinggal untuk kalian berdua,” lanjutnya.
“Be-benarkan?”tanya Riko terbata.
“Saya tidak pernah berbohong. Apa kalian mau ikut dengan saya?”
Vian dan Riko beradu pandang. Kedua sudut bibir mereka terangkat ke atas.
“Bagaimana?”
“Mau,” jawab mereka kompak.