BTW 13

2159 Kata
Semakin hari keadaan Melisa semakin membaik, Rammon merawat gadis itu begitu telaten. Kenapa tak Nyonya Carla saja yang merawat Melisa? Karena memang wanita itu sedang ada di Amerika, mengurus cabang bisnis nya yang ada di sana. Sengaja Rammon tak memberitau Mama nya. Karena tak ingin membebani fikiran wanita paruh baya tersebut. Selagi ia masih bisa mengurusnya sendiri, ia tak ingin merepotkan sang Mama. Biarlah kalau wanita itu sudah pulang saja, setelah nya nanti Rammon akan menceritakan semuanya. "Ram...aku ingin bicara padamu," panggil Melisa, sambil menonton TV bersama pemuda itu. Rammon menoleh sekilas ke arah gadis di sampingnya. "Hm... apa?," Sahutnya singkat. "Bantu aku membalaskan dendamku pada keluarga Allard," pinta Melisa serius. Aura wajah gadis itu seketika berubah dingin. Rammon sempat terkejut. Melisa yang aslinya memang sosok gadis yang terbilang lemah lembut sekarang bisa bersikap sedatar ini, kalau menyangkut perihal tentang suaminya yang bernama Allard tersebut. Tiada Melisa lemah, seperti terdahulu. "Kau yakin hm? Ingin menyerah? Tak mau mengejar cinta si b******k itu lagi? ," Rammon tersenyum simpul, jujur ia sangat senang dengan kehadiran sosok Melisa yang sekarang ini. "Cinta ku sudah lama mati Ram, yang ada hanya kebencian di dalam hatiku. Aku berjanji pada diriku sendiri ku dan anak ku. Akan ku hancurkan keluarga Bramastya itu sampai titik terakhir. Sebagai mana mereka menghancurkan hidupku," Melisa tersenyum evil. Rammon ikut menyunggingkan sebelah senyumnya. Ini lah yang ia tunggu selama ini. Dengan senang hati ia akan mewujudkan impian gadis kesayangan nya. "Jadi apa yang harus aku lakukan untuk mu, terlebih dahulu?," Tanya Rammon. "Palsukan kematianku. Selanjutnya teror kehidupan Allard, hingga dia merasa bahwa dirinya sudah gila," jawab Melisa, tersirat rasa benci yang teramat mendarah daging. "Itu gampang. Bahkan kalau kau meminta ku, untuk menghancurkan perusahaan keluarga Bramastya saat ini juga, maka akan aku lakukan sekarang juga," sahut pemuda itu lagi. "Tidak Ram, hancurkan kehidupan nya secara berlahan, aku hanya ingin melihat kehancuran b******n itu secara bertahap. Pasti sangat menyenangkan bukan?," Melisa terkekeh sinis. "Baiklah...tapi, dengan satu syarat. Setelah kau benar-benar pulih terlebih dahulu, baru kita bisa menyusun rencana. Dan kita menunggu Mama pulang, ! Selanjutnya kita akan membicarakan masalah ini pada nya," tutur Rammon, sedang Melia hanya mengangguk paham. Beralih ke sisi lain, menguak kejadian setelah kepergian Allard dan Lisa. Di perjalanan pulang dari pantai, Allard tak henti-hentinya uring-uringan dengan Lisa. Hancur sudah, semua rencana manis nan romantis yang ia rencanakan berhari-hari lamanya, dan tergantikan dengan sebuah bencana dalam sekejap mata. Pemuda itu begitu pusing, bukan masalah acaranya melamar Lisa gagal, namun perihal ia merasa sangat jahat karena tega membunuh istrinya sendiri. Ia takut, pada dirinya sendiri. Kenapa ia bisa berbuat senekat itu pada gadis yang sudah berbaik hati pada nya selama ini. Sesampainya di kediaman keluarga Bramastya. Allard memasuki Mansion nya dalam ke adaan kacau, raut wajah pucat pasi. "Hai kalian sudah pulang...bagaimana hm! Apa acara lamaranmu sukses All?," Tanya  sang Mama, sambil menyambut kedatangan mereka berdua di ruang tamu. "Batalkan semua acara pertemuan keluarga malam ini. Aku berubah pikiran," ucap Allard datar, sembari memijit pelipisnya. Sungguh ia sangat pusing, serasa kepala nya ingin meledak saat ini juga. Bayang-bayang wajah kesakitan istrinya, terus saja membayang di dalam otaknya. "Apa maksutmu ha...? Jangan berlaku seenakmu sendiri All," bentak lisa tak terima. Ia tak ingin itu terjadi. "Aku tak mau memikirkan tentang pernikahan bodoh itu lagi, kau tau fikiranku sangat kacau saat ini, jadi tolong mengertilah," sahut Allard semakin meninggikan suaranya. Sang Mama semakin bingung, sebenarnya apa yang terjadi?. Ia bertanya-tanya dalam hati. "Ada apa dengan kalian ini sebenarnya? Apa yang sedang terjadi?," Tanya wanita itu memastikan, namun tak ada jawaban. Seolah mereka berdua tak menganggap dirinya ada. Yang ada mereka berdua semakin melanjut kan uring-uringan. "Oh...aku tau kau masih memikirkan istri jalangmu itu bukan?," Sinis Lisa, merasa begitu emosi. "Berhenti menjelekkan Melisa, dia sudah tiada. Kau itu tidak waras atau bagaimana ha? Masih saja menghina nya juga," geram Allard, pada gadis di sampingnya ini. "Maka dari itu, karena dia sudah lenyap. Harusnya kau bahagia All! Karena tak ada lagi yang berani mengganggu hidup kita," teriak Lisa semakin menjadi. "Kau gila Lisa.... kau gila," ucap Allard frustasi. Tak habis fikir dengan isi otak gadis yang mengaku sebagai calon istrinya itu. Nyonya Mona, yang mulai menangkap arah pembicaraan mereka, terkesiap kaget. "A.. apa maksud mu dengan Melisa sudah tiada All? Jawab Mama All...jawab!" Wanita itu mengguncang tubuh sang putra, tak percaya dengan apa yang terjadi. Ia syok mendengar berita gila tersebut. "Aku melenyapkan Melisa dengan tanganku sendiri Ma.... hik...aku membunuh nya," isak Allard. Ia hancur, kenapa penyesalan selalu datang terlambat. "Tidak....katakan jika kau berbohong All.. kau bercanda kan? Aku memang membencinya. Tapi aku tak pernah memikirkan untuk melakukan hal sekeji itu All," marah Nyonya Mona. Sedang Lisa memilih acuh dan pergi entah kemana. Terlalu malas, melihat drama menyedihkan di dalam Mansion ini. "Aku sudah menyuruh bodyguard ku untuk mencari keberadaan Melisa. Tapi mereka tak menemukanya Ma, aku harus bagaimana? Apa yang harus aku lakukan?." Frustasi Allard, begitu panik. "Kenapa kau bisa segila ini All.... Melisa tak pernah berbuat salah, kita memang membencinya. Tapi tak harus melenyapkannya, ini sudah kelewatan All," wanita itu menangis sejadinya. Mereka benar-benar frustasi, bingung, kalut, marah menjadi satu. Allard sungguh menyesal, baru kali ini dia menjadi seorang pembunuh. Dan parahnya membunuh istrinya sendiri. Menambah kesan b******n di dalam dirinya semakin mendominasi. Penyesalan yang tak berpenghujung. Itulah yang di rasakan seorang Allard Bramastya. Ia merasa tersiksa karena rasa bersalah dan di hantui rasa penyesalan. Namun itu belum seberapa, karena permainan sesungguhnya masih akan dimulai.  Semakin hari keadaan kediaman keluarga Bramastya berubah menjadi bak siksa neraka. Keadaan di Mansion tersebut semakin kacau. Bagai mana tidak? jika Allard selalu bertengkar dengan Lisa,  setiap hari nya. menambah kesan Mansion itu terasa bagai neraka yang sesungguhnya. Tiada kedamaian sedikitpun di dalam nya. Tuan Richard, dia juga sudah mengetahui perihal dengan semua yang telah terjadi pada menantu kesayanganya.  Bagaimana tak tau? Kalau setiap hari yang Allard dan keluarganya bicarakan hanya tentang permasalahan pembunuhan Melisa. Di tambah ucapan mereka yang begitu menggelegar. Pastilah terdengar dari ruang kamar pria tersebut. Ya! Semenjak  Melisa tak ada lagi di Mansion itu, keseharian Tuan Richard hanya berada di dalam kamar, itu pun dengan pantauan suster pribadinya. Pria paruh baya itu, hanya bisa menangis dalam diam. Merutuki kebodohan putra gila nya. "Maafkan... Papa nak! Papa tak menyangka Allard bisa melakukan hal sebejat ini padamu. Aku telah gagal mendidiknya. Kau anak yang baik Mel,  semoga kau bahagia di atas sana nak!  Dan aku bersumpah, semoga hidup Allard  b******n itu menderita. Aku tak akan merestui hubungan nya dengan gadis iblis itu sampai kapan pun." Tuan Richard meremat seprey nya. Air mata tak henti mengalir di pipi tirusnya. Ia marah, kecewa,  bercampur jadi satu. Kenapa di saat seperti ini dia tak bisa berbuat apa-apa. Dan jangan lupakan semua ini di sebabkan oleh wanita ular a. k. .a Lisa. Dialah sumber dari kehancuran keluarga nya. Lain dengan Tuan Richard lain dengan Gilbert. Bocah itu terus menerus mencari, dan memanggil nama Melisa. Bahkan ia sampai mogok makan, jika bukan Melisa yang menyuapinya. Allard semakin bingung di buatnya. Hanya Melisa yang bisa menenang kan anak itu.  Sedang Lisa, jangan tanyakan dia, sudah tentu dia sama sekali tak peduli dengan anaknya. Kerjaanya hanya foya-foya bersama teman-temanya. Allard begitu muak dengan sifat gadis itu. Ia bertambah pusing, karena harus mendengar tangisan Gilbert di setiap waktu. "Daddy ...dimana Mommy Meli? Hik...aku mau Mommy Meli...., Dad...! Di mana dia?  Aku merindukanya hik....bawa aku bertemu dengan nya," Gilbert menangis pilu di pelukan sang Daddy. "Sayang... Dengarkan Daddy baik-baik, Mommy Meli, sedang ada perlu, besok dia pasti akan kembali pulang. Sekarang Gigi, berhenti menangis ok," bujuk sang Daddy, Allard memejamkan kedua matanya. Jujur hatinya begitu sesak sekedar mengucapkan kata-kata itu. Ia merasa sangat kejam karena memisahkan anak dan Ibunya. Namun semua sudah terlanjur. Ingin rasanya ia menyusul Melisa di alam sana, dan meminta maaf atas semua kesalahan yang pernah ia perbuat. "Daddy bohong, nyatanya besok dan besoknya lagi Mommy juga tak pernah pulang, kemana sebenarnya Mommy pergi Dad? Kenapa Mommy meninggalkan Gigi,  apa Mommy Meli, membenci Gigi? Karena Gigi, menjadi anak yang akal? Kalau begitu aku akan berjanji Dad, Gigi akan jadi anak yang baik, tapi bawa pulang Mommy sekarang juga Dad..!" Gilbert semakin meracau, bahkan nafasnya sudah sesak, suaranya mulai serak. Karena terus-menerus menangis dan bicara. Hati Allard semakin berdenyut sakit, ikut sesak mendengar racauan sang putra.  Bagai di hujam seribu pisau namun tak terlihat. Ia hanya bisa menangis sambil memeluk erat tubuh kurus sang putra. Sudah beberapa hari ini Allard tak masuk ke kantor, semenjak tragedi pahit yang ia lakukan. Katakan jika dirinya pengecut, berani berbuat namun tak berani mempertanggungjawabkan segala nya. Dia memilih diam, tanpa menyangkutan pihak berwajib. Ia takut, jika meminta bantuan mereka untuk menemukan mayat sang istri, maka kebusukannya akan terbungkar. Ia depresi, masa bodoh dengan perusahaanya. Penampilannya pun terbilang jauh dari kata sempurna, bahkan lebih mirip seperti zombi.  Rambut acak-acakan, baju kusut serta bulu-bulu janggut yang sudah mulai menumbuh tak terawat. Keseharianya hanya ia habiskan dengan menonton tv. Di temani sebotol miras dan rokok. Pandangan pemuda itu terlihat begitu kosong. Seakan TV yang berganti balik menontonya. Hingga sebuah berita berhasil mengembalikan kesadaran pemuda tersebut. "Pemirsa..... berita hari ini. Telah di temukan sosok mayat wanita di laut xxx.  Dengan ciri-ciri sebagai berikut........... " Allard sontak menjatuhkan puntung rokok yang terapit di antara dua jemari nya, memelototkan kedua bola matanya. Tubuhnya lemas seketika. Hidupnya hancur berkeping-keping. Tayangan di tv tadi jelas-jelas menunjukan ciri-ciri Melisa, dari mulai baju yang di pakainya. Dan aksesoris. Semua sama persis, namun sayang sekali wajah gadis itu sudah rusak tak berbentuk. Hingga tiada yang bisa mengenalinya. "Arrrrggghhhh..... "PRANGGG..... Allard membuang semua benda yang ada di mejanya. Katakanlah ia gila saat ini. Ia benar-benar menjadi b******n, pembunuh, manusia laknat yang dengan teganya melenyapkan istrinya sendiri. "Apa yang sedang kau lakukan All?,"  Teriak Lisa geram, saat memasuki ruangan tempat sang kekasih berada. Melihat botol, gelas dan lainnya sudah berserakan tak tentu arah.  "Semua ini gara-gara kau Lisa, istri ku tiada...," Bentak pemuda itu dengan mata memerah, ia hanya bisa menangis sambil menyandarkan tubuhnya di pinggiran sofa. "Ck....kenapa kau menyesalinya, bukankah kau sendiri yang ingin melenyapkanya.  Bahkan kau sendiri yang melakukan nya dengan kedua tangan mu. Bukankah seharusnya kita bahagia saat ini karena penghalang kita sudah mati. Jadi kita bisa menikah," ucap Lisa santai sambil bersandar di pundak pemuda tersebut. Allard semakin murka, ia mati-matian menahan emosi nya. Agar tak ikut membunuh gadis di sampingnya ini. "Aku tak akan pernah menikahi gadis gila seperti mu Lisa," bentak Allard lagi penuh penekanan, Lisa sampai terbelalak kaget. Baru kali ini ia melihat kilatan kemarahan di mata Allard. "A...All,... kenapa kau marah padaku? Bukankah ini yang kita harapkan selama ini?," Ucap Lisa dengan senyuman bodohnya, lebih terlihat seperti gadis psico. Hingga mereka tak menyadari, jika ada sepasang mata mungil tengah melihat dan mendengar ucapanya. Ya! Sosok itu adalah Gilbert. Ia tak sengaja mengintip pertengkaran kedua orang tuanya. Berlahan anak itu mundur dan berlari menuju kamarnya. Bersembunyi di pojokan kasur, seakan terlihat begitu ketakutan. Seraya menutup kedua telinganya menggunakan kedua telapak tangannya. Gilbert  begitu syok, mentalnya tertekan ia takut.  Ia tak percaya bahwa kedua orang tuanya sendiri yang telah membunuh sosok yang paling ia rindukan beberapa hari ini. Bocah itu meringsut di pojokan kamar tidurnya menutup telinga seolah ogah untuk mendengar ucapan siapapun. Ia tak percaya lagi dengan siapa-siapa di Mansion ini. Ia benci semua orang terlebih dengan kedua orang tuanya.  Sedang di dalam Mansion Fatony,  sekarang tengah terlihat begitu bahagia. Merayakan atas kesuksesan rencana pertama mereka. Siapa sosok yang tegah berbahagia itu kalau bukan Rammon dan Melisa. "Bagaimana hm..? Kau puas dengan rencana pemalsuan kematianmu?," Tanya Rammon dengan senyum evilnya. "Emm...aku sangat puas Ram....namun, aku ingin kau menyadap Mansion Bramastya,  agar aku bisa melihat setiap kehancuran di dalamnya," Melisa berseringai. "Itu pekerjaan mudah bagiku, semua bisa di atur," jawab Rammon santai, sambil menyesap sekaleng minuman di genggamannya. "Tapi Ram, bagaimana kabar Gilbert? Apa dia baik-baik saja? Anak itu pasti sangat menderita tanpa ku," lirih Melisa, bohong jika ia tak merindukan anak yang sudah dia anggap sebagi anak kandungnya itu. "Aku tau perasaan mu, tapi semua butuh pengorbanan Mel, kau mengerti kan apa maksud ku?," Tutur Rammon kemudian, dan di balas anggukan lesu oleh sang gadis. Di Mansion Bramastya. "Gilbert sayang,...makan ya nak, nanti kamu sakit jika tak mau makan," pinta Nyonya Mona, sambil menyodorkan sesendok makanan ke depan mulut bocah cilik yang terlihat acuh tersebut. Gilbert diam, bagai robot kehabisan baterai. Ia tak mau makan kalau bukan Melisa yang menyuapinya. Nyonya Mona semakin bingung, kenapa keluarganya jadi berantakan begini?. Bahkan dirinya sekarang tak bisa lagi berkumpul dengan teman-teman sosialitanya karena harus mengurus suami dan cucunya. Tak bisa merawat diri dan semacamnya lagi. "Lisa....cobalah kau bujuk putramu,  agar dia mau makan. Dia anakmu dimana sosok keibuanmu sebenarnya, kenapa kau tak peduli dengan putra mu sendiri?," jengah Nyonya Mona. "Astaga.....Ma....  aku sedang sibuk. Nanti kalau dia lapar, dia juga mau makan sendiri," malas Lisa. Dan berlalu pergi. Nyonya Mona, sudah bersumpah serapah, terbesit dalam otaknya, tiba-tiba ia mengingat kala Melisa harus menderita mengurus Gilbert seorang diri, bahkan juga harus mengurus suami, mertua dan pekerjaan rumah. Dan sekarang, ia sendiri bisa merasakan betapa menderita nya gadis itu semasa hidupnya. Bahkan gadis itu sedikitpun tak pernah mengeluh. Ia tak pernah menyadari jika pekerjaan yang di lakukan Melisa, seberat ini. Belum lagi, jika mendapat cacian dan siksaan darinya dan Allard. Tak terasa butiran bening sudah mengalir dari pelupuk matanya. Penyesalan memang selalu datang terakhir. Jika di fikir-fikir semua masalah berawal dari dirinya.  Di mana dia yang ingin sekali menjodohkan Allard dengan Lisa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN