"Mom.....apa Gigi akan segera punya adik bayi?," Tanya Gilbert polos, mendengar percakapan kedua orang dewasa tersebut. Yang ia tau, jika seorang wanita dewasa tengah hamil maka akan ada adik bayi nantinya.
Melisa tersenyum, mendudukkan tubuhnya di depan sang putra.
"Iya sayang...apa Gigi senang?," Tanya Melisa.
"Iya... Gigi sangat senang Mom. Akhirnya Gigi akan punya teman bermain," serunya, sembari melompat-lompat girang, membuat Melisa, terkekeh gemas.
Melisa sudah tak sabar. Ingin segera sampai ke Mansion nya, dan memberitau perihal kabar gembira ini pada Allard. Tapi mungkinkah pemuda itu akan merasa bahagia atas kehadiran anak dalam kandungan nya? Ataukah malah sebaliknya?.
Sesampainya di mansion Bramastya. Melisa terlihat begitu semangat hendak memberitaukan kabar perihal kehamilannya pada sang suami. Namun tak jadi, gadis itu mengurungkan niatnya. Karena melihat Lisa dan Allard tengah b******u di ruang tamu. Dengan tidak tau malunya.
Seakan tak melihat apapun Melisa, berjalan masuk menuju kamar Gilbert, melewati mereka berdua. Dengan menggendong Gilbert yang sedang tertidur di pelukannya. Walau pun sudah setiap hari di suguhkan pemandangan m***m seperti itu. Melisa tetaplah manusia biasa yang bisa merasakan sesak, sakit dan hancur. Wanita mana yang tak hancur kala melihat suaminya dan selingkuhanya b******u mesra di depan mata. Hanya wanita buta yang tak kecewa dengan semua itu.
Hari berganti hari namun Melisa tak kunjung mendapatkan kesempatan untuk mengatakan kabar perihal kehamilanya pada anggota keluarga Bramastya. Ia terlalu pengecut untuk sekedar berucap.
Pagi ini begitu berbeda, entah mengapa Nyonya Mona menyuruh Melisa untuk membantunya memasak. Masakan besar, seperti akan sedang ada jamuan tamu. Melisa memberanikan diri untuk bertanya. Hatinya begitu gelisah.
"Ma....apa akan ada acara di Mansion ini?," Tanyanya, penasaran.
"Huh....aku lupa memberitaumu, kalau nanti keluarga Lisa akan datang kemari," jawab wanita itu dengan nada malasnya.
"Untuk apa Ma?," Melisa menghentikan aktivitas nya, mendengar kan sahutan dari sang Ibu mertua, hati nya semakin penasaran di buatnya.
"Untuk membicarakan tentang pernikahan Lisa dan Allard, bahkan sekarang aku yakin bahwa Allard sedang menyiapkan sesuatu yang romantis untuk melamar Lisa, dan aku dengar Allard merencanakannya di pantai. Sungguh manis bukan?," Tutur Nyonya Mona, panjang lebar. Sengaja memang ingin menjatuhkan Melisa.
"Tidak... ini tak boleh terjadi," syok Melisa menghentikan acara memasaknya dan pergi berlari begitu saja, meninggalkan pantry dapur. Tanpa menghiraukan sang mertua yang sudah berteriak, bersumpah serapah.
"Hei..... kau mau kemana ha? Sialan, kenapa dia pergi begitu saja," gerutu wanita paruh baya tersebut, seraya melempar spatula tak tentu arah.
Di tengah perjalanan, Melisa terus saja berlari. Dan mengambil phonsel dari dalam sakunya, mendial nomor Rammon. Dengan tangan bergetar begitu tergesa-gesa. Ia harus menggagalkan rencana Allard, atau semua akan terlambat.
"Hallo...,"
"Ram.....cepat jemput aku di sekitar Mansion, ini penting. Tuttttt.....," Melisa mematikan phonselnya sepihak. Tak ingin terlalu banyak bicara, karena ia pun merasa sangat lelah.
Sesekali Melisa berhenti sedikit mondar-mandir, menunggu ke datangan Rammon. Fikiranya sangat kacau. Ia tak mau kehilangan suaminya di tambah ia sedang mengandung buah cintanya bersama pria tersebut.
Tak berapa lama akhirnya Rammon tiba, memberhentikan mobilnya di depan Melisa. Tanpa menunggu lama Melisa langsung memasuki mobil Rammon.
"Sebenarnya apa yang terjadi Mel... jangan membuatku khawatir?," Tanya Rammon sembari menjalankan mobilnya, menuruti arahan dari gadis di sampingnya.
"Allard, dia akan melamar Lisa. Aku tak mau itu terjadi. Bagaimana dengan nasip anak ku nanti Ram?," Jawab Melisa panik.
"Sial...dasar b******n," gerutu Rammon, sambil meremat kemudi mobilnya erat. Melampiaskan kemarahannya.
"Sekarang kemana tujuan kita?," Tanya Rammon kemudian.
"Ke pantai, Mama memberitahu ku bahwa mereka ada di sana, Cepat Ram! Jangan sampai kita terlambat," Rammon tak ingin menyia-nyiakan waktu, ia langsung tancap gas, dengan kecepatan tak main-main. Persetan dengan ocehan orang di pinggir jalan, yang menyumpahi dirinya. Masa bodoh dengan lampu merah.
Beberapa menit kemudian, akhirnya mereka sampai di tempat tujuan.
Tak jauh dari pantai, Melisa meminta turun. Ia hanya tak mau Rammon ikut dalam masalah keluarganya.
"Mel...tak bisa kah aku menemanimu, aku takut terjadi sesuatu pada mu?," Resah pemuda itu.
"Tidak Ram.....ini masalahku, aku tak mau masalah keluargaku semakin rumit. Ram, pulanglah! Dan terima kasih untuk semuanya," ucap Melisa, menatap sayu ke arah Rammon, lalu meninggalkan pemuda itu begitu saja. Pergi menghampiri kedua orang yang terlihat jauh di sana.
Rammon tak bodoh untuk meninggalkan Melisa sendirian, bersama dua iblis di sana. Ia memutuskan untuk memantau dari kejauhan. Tak ingin Melisa dalam bahaya.
Suasana pinggir pantai pasir putih, di sulap menjadi tempat yang terkesan terlihat begitu romantis, berhiaskan kelambu putih, dan sepasang meja kursi dengan warna yang senada, dengan dua gelas anggur merah terjajar rapi di atas meja tersebut.
Dua sosok pasangan tengah terduduk saling berhadapan, dengan meja sebagai penghalangnya. Terlihat kedua tangan sang pria tengah memegang sebuah kotak bludru berwarna merah. Dan menyodorkan kotak tersebut ke arah sang gadis .
"Lisa....aku tak bisa seromantis seperti layaknya pria pada umumnya. Namun kau tau? niatku sangat tulus. Maukah kau menikah denganku?," Ucap Allard, seraya membuka kotak berisikan cincin berlian putih ke hadapan Lisa.
Lisa membekap mulutnya dengan kedua telapak tangannya, ia sangat bahagia hingga tak sanggup untuk berkata-kata. Hanya anggukan manja sebagai jawaban. Yang ia tunjukkan pada pemuda di hadapannya.
Lisa mengulurkan jemari lentiknya di depan Allard. Allard tersenyum, sembari mengambil satu cincin dan siap menyematkanya di salah satu jemari Lisa.
Sebelum!
"PRANGGGG......
Sebuah tangan mulus, mengobrak-abrik semua benda yang ada di meja. Menggagalkan momen romantis mereka berdua. Semua hancur, dua gelas anggur yang kini sudah jatuh, tumpah bersatu dengan pasir putih yang kini ikut berubah warna. Dan jangan lupakan, sepasang cincin yang juga ikut terpental jatuh ke pasir, tergeletak mengenaskan tak berdaya.
Allard dan Lisa begitu terkejut, menoleh kearah samping bersamaan, dan medapati sosok Melisa, yang terlihat begitu marah dengan wajah memerah padam penuh amarah.
"Hentikan semua ini," teriak Melisa, habis sudah kesabarannya.
"Brengsek....jalang sialan. Apa yang kau lakukan ha.?," Lisa mendorong tubuh Melisa. Hingga ia terhuyung kebelakang. Melisa tak tinggal diam kali ini, ia kembali mendorong tubuh Lisa hingga gadis itu terjatuh ke pasir.
"Apa yang kau lakukan pada Lisa," bentak Allard. Dan-
"PLAKKKK......
Allard menampar wajah Melisa dengan kerasnya. Namun Melisa tak ingin berdiam diri, karena ia tidak salah. Melisa terus meracau dan memukul d**a Allard, dengan sepenuh kekuatan yang ia miliki.
"Jangan pernah menikahi Lisa! Aku tak mau kau meninggalkanku All...aku sedang mengandung anak mu. Bukan kah itu yang kau inginkan selama ini? Ayo kita mulai dari awal lagi, ku mohon....demi anak kita," ucap Melisa, persetan jika di bilang mengemis cinta pada pemuda tersebut.
"Heh...hamil? Kau bercanda? Kau itu mandul, bilang saja jika kau hanya ingin menggagalkan acara ku? Jangan mengada-ada," Allard terkekeh nista, seolah menganggap ucapan gadis tersebut hanya sekedar bualan saja.
"All...aku mengandung anak mu. Aku berani bersumpah padamu," mohon Melisa, berusaha membuat sang suami percaya.
"Hah...sekali jalang tetaplah jalang,"
"PLAKKKK.....
Kini Melisa yang menampar wajah sang suami.
"Kurang ajar! Kau berani menamparku?," Allard sudah naik pitam, merasa terendah kan. Ia menjambak rambut belakang Melisa dan tak sadar menghantamkan kepala gadis itu dengan pinggiran meja.
"JEDUGGG.....
Darah segar mengalir dari pelipis Melisa.
"All.....kau.. ---
Melisa melemas, ia masih bisa melihat dan mendengar namun ia memilih menutup matanya. Kepalanya terasa pening bukan main. Hingga tiba-tiba semua nya menjadi gelap.
Allard begitu panik, bukan inginnya seperti ini, ia hanya reflek karena terlalu emosi .
"Mell.....bangun...! Astaga...jangan bercanda. Ayo buka matamu," Allard menampar pelan wajah Melisa.
Lisa merolling bola matanya malas, terlalu banyak drama. Menurutnya.
"Hah...bukanya bagus kalau dia mati. Jadi tak ada yang menghalangi kita lagi. Cepat singkirkan dia!" Ucap Lisa santai, dengan bersedekap d**a, melirik malas ke arah gadis yang tergeletak di pasir putih tersebut.
"Kau keterlaluan Lisa...kita harus membawa Melisa kerumah sakit," jengah Allard, karena melihat sikap Lisa yang terkesan tak peduli.
Lisa semakin geram, tak suka jika Allard masih memiliki rasa pada istrinya.
"Kau buang kelaut mayat Melisa, sekarang juga. Atau aku akan melaporkan mu ke Polisi, atas dasar kasus KDRT?," Ancam Lisa dengan bersemirk.
Allard semakin bingung, ia baru sadar jika Lisa ternyata sebejat ini. Ia tak punya pilihan lain, selain menuruti kemauan gadis iblis tersebut. Ia juga tak mau mendekam di penjara. Dengan berat hati ia membopong tubuh Melisa ala bridal style. Dan membawanya ke laut. Katakanlah pemuda itu begitu egois, demi keselamatan nya sendiri, ia tega melenyapkan nyawa sang istri.
Hatinya kembali sakit menatap wajah pucat gadis di gendonganya. Berlahan butiran air mata menetes dari sudut mata elangnya. Ia tak menyangka hubungan nya bersama sang istri akan berhujung kepahitan seperti ini.
Berlahan ia melepas tubuh Melisa di dasar laut yang dingin. Dengan kedua mata sedikit terbuka Melisa mencoba memanggil nama Allard.
"All...." lirih sekali hampir seperti suara bisikan. Yang hampir tak terdengar, bercampur bisingnya deburan ombak.
Rammon begitu emosi. Ya! Dia melihat semuanya. Namun ia tak ingin gegabah. Ia harus berfikir tenang saat ini. Setelah waktunya tepat, ia akan segera mengambil tubuh Melisa.
Rammon yakin Allard tak benar-benar ingin melenyapkan Melisa. Terlihat dari sorot matanya, tergambar sebuah kesedihan yang begitu mendalam. Terbukti Allard hanya menaruh tubuh Melisa di laut yang dangkal. Tetap saja itu sangat egois. Dan sangat mencerminkan sosok seorang b******n, yang sesungguhnya.
"Cinta ku bagaikan hujan, tak akan menyerah meski selalu terjatuh, namun ingatlah All...ada kalanya hujan akan berhenti karena lelah, terjatuh terus menerus. Cinta ku telah lenyap hilang tak berbekas, seiring kau melenyapkan ku dan anak ku, ke dalam lautan yang luas. Hanya ada kebencian di dalam hatiku, semoga kau sengsara dengan kehidupanmu saat ini. Karena aku tak akan pernah membiarkan mu bahagia di atas kesengsaraan ku.
Melisa Aurora.
Hingga pandangannya mulai memburam, cahaya matahari mulai menjauh dari permukaan, menandakan tubuh gadis itu mulai tenggelam jauh ke dasar laut. Dadanya mulai sesak, sakit, nafasnya tersengal-sengal. Sebelum sesosok tangan kekar meraih tangannya. kemudian semuanya berubah menjadi gelap.
Rammon berlari kesetanan, langsung menjeburkan dirinya ke laut dimana Allard menenggelamkan tubuh Melisa.
Sial! Gara-gara menunggu kepergian kedua b******n itu, hampir saja Rammon kehilangan Melisa. Dengan cepat Rammon meraih tangan Melisa, yang terlihat tak berdaya. Menarik tubuhnya sampai ke pinggir pantai.
"Astaga...apa aku terlambat. Sialan, dasar Allard b******n," geram pemuda itu. Segera ia memberikan nafas buatan pada gadis tersebut, dan sedikit menekan d**a Melisa. Hingga beberapa detik kemudian, terlihat gadis itu terbatuk-batuk dan memuntahkan air dari mulutnya.
Rammon akhirnya bisa bernafas lega. Karena Melisa selamat, dari maut. Ia segera membawa gadis itu pergi sebelum ada orang yang datang. Karena tadi Rammon sempat mendengar kalau Allard tengah menghubungi seseorang untuk mengambil tubuh Melisa. Mungkin pemuda itu menghubungi bawahannya atau siapa, ia juga tidak ingin tahu.
"Ram..terima kasih," ucap Melisa begitu lemah.
"Ck...jangan banyak bicara, jangan buang tenagamu." marah Rammon, geram dengan gadis di hadapannya ini. Sudah sekarat masih saja ingat terima kasih. Gumamnya sambil menyelimuti tubuh Melisa dengan jas nya.
Sesampainya di mansion Fatony. Rammon segera membawa tubuh Melisa kedalam kamarnya. Menyuruh para pelayan untuk segera mengganti pakaianya, sedang dirinya menghubungi Dokter pribadi keluarga Fatony. Sengaja Rammon tak membawa Melisa ke rumah sakit. Buat apa ke rumah sakit? Kalau fasilitas kesehatan di Mansion nya saja seperti fasilitas layaknya rumah sakit besar. Orang kaya, apapun bisa di lakukan. Dengan adanya uang, seolah uang sudah menduduki tahta tertinggi di dunia ini.
"Ram..." lirih Melisa.
Rammon segera berlari menghampiri gadis tersebut.
"Iya...aku disini...kau tak apa hm? Sebentar lagi Dr. Nae, akan datang ke sini," ujar Rammon sambil mengelus pucuk kepala gadis itu lembut.
"Ram...terima kasih," lagi-lagi kata itu yang keluar dari mulut gadis manis tersebut, membuat Rammon bosan mendengarnya.
"Heh...tidak ada kata lainkah selain berterima kasih hm?," Rammon menghela nafas. Melisa hanya terkekeh lemah. Dia sangat bersyukur bertemu dengan sosok pemuda berhati malaikat seperti Rammon.
Tak berapa lama Dr. Nae datang dan bergegas memeriksa Melisa.
"Bagaimana Dok, keadaan Melisa?," Tanya Rammon penuh harapan.
"Dia baik-baik saja, hanya sedikit lemas karena di sebabkan syok yang terlalu tinggi. Keadaan janinnya juga baik-baik saja, tak ada yang perlu di khawatir kan," tutur Dr. Nae, menjelaskan.
"Syukurlah....," Rammon akhirnya bisa menghela nafas lega.
"Baiklah saya permisi dulu, dan ini resep obatnya, semoga lekas sembuh," pamit Dr. Nae, dan memberikan secarik kertas daftar obat yang harus Rammon tebus.
"Baiklah, sekali lagi terima kasih Dok," ucap Rammon lagi, dan di balas senyuman oleh Dokter tersebut, kemudian berlalu pergi.