LoD_17

1090 Kata
“Delisa dengan Pak Danar? Kamu gak salah liat, Ri?” aku bisa mendengar nada tidak percaya dari Mas Dimas, “Enggak, Mas. Well … awalnya aku juga ragu kalo itu Delisa, soalnya penampilannya berbeda jauh dari Delisa waktu ketemu sama dia di toko Mas Dimas, lebih apa, ya, ehm …” aku mencoba untuk mencari kalimat yang tepat mendeskripsikan penampilan Delisa. “Pokoknya terlihat lebih profesional gitu lah. Pakaiannya juga setelan blazer, terus pake sepatu high heels, kaca mata. Ala-ala wanita karir gitu, Mas.” Tidak terdengar ucapan apa pun di seberang sana, “Mas-Mas Dimas.” Aku mencoba memanggil Mas Dimas beberapa kali, “Mas, halo. Masih di situ, Mas?” dengan tergagap akhirnya Mas Dimas menjawab, “Iya, Ri. Masih di sini, kok.” Aku menunggu kelanjutan ucapan Mas Dimas, tapi dia hanya diam, “Ya udah, Mas. Teleponnya aku tutup dulu, ya. Masih banyak, nih, yang harus dikerjain.” Terus akhirnya aku yang berinisiatif untuk menutup telepon duluan, soalnya Mas Dimas seperti sedang melamun atau mungkin kepikiran mengenai informasi yang aku sampaikan tadi. Aku memilih untuk kembali fokus ke proyek Pak Danar. Beberapa saat kemudian, Kakak meneleponku, “Dek, ini kan aku udah mulai coba sebar link-nya yang kamu kasih itu, ke sepuluh temanku. Boleh minta bantu cek, gak, apa data-datanya udah masuk semua? Kalo udah masuk semua atau ada yang gak masuk, tolong aku dikabarin, ya. Makasih adekku yang cantik.” Aku hanya tersenyum dan menjawab, “Wokey. Aku cek dulu, ya. Nanti aku kabarin.” Dan telepon dimatikan. Sementara aku menunggu data diproses untuk ditarik ke excel, iseng, aku membuka story Whatsup-ku. Ada sesuatu yang menjadi perhatianku, Mas Dimas membuat story gedung yang kemarin kami datangi, apakah dia ada perlu ke sana? aku mencoba untuk menerka apa yang dia lakukan, tapi sedetik kemudian aku menutup mulutku, mengenyahkan kemungkinan yang terjadi, jangan-jangan Mas Dimas berniat untuk membuktikan ucapanku tadi di telepon. Bukannya apa, aku khawatir, Delisa justru tidak ingin diketahui keberadaannya di sana. Aku memukul kepalaku sendiri, “Bodoh! Harusnya gak usah dikasih tau ke Mas Dimas.” Gumamku sendiri. Jadi, karena aku gak mau disalahkan atau mencegah hal paling buruk dari scenario yang akan terjadi, aku menelepon Mas Dimas. Beberapa kali panggilan teleponku ditolaknya, jalan terakhir, aku mengirimkan pesan, “Mas, angkat teleponku, URGENT!” ketikku begitu, berharap Mas Dimas segera mengangkat teleponku. Satu menit, dua menit, aku mencoba menghubungi Mas Dimas kembali, dan pada detik terakhir sebelum telepon kembali terputus sambungannya, Mas Dimas mengangkat teleponku, “Apaan, sih, yang urgent?” sembur Mas Dimas kepadaku, “Ehm … anu, Mas. Gini, jadi …” belum juga selesai aku ngomong, dia udah kembali menyerobot perkataanku, “Buruan, deh, mau ngomong apa?” aku mendecak, kesal, “Makanya kalo orang mau ngomong itu, didengerin dulu. Jadi, kemarin itu, ketika aku ketemu sama Delisa dan Pak Danar di gedung itu, dia seperti memberi kode ke arahku, Delisa seperti ingin ngomong, kalo dia gak mau menunjukkan kalo aku dan dia saling kenal. Nah, aku juga berpikir, dia juga gak mau kalo Mas Dimas mengetahui keberadaannya di sana. Jadi saranku, kalo emang niat Mas Dimas mau minta penjelasan atau bertanya tentang hal itu, diurungkan saja. Karena mungkin, memang dia sengaja menyembunyikan identitasnya untuk alasan tertentu. Gitu, loh, Mas.” Penjelasanku yang panjang lebar hanya direspon, “Ooo … gitu.” Aku mencium ada sesuatu yang sudah terjadi, “Mas Dimas, jangan bilang kalo kamu …” Mas Dimas langsung menyahuti, “Iya. Aku udah direspsionis dan menanyakan keberadaan Delisa. Tapi kata resepsionis di sini, dia gak kenal sama yang namanya Delisa. Sebentar, aku menyingkir dulu dari sini.” Terdengar Mas Dimas mengucapkan terima kasih ke seseorang, yang aku duga adalah respsionis yang tadi ditanya sama Mas Dimas. Lalu dia kembali bicara di telepon, “Oke. Jadi, aku juga menduga, Delisa memang sengaja menyembunyikan identitasnya, entah untuk apa. aku malah jadi tambah bingung, sekarang, Ri.” Aku mencoba mendengarkan dengan seksama, apa yang mau diucapkan Mas Dimas, “Jadi sebenarnya Delisa ini, siapa? Aku khawatir dia ada rencana terselubung yang sedang dia kerjakan untuk mencelakaiku atau mengacak-acak Media Inc. perusahaanku.” Aku bisa mendengar Mas Dimas menghembuskan napas kasar, “Aku sudah percaya banget sama dia. Tidak ada orang yang berhasil membuatku mengajak perempuan manapun yang dekat denganku, ke dalam ruangan rahasia itu, kecuali dia. Gimana ini, Ri?” aku terbelalak, “Bucin banget, sih, kamu sama dia, Mas” Mas Dimas terdengar tertawa, garing, “Jangan ngeledekin aku, deh. Kasih solusi, donk.” Aku mengernyitkan dahi, “Solusi apa? masalahnya aja aku gak tau, ruangan yang lagi kamu omongin ini isinya apa? se-penting dan se-berharga apa seandainya apa yang ada di dalam ruangan itu sampai terekspos ke luar?” lagi-lagi, tidak terdengar jawaban apa pun dari seberang sana, aku menduga Mas Dimas masih berpikir apakah akan memberitahuku mengenai hal ini atau mungkin ruangan tersebut memang sebegitu rahasianya, sampai Mas Dimas hati-hati banget ngomong dan membahas mengenai ini. Tapi seandainya memang ruangan tersebut rahasia, kok bisa-bisanya dia ngebocorin dengan gampangnya ke Delisa. “Kapan kamu ada waktu?” tiba-tiba Mas Dimas menanyakan hal ini kepadaku. Aku mencoba menimbang-nimbang, seberapa urgent untuk ketemu sama Mas Dimas dan membahas hal ini, karena masih ada proyek Kakak yang harus aku beresin, “Aku belum tau kapan bisa keluar, Mas. Selain proyek Pak Danar, aku lagi ngerjain proyek punya kakaku. Mungkin minggu depan, Mas. Hari Rabu atau Kamis.” Terdengar Mas Dimas menarik napas panjang, “Gimana kalo Delisa beneran punya niat buruk sama aku atau perusahaanku. Masalahnya, perusahaan ini banyak pemegang sahamnya, kalo terjadi apa-apa, atau ada rahasia yang bocor, gak hanya tanggung jawab ke satu orang, tapi ke beberapa orang, dan itu …” aku menunggu ucapan Mas Dimas yang tiba-tiba terputus, karena dia terdiam, “Dan itu, apa, Mas?” dia menarik napas berat, “Dan kalo hal itu terjadi, bukan hanya perusahaan yang terancam tapi nyawaku juga Viko ikut terancam.” Aku membelalakkan mata, “Sebenarnya perusahaanmu itu, perusahaan apa, sih, Mas?” tidak berapa lama Mas Dimas menjawab, “Nanti kalo kita ketemu, aku ceritakan semuanya.” Aku menggelengkan kepala, “Gak usah. Aku gak mau ikut terseret sama urusan perusahaanmu, aku hanya ingin kerjasama kita untuk proyek Pak Danar ini berjalan lancar dana man. Setelah itu aku gak mau lagi ada hubungan sama kamu, Pak Danar, atau perusahaan manapun yang bisa mengancam keselamatanku. Aku bikin program-program begini tujuannya nyari duit, bukan nyari bahaya.” Mas Dimas tertawa, "Aku juga gak bakal menempatkan kamu dalam keadaan bahaya, Ri. Aku hanya ingin cerita ke kamu, sekedar meringankan beban pikiranku."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN