10. Pemandangan Indah

1092 Kata
Dana tampak mengerutkan dahinya. Ia tidak menyangka jika Elya akan mempunyai pikiran seperti itu. “Siapa yang bilang kalau saya tidak mau?” tanya Dana dengan nada tegas. Berharap Elya peka maksudnya. Yaaa, meminta suapan langsung dari tangan Elya ; SAH-SAH saja ‘kan.. Dahulu sewaktu kecil bahkan mereka kerap berciuman, di pipi, sebagai tanda kasih sayang sesama saudara sepupu. “Terus ini? Kenapa dibalikin?” “Kamu nggak peka, Elya.” “Nggak peka?” “Suapin saya,” titah Dana dengan raut wajah muramnya karena Elya tidak kunjung peka. Pria itu malu dengan titahnya barusan pada Elya. Dasar gadis ajaib! Giliran diminta untuk peka saja tidak bisa. Di sini Elya justru mengulas senyum lebarnya, “makanya bilang yang jelas, dong!” Yang berhasil membuat Dana hanya bisa geleng-geleng kepala. Kotak bekal yang Dana serahkan pada gadis itu, diterima dengan senang hati. Tangannya langsung bergerak mengambil satu potong bolu. Lalu menyuapkan potongan tersebut kepada Dana. Ketika bolu masuk ke dalam mulutnya, sensasi kelezatan nyata terasa di sana. Lidah Dana memang tidak bisa berbohong soal rasa. Bolu pisang buatan Elya ini sangat enak! Lebih enak lagi tatkala Dana memakan bolu pisang tersebut dari suapan Elya dan diiringi senyum manis gadis itu. “Enak, Pak?” “Dua jempol untuk kamu, Elya.” Dana tersenyum lebar dan mengangkat dua jempolnya. “Asikkk!” “Kamu mau apa dari saya?” “Huh?” “Iya, kamu mau apa dari saya? Biasanya ‘kan—” “Maaf, Pak Dana. Saya bukan Elya yang kemarin-kemarin. Saya memberikan bolu pisang untuk Pak Dana, semata-mata hanya sekedar memberi. Saya ingin Pak Dana mencicipi mahakarya saya. Kalau begitu saya permisi.” Elya pun kembali meletakkan kotak bekal itu di atas meja Dana, kemudian melangkahkan kakinya keluar dari ruangan Dana yang tiba-tiba panas ini. Sedangkan di dalam ruangannya, Dana terdiam. Ia mengingat-ingat kembali kejadian saat dirinya mengomentari tentang sikap Elya selama ini. Astaga! Dana lupa belum meminta maaf. Tetapi Elya justru terlihat bodoamat dan memberinya bolu pisang spesial buatannya. Jujur, inilah kali pertama bagi Dana tahu jika Elya bisa bergelut di dapur. Dana pikir, Elya hanya bisa pergi ke Mall, dan tempat hiburan lainnya. Karena selama ini pun seperti itu seorang Elya Yonna Mehrunisa. Ada apakah gerangan? Mungkinkah sebentar lagi matahari tidak akan terbit menyinari bumi? :v *** Sepulang dari kantor, Dana bermaksud untuk mengajak pulang bersama. Akan tetapi sialnya pria itu kalah cepat dengan pergerakan Elya. Elya ternyata sudah lebih dulu pulang dengan memesan taxi online, mungkin bersama dengan Namira. Dana merasa ia harus meminta maaf pada Elya atas komentarnya kemarin tentang sikap Elya. Pria itu pun pada akhirnya menemukan alasan yang tepat untuk bertemu dengan Elya. Ia meminta salah seolah OB kantor untuk mencuci bersih kotak bekal milik Elya ini, karena sore ini juga..Dana akan menemui Elya. Ia akan mengajak Elya untuk makan malam bersama nanti malam di restoran mewah yang sudah Dana pesan juga. Semua sudah beres hanya dengan menelepon sang pemilik restoran. Tentu mereka sangat senang kedatangan Dana di sana. Mereka pasti memberikan pelayanan yang terbaiknya. Kotak bekal milik Elya pun bersih sehabis sang OB melaksanakan perintah Dana. Setelahnya Dana langsung meluncur ke kediaman Om dan Tantenya yang tak lain dan bukan merupakan orang tua Elya. Selama perjalanan, Dana kerap tersenyum-senyum sendiri. Ia membayangkan betapa indahnya pemandangan dimana Elya memasak di dapur. Tapi hanya bisa membayangkan, belum sampai terwujud secara langsung sepasang matanya menyaksikan pemandangan indah tersebut. Hingga mobil Dana memasuki pelataran luas kediaman Elya, Dana masih mengulas senyumnya. Ia pun seperti biasanya, selalu langsung dipersilahkan masuk oleh Mbok Dami. Betapa terkejutnya Dana tatkala Mbok Dami menuturkan bahwa Elya saat ini tengah memasak di dapur. Sampai-sampai kedua bola mata Dana melebar. “Mbok Dami serius!?” “Iya serius, Tuan. Mau langsung ke dapur saja?” Tanpa menjawab pertanyaan dari Si Mbok, Dana langsung bergegas menuju dapur rumah ini. Tentu Dana sudah hafal dengan setiap jengkal ruangan di rumah ini. Sesampainya di dapur, senyum Dana semakin lebar saja. Ternyata pemandangan indah yang sangat didambakannya benar-benar terpampang nyata di sana. Elya mengenakan daster rumahan dan tangannya tengah sibuk menumis..entah apa itu, Dana tidak fokus pada apa yang Elya masak. Ia hanya fokus melihat Elya dari samping. Rambutnya terikat menjadi satu sehingga mempertontonkan leher jenjangnya. Dana yang khilaf karena memandangi Elya tanpa berkedip pun lantas mengucap istighfar sangat lirih. Pria itu tidak mau mengganggu aksi memasak Elya. Menunggu Elya di tempatnya berdiri, Dana juga meminta Mbok Dami dan Mbak Atika untuk diam saja. Bersikap seolah Dana ini hanya pajangan. Sehingga tidak akan mengganggu setiap pergerakan Elya. Tanpa menyia-nyiakan momen ini, Dana langsung mengambil ponsel dari sakunya. Pria itu bermaksud mengabadikan momen dimana Elya tengah memasak ini. Sekaligus untuk menunjukkan pemandangan indah ini pada kedua orang tuanya, pasti mereka sangat senang melihat perubahan Elya. Bagi orang-orang di luaran sana mungkin ini merupakan hal yang biasa. Akan tetapi bagi keluarga besar Dana dan Elya, ini sungguh suatu keajaiban. Mungkinkah karena Elya hendak mematahkan komentar Dana tentang sikapnya? Jika IYA, Dana akan merasa sangat senang. Setidaknya karena kata-kata menyakitkan darinya, Elya termotivasi untuk bergerak menjadi pribadi yang lebih baik dari hari kemarin. Cekrekk!! Siial! Dana lupa mematikan suara potret pada ponselnya. Sehingga setelah Dana berhasil mengambil gambar Elya, gadis itu langsung menoleh pada sumber suara. Dana sesegera mungkin memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celana. Lumayan, mendapatkan satu potret Elya yang tengah memasak. Walaupun setelah ini mungkin Dana akan mendapatkan hadiah spesial berupa omelan-omelan pedas dari bibir sepupunya itu. Namun Dana tetap stay cool. "Sejak kapan Mas Dana berdiri di situ!? Terus barusan habis foto siapa? Aku!?" "Saya baru tiba, Elya. Habis foto pantry, soalnya Mama minta dikirimin foto pantrynya Tante." "Oh.." "Ekhm..masak apa?" "Udang saus tiram," jawab singkat Elya. Tetapi mendengar menu masakan itu, Dana bergidik ngeri. Karena pria itu ternyata alergi udang. Sayang sekali.. Padahal Dana ingin mencicipi masakan Elya. Seketika wajahnya mendung. Elya yang diam-diam melirik pun menyadari perubahan ekspresi dari wajah sang sepupu. Dengan mengulas senyum tipisnya. Kini giliran Elya yang bertanya, "Mas Dana sudah makan?" "Belum. Saya lapar, tapi kamu masak udang." "Oseng kangkung mau?" Melihat ada harapan lain, Dana seketika langsung mengangguk. "Mau. Kamu bisa!?" "Eh..bukan seperti itu maksud saya, Elya." Dana sadar atas pertanyaannya barusan yang spontan, pasti menyinggung perasaan Elya, lagi. Mengapa akhir-akhir ini Dana merasa setiap ucapan yang keluar dari bibirnya selalu menyinggung Elya? Benar-benar. Bibir Dana membawa petaka, sekaligus berkah! "Aku tau, kok, maksud Mas Dana." "Maafkan saya, Elya." "Mas Dana duduk manis, dan lihat gimana aku masak oseng kangkungnya. Tapi janji harus dimakan sampai habis!?" "Saya janji. Akan saya makan sampai habis, Elya.." ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN