BTW 09

2324 Kata
Rammon mendudukkan tubuhnya di samping sang Mama, menyenderkan kepalanya di pundak wanita tersebut. Nyonya Carla tersenyum dan mengusak pucuk rambut putra nya. "Kenapa kau terlihat bersedih? Ceritakan pada Mama," pinta nya. Rammon terdiam sejenak, sebelum memulai bercerita. Ada sedikit rasa takut untuk bercerita pada sang Mama, ia takut salah. "Ma.... aku ingin bercerita sesuatu, tapi Mama harus janji pada ku, jangan memarahi ku," rengek nya manja. Wanita itu hanya terkekeh geli, masih saja seperti anak kecil. Gumamnya. "Iya... Mama janji, tidak akan memarahi mu," tuturnya lembut. "Aku mencintai Melisa," lirihnya. Nyonya Carla nyaris tersedak ludahnya sendiri, mendengar ucapan sang putra. "Ram..... kau sadar dengan apa yang kau ucapkan?," Sahutnya syok, bagaimana bisa putra nya ini mencintai gadis yang sudah bersuami. Ia tidak ingin anak kesayangan nya merusak rumah tangga orang. "Sangat sadar," sahut Rammon singkat. "Ram.... dengarkan Mama, Melisa sudah bersuami sayang, kau tidak berhak mencintai istri orang," jelas sang Mama. "Aku tau Ma....aku hanya mencintai nya untuk diri ku sendiri, aku tak bermaksud menghancurkan rumah tangga nya," titah Rammon, begitu frustasi. "Em... Mama percaya pada mu, Mama tidak masalah jika kau ingin melindungi nya. Mama ingin kau menganggap nya sebagai adikmu sendiri tidak lebih," "Iya aku berjanji, akan melindunginya," "Jaga Melisa, sekalipun kau tak bisa memilikinya, setidaknya anggap dia sebagai saudara mu, kau mengerti," final sang Mama. Rammon berjanji pada dirinya sendiri, bahwa saat ini prioritas utamanya adalah Melisa. Ia akan menjaga gadis itu dari kejauhan tanpa sepengetahuannya. Entahlah Rammon sedikit takut jikalau Allard akan berbuat kegilaan lainnya. Mengingat sampai detik ini pemuda itu begitu mudah melakukan kekerasan pada istrinya sendiri. Semakin hari kelakuan Lisa semakin melunjak. Meminta ini itu dengan dalih atas keinginan dari jabang bayi yang di kandung nya. Seperti saat ini ia ingin menginap di Mansion Bramastya. Tidak sekali dua kali itu terjadi. Bahkan sudah berkali-kali. Dan sangat tak tau malu. Melisa semakin merasa sesak dalam hati nya, setiap hari harus di hadapkan dengan pemandangan yang membuat kedua mata nya seakan iritasi jika terus melihat nya, Bagaimana tidak? Kalau Allard selalu memanja kan Lisa. Mengelus perut buncitnya, menciumnya, mengajak bicara calon anak mereka begitu mesra. Melisa merasa tak terima dengan semua itu, seharusnya dia yang ada di posisi gadis itu, bukannya Lisa. Sedang Melisa harus sibuk bekerja seperti pembantu. Jangan lupakan cemoohan sang Mama mertua, yang begitu pedas. Sukses menambah perih hati seorang gadis manis bernama Melisa. Bahkan mungkin sudah hancur, remuk, tak berbentuk menjadi butiran debu. Yang akan hilang jika tertiup angin. Tuan Richard sudah muak dengan drama picisan tak bermoral yang terpaksa harus ia lihat di setiap harinya.  Mencemari kedua mata sucinya. Membuatnya geram setengah mati. Ia bermaksud mengusir gadis iblis itu dari Mansion nya. Sejak ke datangan Lisa kembali, Mansion ini jadi terasa horor seperti ada sosok makhluk tak kasat mata yang memasukinya. Dan jika perlu ia rela mendatangkan Ghost Hunter, untuk mengusir makhluk tersebut. "Aku tak ingin basa-basi, kau tau sendiri kan Lisa...bahwa keluarga ku adalah keluarga terpandang. Dan kehadiranmu di sini sangat tak baik jika ada media yang mengetahuinya. Secara kau bukan siapa-siapa Allard di sini, dan dalam ke adaan hamil. Kau tau kan apa yang akan di ucapkan media nantinya? Jadi kumohon segera tinggalkan Mansion ini," ucap Tuan Richard datar, dengan seringaian tajam di akhir kalimatnya. Lisa merepalkan kedua tangannya, ia merasa terhina dan ia benci itu. Dalam hati merutuki pria yang berstatus sebagai Ayah dari kekasihnya itu dan berjanji akan membalas dendamkan semua perlakuanya. Suatu saat nanti. Allard memijit pangkal hidungnya. Terlampau bingung. Dan lagi-lagi ia menyalahkan Melisa akan semua masalah yang timbul di keluarga besar nya. "Pa.... Lisa sedang hamil, dan dia membutuhkanku," bela Allard. "Lalu apa peduliku? Kalau dia membutuhkanmu pergi saja denganya. Tapi ingat, sekali kau melangkahkan kaki mu untuk pergi bersama gadis itu. Maka saat itu juga aku akan mengeluarkanmu dari daftar keluarga Bramastya," final Tuan Richard, hilang kesabaran. Lisa gelagapan, ia tak mau hidup menderita. Jika Allard lebih memilih pergi dengannya, maka otomatis pemuda tak mendapat warisan dari sang Ayah. Tidak, ini tidak boleh terjadi. Ia harus segera melakukan sesuatu. Gumamnya dalam hati. "Ah All...aku tak apa, jangan melawan ucapan Papa mu, itu tidak baik sayang.....sungguh aku tak masalah jika harus pergi. Toh, kita masih bisa bertemu kan?.... Aku tak ingin ada kerenggangan di antara keluargamu," bujuk Lisa, dengan wajah sok polosnya. Allard semakin merasa bersalah pada kekasihnya. Nyonya Mona yang tidak bisa berbuat apa-apa segera merengkuh tubuh berisi gadis kesayangan nya itu. "Ah.. sayang,  hatimu sungguh mulia, tak salah Allard memilihmu," puji wanita itu penuh puja. Beda dengan Tuan Richard yang hanya berdecih muak. "Ck....dasar gila harta, jangan kau fikir aku tak tau isi otak busuk mu," ucap nya terakhir, kemudian memilih pergi meninggalkan kumpulan manusia memuakan tersebut. Lisa tentu mendengar apa yang di ucapkan Tuan Richard tadi. Membuat nya semakin emosi, namun ia tidak boleh gegabah. "All... ini sudah sore, bolehkan aku bermalam di sini, besok pagi aku akan kembali ke Apartemenku," pinta Lisa manja. Tentunya dengan mudah mendapat anggukan dari sang kekasih. Tak tau saja Lisa sedang merencanakan sesuatu entah apa. Pukul 01:00 Lewat tengah malam. Tuan Richard baru selesai menyelesaikan berkas-berkas penting dari ruang kerja pribadi nya. Bermaksud untuk turun ke lantai bawah sekedar untuk mengambil air minum.  Pria itu terlihat begitu lelah, melepas kaca mata yang bertengger di hidungnya. terlampau penat. Baru saja ia akan melangkah menuruni tangga, lagi-lagi harus di kejutkan dengan suara deheman seorang wanita. Pria itu berhenti sejenak, menoleh ke arah sumber suara. Mencoba mencari sosok yang bersuara tadi, seketika ia memicingkan kedua matanya. Heran, dengan sosok gadis yang ada di belakang nya. Siapa lagi sosok itu jikalau bukan Lisa. Dan tunggu, sejak kapan gadis itu ada di lantai atas. Sedang tempat tidurnya saja ada di lantai bawah. Untuk apa ia ada di sini? Pertanyaan muncul di kepala pria paruh baya tersebut. "Apa yang kau lakukan di sini?," Tanya Tuan Richard penuh selidik. Lisa berdecak malas, melangkah mendekati tubuh pria itu sembari bersedekap d**a, begitu angkuh. "Untuk membalasmu tentunya, beraninya kau ingin memisahkan aku dengan Allard," ketusnya. Tuan Richard semakin terperangah mendengar ucapan sarkastik Lisa, ini kah sifat asli gadis itu?. Sungguh tak punya etika sopan santun. Batinnya. "Lalu......apa yang akan kau lakukan," cerca pria itu datar. "Menyingkirkan batu penghalang ku,"  ucap nya penuh nada kebencian. Lisa semakin mendekati tubuh Tuan Richard. Dan secara tiba-tiba, mendorong tubuh pria itu ke belakang. Hingga tubuh tua itu terguling dari atas tangga hingga ke lantai bawah, karena memang pria itu tak sempat mengelak. "Arrgggghhh...... Teriak Tuan Richard terdengar menggema di segala penjuru ruangan.  Hingga detik berikutnya hanya ada genangan darah yang mengalir dari kepala pria itu. Lisa berseringai karena merasa rencananya berjalan lancar, penghalang nya sudah tiada. Dengan cepat Lisa segera menuruni tangga kembali menuju ke kamar nya, sebelum ada yang melihatnya. Selanjutnya tugasnya hanya tinggal melakukan aktingnya sebagai ratu drama, semaksimal mungkin. Mendengar suara teriakan, seketika membuat Melisa yang kamarnya ada di lantai atas terperanjat dari tidurnya, ia segera keluar dari ruang kamar tersebut. Mencari tahu apa yang terjadi. Gadis itu berjalan ke area tangga, seketika kedua mata nya membola lebar melihat tubuh sang Ayah mertua tergeletak di bawah sana. Tubuhnya membeku, kedua kakinya bergetar terasa begitu berat hanya untuk melangkah turun. Semua anggota keluarga pun terbangun saat mendengar suara tangisan seorang gadis, bukan suara Melisa melainkan suara Lisa yang berakting menangis sembari mengguncang tubuh pria yang tergeletak di lantai bawah. Allard segera berlari ke luar kamar, melihat tubuh Melisa berdiri di atas tangga. Dengan cepat ia melihat apa yang gadis itu lihat. Seketika ia terkejut bukan main. "Dasar bodoh,.... kenapa kau tetap berdiri di sini ha? Lihatlah Papa ku terluka di bawah sana," bentak Allard, mengejutkan keterpakuan Melisa. Ia tersentak kaget dan ikut mengekor Allard menuruni tangga. Beberapa saat kemudian di susul oleh Nyonya Mona. Allard segera menghampiri Lisa yang menangis meraung. Memanggil nama sang Papa. "Katakan apa yang terjadi dengan Papa," teriak pemuda itu frustasi. "Om.... hik....Om.....dia yang mendorong Om Richard, All..,"  adu Lisa, sembari menunjuk ke arah Melisa. Allard mendengus panjang, memejamkan kedua matanya sesaat. Emosinya sudah di pucuk ubun-ubun. Ia berjalan tergesa menghampiri tubuh Melisa di belakang nya yang terlihat terisak tanpa suara. Melisa membulatkan matanya, terkejut dengan tuduhan yang di layangkan Lisa pada nya. Tanpa sempat menjawab. "DASAR JALANG SIALAN...." Geramnya. "PLAKKKKK...... Allard menampar wajah Melisa, lebih tepatnya memukul. Hingga tubuh gadis itu terpelanting dan terhempas menubruk   tembok di sampingnya. Kepalanya terasa begitu pening. Karena sungguh tamparan Allard tidaklah main-main kerasnya.  Belum sampai kesadaran Melisa kembali,  Allard sudah menjambak rambut panjangnya  hingga ia mendongak menengadah dengan ringisan kesakitan. Sembari berusaha melepaskan cengkraman tangan suaminya. "A...Al....sa...sakit, lepaskan...aku tak salah. Sungguh aku tak melakukan pa-apa, aku berani bersumpah All....ku mohon percaya pada ku," ucap Melisa terbata, berusaha menjelaskan semuanya. Dengan tatapan sayu, tanpa ada nya kebohongan. Entahlah melihat tatapan Melisa yang begitu sendu. Allard sedikit iba, ada sepercik rasa percaya pada istrinya.  Tapi ucapan Lisa, seakan seperti racun yang seketika meresap di dalam otaknya. Rasa percaya nya pada Lisa lebih mendominasi dan bodoh nya ia percaya pada gadis tersebut. "All.....urus jalang itu nanti saja, yang terpenting sekarang, bawa Papa mu kerumah sakit," teriak Nyonya Mona geram. Sontak membuat Allard sadar, dan menghentikan aksinya. "Urusan kita belum selesai,...jangan coba-coba kabur dariku," desis Allard seraya mengacungkan jari telunjuknya ke arah wajah Melisa. Dan berlari menghampiri tubuh sang Papa, lalu bergegas membawanya ke rumah sakit.   Menyisakan Melisa yang masih berderai air mata, bukan karena sakit oleh siksaan dari sang suami yang ia rasa, namun sakit kala suaminya sendiri lebih percaya pada wanita lain. Ia hanya bisa berdoa semoga Ayah mertuanya baik-baik saja. Dan di selamatkan dari maut. Jangan tanyakan bagaimana ekspresi Lisa, tentu saja ia sudah bersorak ria dalam hatinya. Merasa puas dengan aksinya. Dan berharap semoga Tuan Richard tak tertolong. Agar tak merusak kebahagiaanya bersama Allard. Ia sudah membayangkan bagaimana jika nantinya ia menjadi ratu di kediaman Bramastya, dan ia tak lagi harus bekerja. Hanya tinggal menghamburkan uang sesuka hatinya. Pemikiran yang begitu picik. Allard begitu terpukul mendengar pernyataan Dokter bahwa sang Papa mengalami strok permanen. Menyebabkan pria itu tak bisa menggerakan kakinya dan tak bisa berbicara. Namun setidaknya ia masih bisa bersyukur karena sang Papa, masih di berikan kesempatan untuk hidup. Lisa yang mendengar kabar itu justru menggeram dalam hati, harapanya pupus. Bukan ini yang ia inginkan. Namun ia menginginkan Tuan Richard tiada. Tapi apa ini? pada nyatanya lelaki paruh baya itu masih selamat dari maut. Namun ia sedikit merasa lega, karena Tuan Richard tak bisa bicara. Jadi artinya tak ada yang bisa membungkar kebejatannya pada siapa pun. "Brengsek.....ini semua karena jalang sialan itu," Allard merepalkan genggamanya erat, hingga bekas kuku menancap di telapak tanganya. Lalu memukul tembok rumah sakit yang tak bersalah di sampingnya. Allard meninggalkan sang Papa yang terbaring lemah bersama sang Mama di rumah sakit. Ia memutuskan untuk pulang di dampingi Lisa.  Ingin segera sampai ke Mansion dan menghukum Melisa. "Semoga saja jalang sialan itu  tak melarikan diri," decih Lisa. Saat perjalanan pulang di dalam mobil. "Aku akan melaporkan Melisa, agar gadis tak tau diri itu di hukum seberat-beratnya," gerutu Allard, begitu marah. Lisa gelagapan, jangan sampai Allard melapor pada pihak polisi. Bisa-bisa terbongkar semua kebusukannya selama ini. Dan berakhirlah dirinya yang mendekam di penjara. Ia tidak ingin itu terjadi. Dengan segera ia mencari akal untuk menghentikan rencana pemuda itu. "All....jangan laporkan dia ke polisi,... hukuman itu tak setimpal dengan apa yang telah di perbuatanya pada Om Richard, " Lisa berusaha merayu pemuda di sampingnya ini. Allard mengernyitkan keningnya sedikit heran. "Jadi maksudmu? Hukuman apa yang pantas ku berikan untuknya?," Tanyanya seraya memicingkan sebelah sudut matanya. "Siksa dia, biarkan dia tetap tinggal di Mansion. Sampai dia memohon, dan memilih ingin mati secara berlahan," Lisa berseringai. Allard hanya mengangguk setuju dengan ucapan Lisa. "BRAKKKK...... Rammon menggebrak meja kerjanya, dia baru saja mendapat laporan dari informanya, tentang kejadian yang menimpa Melisa di Mansion Bramastya. Rammon meraup wajah nya kasar. Ia merasa gagal menjaga gadis tersebut. "Astaga....bagaimana ini....apa yang harus aku lakukan...sial! " Gerutu nya merutuki kebodohannya sendiri. Rammon bingung bukan main. Di sisi lain ia tak mau ikut campur keluarga gadis tersebut. Karena ia tau, Melisa sangat benci jika ada yang ikut campur dalam urusan keluarga nya. Bukan apa-apa, hanya saja gadis itu selalu beralasan tidak ingin merepotkan orang lain. Terpaksa Rammon hanya memantau nya dari jarak jauh. Tapi ia tak tau jika akan muncul masalah besar seperti ini. Rammon memutuskan untuk menceritakan semuanya pada sang Mama, jujur otaknya seakan buntu untuk berfikir. Ia butuh teman, untuk menukar cerita dan solusi.  Pemuda itu berusaha meluapkan semua keluh kesahnya pada sang Mama. Ia menangis, begitu merasa frustasi. Orang yang di sayanginya begitu menderita. Dan ia tak bisa melakukan apa-apa. Seakan dirinya ikut merasakan kesakitan dari gadis tersebut. "Ma....apa yang harus aku lakukan?," Rintihnya. "Tenang sayang.....kita lihat sejauh mana Allard membuat Melisa menderita. Kita akan bertindak setelah Melisa menyerah dan meminta bantuan kita, Mama janji akan membalas kan semua kesakitan yang Melisa rasakan. Kau tau sayang..... Mama sangat kagum pada gadis itu. Dia begitu kuat," Nyonya Carla menatap lekat kedua mata sang putra. Berusaha memberi kekuatan pada anaknya di masa-masa sulit seperti ini. Ia tak menyangka jika putra kesayangannya nya bisa serapuh ini jika menyangkut orang yang di cintai nya. Sesampainya di Mansion, Allard langsung menuju kamarnya, mencari sosok gadis yang sedari tadi ingin ia beri pelajaran. Allard embuka pintu kamar nya kasar. Sontak membuat tubuh ringkih seorang gadis yang terlihat sedang menangis pilu di dalam nya terjengit kaget. Mendongak kan wajah sembabnya dengan kedua kaki tertekuk terduduk di bawah kasur nya. Melisa segera terbangun dari duduknya. Dengan tergesa ia segera menghampiri Allard yang terlihat tengah berdiri di ambang pintu dengan wajah merah padam. Tanpa rasa takut sedikitpun Melisa mengguncang tubuh kekar yang kini menatapnya begitu dingin. "All....bagaimana ke adaan Papa? Apa dia baik-baik saja? All jawablah..!" Ucapnya penuh harap. "PLAKKK.....PLAKKKK.... Bukanya jawaban yang Melisa dapatkan melainkan tamparan berkali-kali, tanpa perasaan yang ia rasakan. Gadis itu memegang pipi merah nya, bekas tamparan kejam dari sang suami. Sembari menatap lekat wajah pemuda itu, penuh tanda tanya. "Jangan bersandiwara, lebih baik simpan air mata busuk mu itu. Aku muak melihatnya, " bentak Allard penuh emosi. Kemudian ia melepas ikat pinggangnya. Dan mencambuk tubuh ringkih sang istri, yang hanya bisa meringkuk tanpa bisa melakukan perlawanan. Namun Allard seolah buta dan tuli akan permohonan ampun dari sang istri. Hanya jeritan dan tangisan menggema yang terdengar di dalam kamar mereka. "Sakitt.....tolong hentikan, kumohon All... hik...ku mohon..," suara Melisa semakin serak, karena tak henti berteriak. Sebelum akhirnya kegelapan menghampirinya, dan tak sadarkan diri. Lisa terkekeh nista, duduk di sofa ruang kamar tempat Allard menyiksa istrinya, sembari menyilangkan kedua kakinya dengan menyesap teh dari cangkirnya. Begitu menikmati, seakan sedang menyaksikan sebuah pertunjukan yang begitu indah di depan mata nya. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN