LoD_14

1176 Kata
Setelah menerima kartu akses ke ruangan yang misterius itu, aku, Mas Dimas, dan Mas Viko memutuskan untuk keluar dari gedung tersebut bersama-sama, “Kamu mau ke mana, Ri? Langsung pulang atau ada kerjaan lain. Kita makan dulu, yuk.” Ajak Mas Dimas. Aku menggelengkan kepala, “Aku langsung jalan aja, Mas. Habis ini harus ke sekolah-sekolah. Soalnya jadwal maintenance tiap bulan.” Mas Viko tertawa ke arahku, “Manusia unik, kamu ini, Ri. Gimana bisa, sih, kamu kepikiran jadi karyawan toko yang hanya jaga-jaga barang dagangan, sementara kamu sangat potensial dan bisa mengerjakan hal yang lebih besar.” Aku menatap Mas Viko, “Kalo Mas lahir di keluarga miskin, yatim piatu, hanya diurus oleh seorang tante yang sejak kecil menyayangi kami, dan kami hidup serba kekurangan, mendambakan gaji tetap setiap bulan rasanya bukan hal yang aneh.” Aku bisa melihat raut wajah Mas Viko yang berubah, “Sorry, Ri. Aku gak maksud apa-apa, sungguh. Hanya saja, ehm ... dengan kemampuan yang kamu tunjukan di dalam tadi, akan sangat disayangkan kalo talentamu tidak dipakai untuk menghasilkan uang yang lebih banyak.” Aku hanya menganggukkan kepala, “Gak apa-apa, Mas. Santai aja. Aku duluan, ya. Nanti kalo program dan coding untuk barcodenya udah selesai, aku langsung hubungi Mas-mas berdua.” Setelah berpamitan dengan mereka, langkah kami berpisah, karena arah untuk parkir motor dan parkir mobil memang terletak di lantai yang berbeda. Ketika sedang mengendarai motorku keluar dari parkiran, aku bisa melihat Delisa ikut keluar dari gedung yang sama denganku. Aku agak heran melihatnya, Delisa yang aku lihat ini berbeda penampilannya dengan waktu aku bertemu dengannya di toko Mas Dimas, kemarin. Delisa yang aku lihat ini berpenampilan seperti wanita kantoran, menggunakan setelan blazer dengan rok yang berwarna gelap. Memakai kacamata dan name tag yang tergantung di leher. Aku sengaja muter ke arah lobi pintu masuk, tempat Delisa berdiri yang sepertinya dia sedang menunggu jemputan, “Delisa, kan?” aku langsung bertanya ke dia, wajahnya menyiratkan keterkejutan, tapi kemudian dia menggeleng, “Maaf, siapa?” aku malah gentian heran sekarang, “Kamu, Delisa, kan? Pacarnya Mas Dimas? Aku Mariana, kita ketemu di toko Mas Dimas, kemarin.” Aku gak ngerti, kenapa sepertinya dia kurang nyaman bertemu denganku, “Salah orang sepertinya, ya. Saya bukan Delisa.” Lalu dari dalam, keluar Pak Danar, berjalan menuju ke arah Delisa, dan merangkulnya, sambil mencium leher Delisa yang jenjang, “Maaf, sayang, kelamaan nunggu, ya?” aku terkejut mendengar Pak Danar memanggil Delisa begitu.” Pak Danar yang baru menyadari keberadaanku, menyapaku, “Loh, Ri. Belum pulang?” aku tersenyum, sopan. Wajah Delisa menyiratkan sesuatu, seperti menggelengkan kepala, setelah beberapa detik kemudian aku sadar, kayaknya dia gak mau kalo Pak Danar tau aku dan dia kenal, jadi, tanpa menunggu lama, aku berpamitan ke mereka, “Mari, Pak, duluan.” Dan langsung melajukan motorku ke pintu keluar. Entah apa yang terjadi, aku seperti merasa ada yang disembunyikan Delisa, tapi aku juga gak mau tau. Jadi biarlah dia dengan ke-misterius-an dirinya, aku mau fokus aja ngerjain proyek ini. Menempuh waktu sekitar setengah jam, akhirnya aku sampai di sekolah yang pertama, begitu masuk gerbang, disambut sama satpam yang udah hapal sama aku, “Mbak Ri, ada guru baru, tuh. Jomlo, siapa tau, jodoh.” Aku hanya tersenyum sambil menanggapi, “Pak Parman bisa aja. Guru apa, Pak?” Pak Parman balas menjawab, “Guru olah raga, tinggi, besar, ganteng. Kalo Bapak ada anak gadis, pasti Bapak jodohin, deh.” Aku tertawa, “Jodohin sama istrinya aja, Pak. Biar dapet keturunan ganteng.” Si Bapak misuh-misuh, “Mbak Ri ini ada-ada aja.” Setelah berbasa-basi sebentar, “Yo weis, kelamaan ngobrol di sini, nanti malah buka lapak, sambil ngupi, kita. Kerjaanku gak beres-beres. Aku ke dalam dulu, Pak.” Maka aku berjalan menuju ke ruang guru yang disambut oleh Bu Armailis, “Mbak Ri ini, panjang umur. Tau aja kalo ada cowo ganteng.” Aku yang melihat Bu Armailis senyam-senyum gitu, jadi penasaran sama guru baru yang diomongin, “Pak Parman bilang ada guru baru, ganteng. Bu Armailis malah senyam-senyum gitu juga. Jadi senapsaran aku, mana sih, Pak Guru itu.” Tanyaku sama Bu Armailis. Dan dengan gesit dia langsung menuju ke meja yang ada di pojok ruangan, deretan paling belakang, “Itu. Namanya Pak Gilang. Kenalan, gih. Ibu, kalo masih gadis, pasti udah Ibu ajak pacaran tuh Bapak.” Aku geleng-geleng kepala, “Inget suami, Bu, di rumah.” Ketika sedang mengobrol sama Bu Armaili, tidak berapa lama, guru TU nyamperin aku, “Mbak Ri, ada guru baru. Minta tolong dimasukkan ke absensi, ya, namanya.” Aku mengangguk tanda mengerti, “Iya, nih, Bu. Dari depan aja aku udah dikasih tau sama Pak Satpam, sampe sini dipromosiin juga sama Bu Armailis, kan aku yang jomlo ini jiwa kesepiannya bergetar.” Dan tanpa disadari kami bertiga tertawa, “Wis to. Ngeledek mulu. Pak Gilang, ini yang mau daftarkan ke absensinya udah dateng.” Panggil Bu Armailis ke Pak Gilang, yang dipanggil langsung bangun berdiri, dan menghampiri kami, “Gimana Mbak, cara daftar ke mesin fingernya?” aku melihat sekilas ke arah guru muda yang jadi bulan-bulanan guru-guru ini, “Siapin KTP, nomor handphone, sama mahar lima puluh juta, Pak.” Bu Armailis menyenggol lenganku, “Itu mah bukan untuk daftar ke mesin finger, tapi untuk daftar jadi suamimu, buat ngelamar kamu.” Aku tersenyum, “Yah, namanya usaha, Bu. Maaf, ya, Pak. Saya becanda. Ikut saya ke mesin finger, ya.” lalu aku berpamitan sama Bu Armailis dan beberapa guru yang ada di situ untuk keluar dan menuju ke mesin finger, “Dipilih, Pak, jari apa yang mau dipakai untuk absen. Ditempel ke mesin sini, yang presisi, ya, posisinya harus tengah. Ditekan dan tahan selama sepuluh detik, sampai warnanya berubah hijau.” Guru baru itu langsung bergerak sesuai instruksiku, “Aku minta nama lengkapnya, Pak.” Dia menjawab, “GIlang Handoyo.” Aku bertanya lagi, “Guru mata pelajaran apa, Pak?” dan dengan lantang dia menjawab, “Olah raga, Mbak.” Setelah warna hijau muncul di mesin absensi, aku bilang ke Pak Gilang untuk melepaskan jarinya, “Oke. Udah selesai, Pak. Boleh diangkat jarinya. Saya minta data-data Bapak, ya, untuk disingkronkan ke database. Nomor handphone, tempat tanggal lahir, NIP, sama nama orang tua, ibu dan bapak. Nanti datanya dikirim ke nomor nol delapan dua tujuh empat tiga lima enam delapan.” Pak Gilang langsung mengeluarkan handphonenya, mengetikkan nomor yang tadi aku sebutkan. Dan tidak berapa lama, ada pesan masuk ke handphoneku, “Sudah aku terima datanya, Pak. Mulai nanti, pulang kerja, udah bisa mulai absen, ya, Pak.” Dia senyum ke arahku, “Ini nomor Mbak, ya? mbak siapa namanya?” dia bertanya namanku, “Mariana, bisa dipanggil Riana atau banyak juga yang memanggil saya Ri saja. Iya, itu nomor saya. Untuk urusan pekerjaan.” Lalu dia bertanya lagi kepadaku, "Kalo nomor selain nomor kerjaan, nomor yang mana, Mbak?" aku mengernyitkan dahi, "Ada, Pak. Nomor khusus keluarga." dan masih dengan senyumnya, "Kalo saya mau jadi keluarga Mbak Ri, gimana caranya?" Aku terkejut, "Bapak bisa aja becandanya. Mari, Pak." Dan tanpa basa basi aku langsung pergi dari situ.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN