LoD_19

2006 Kata
“Makasih, ya, Dek. Program yang kemaren kamu buat, mulai semalam udah aku share linknya. Tiga hari ke depan, tolong bantuin aku buat men-download datanya, ya. di program itu, bisa langsung terhitung, kan, ya, udah berapa kali email dan user name yang terdaftar klik web itu?” aku menganggukkan kepala, “Lalu, Dek. Nanti di web yang mereka klik itu, ketika isi form, bisa, gak, di halaman itu dimasukkin logo sponsor atau tulisan sponsor?” aku berpikir sebentar, kemudian menjawab pertanyaan Kakak dengan agak ragu, “Bisa, gak, ya. Aku coba, deh, ya. Emang udah masuk sponsor, Kak?” dengan senyum lebar “Udah, donk. Ada tiga brand besar yang udah deal dan ajak kerja sama Kakak.” Mataku berbinar, “Waaah, keren, ih. Makin tenar aja, kakakku ini.” Dia mengerlingkan matanya ke arahku, “Iya, donk. Kakaknya siapa dulu, nanti kamu aku kasih honor, ya. Buat bantuin aku benerin web, mantau link, sama tarik data dari web itu. Bisa, kan, Dek, bantuin? Kayaknya aku gak akan sempet deh, kalo ngerjain sendiri.” Aku manggut-manggut, “Iya, deh. Boleh. Asal cocok aja honornya.” Kakak menimpuk bantal yang ada di dekatnya ke arahku, “Kamu sama kakak sendiri perhitungan banget.” Aku tergelak, “Iya, lah. My time is money. No money no time for you, Kak.” Dia mencubit pipiku, hal yang paling aku benci, “Mata duitan banget, kamu, ya, Dek.” Aku yang gak terima dicubit gitu sama Kakak, membalas dengan mengacak-acak rambutnya, hal yang juga dia gak suka, “Adek! Jangan gitu, ah. Aku mau pergi keluar ini. Masa harus nyatok rambut lagi?” Kakak berdecak kesal, “Salah sendiri, siapa suruh nyubit pipi aku.” Di tengah keriuhan dan keributan yang kami perbuat, Tante datang menengahi kami, “Kalian ini, berantem kayak anak kecil gitu, sih. Berisik tauk. Ri, di depan ada temanmu, namanya Dimas, katanya. Temuin dulu.” Aku terkejut, “Dimas?” ketika aku sedang berpikir, dari mana Dimas tau rumahku, “Cie … udah punya pacar, nih, ye, sekarang.” Kakak malah ngeledekin aku. Karena masih kebingungan dan mencoba mencari beberapa kemungkinan alasan Dimas ke sini dan dari mana dia tau alamat rumahku, aku meninggalkan Kakak dan Tante yang terlihat sama bingungnya denganku dan terlihat saling berpandangan. “Mas Dimas, tau dari mana alamat rumahku?” pertanyaan itu adahal hal pertama yang terlontar ketika melihatnya, “Ada apa, ya, Mas? Kok sampe ke sini?” wajahnya terlihat kusut, “Nanti aku jelaskan. Yang pasti ini lebih bahaya daripada semua pertanyaanmu tadi.” Aku mengernyitkan dahi, “Ada apa, sih. Segitu bahayanya? Apa yang bahaya, kantormu dimasukin maling? Pacarmu diambil orang? Rekening bankmu diretas? Apa?” Mas Dimas melihat ke arahku, “Delisa itu anak buahnya Pak Danar. Bukan sekedar anak buah biasa. Ternyata Delisa merupakan pacar gelap Pak Danar.” Aku bingung dengan apa yang diucapkan Mas Dimas, terlihat dari wajahnya, ini bukan sekedar cemburu atau tidak suka dengan kabar yang baru saja dia ucapkan. “Lalu?” aku masih menunggu kelanjutan dari ucapan dan kabar yang baru saja Mas Dimas katakana, “Hei, Mas. Ini aku lagi nungguin kelanjutan ceritamu. Jadi apa lagi yang mau disampein ke aku? Terus, hubungannya Delisa pacar Pak Danar sama kedatanganmu ke rumahku, apa?” Mas Dimas terlihat sedang termenung, “Dahlah. Aku buatin minum dulu, mau makan, gak? Mungkin abis makan baru bisa cerita lagi.” Dia menganggukkan kepala, “Mau. Aku lapar, sejak kemarin pagi aku belum makan, terakhir makan cuma sarapan kopi sama sepotong pisang rebus.” Benar-benar ajaib manusia yang ada di depanku ini. Aku berjalan ke dalam, minggalkan Mas Dimas yang sepertinya masih butuh waktu untuk memroses semua kejadian yang dia alami. “Tan, aku mau ngajak temanku makan di sini, boleh, ya.” Tante Andriane menganggukkan kepalanya sambil tersenyum, “Boleh, donk. Masa calon mantu gak boleh makan di sini.” Aku cemberut, “Ih, Tante. Dia temenku, lagi dapet musibah, mergokin pacarnya selingkuh sama bapak-bapak yang ngasih kami proyek. Tuh, sekarang orangnya masih syok, sepertinya. Aku tanya dia hanya jawab sekenanya, terus ngelamun lagi.” Tante Andriane melongo, “Ya, ampun. Kasian banget. Berarti kamu bisa masuk, Dek, buat menenangkan dia, abis itu, kalian jadian, deh.” Tiba-tiba Kakak muncul dari belakang, aku menggeleng pasrah, “Tolonglah …” ucapku pasrah. Kakak mendekat ke arahku, “Maaf, ya. Aku becandanya keterlaluan. Udah, ajak temenmu masuk, biar Kakak bantui Tante buat siapin makan untuk temanmu yang kelaparan dan tampan itu.” Aku menganggukkan kepala, ketika menyadari sesuatu, “Jangan-jangan, Kakak, ya, yang suka sama Mas Dimas, NGAKU DEH!” ucapku sambil tertawa ngakak, diiringi tawa juga dari Tante, “Ih. Kok malah aku, sih, yang diledekin.” Lalu aku meninggalkan mereka berdua di ruang makan dan berjalan ke depan, manggil Mas Dimas untuk makan ke dalam, “Udah, belom ngelamunnya?” aku menoel pundak Mas Dimas, “Kenapa, ya, Delisa sampe begitu ke aku? Aku mencurigai sesuatu. Entah kenapa, feeling-ku bilang, kalo Pak Danar sengaja mengirim Delisa ke aku, untuk satu tujuan yang entah apa.” akhirnya aku memilih untuk duduk di sebelah Mas Dimas, “Menurut Mas Dimas, kemungkinan paling buruk apa yang akan terjadi?” dia menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan kasar, “Bisa aja semua pekerjaan dan proyek yang lagi aku kerjain, termasuk proyek dengan Pak Danar kemarin, dia sabotase, dia kasih ke Pak Danar, terus ide dan hasil kerjanya diakui sama mereka. Padahal proyek-proyek yang aku kerjain ini, gak boleh sampe ada pihak luar yang tau. Dan cerobohnya aku, percaya sama Delisa sampe ngasih dia akses ke ruangan itu.” Mas Dimas mengacak-acak rambutnya. “Ya ampun. Mas, kamu kok bisa percaya banget sih, sama Delisa. Emang kalian udah kenal berapa lama, sampe kamu bisa percaya gitu ke dia?” dengan wajah sayunya, dia menjawab, “Dua bulan, Ri.” Aku menonjok bahunya, “Bodohnya gak kira-kira. Dua bulan itu masih sebentar banget, orang nikah baru dua bulan itu aja tuh masih masa kenalan, kamu baru dua bulan kenal Delisa langsung ngasih semua.” Masih dengan muka sayunya, Mas Dimas bertanya ke aku, “Terus, sekarang aku harus gimana?” aku malah ikutan pusing mikirin gimana caranya mengantisipasi agar Delisa gak bisa masuk dan mengakses semua yang ada di ruangan tersembunyi di toko Mas Dimas, “Mereka yang masuk ke situ, dikasih kartu akses, kan? Nah, diganti aja, pintu dan pengamanannya, matikan kartu akses untuk Delisa. Tapi, jangan sampe ketauan sama dia. Sementara Mas Dimas mengganti pintu dan kartu aksesnya, Mas Dimas putusin hubungan Mas Dimas sama dia, cari ribut aja. Selingkuh mungkin atau cari alasan mau ke luar negeri, gitu, jadi gak bisa komunikasi dengan lancar. Atau Mas Dimas udah dijodohin, gitu sama orang tua Mas Dimas, atau apalah. Tapi yang pasti, Mas Dimas harus secepatnya mengganti dulu pintu dan kartu akses masuk.” Kemudian Mas Dimas mengambil handphonenya, “Vik. Semua orang hari ini di suruh libur aja dulu. Terus suruh mereka taruh semua kartu akses yang mereka punya. Ganti pintu dan kode di kartu akses masing-masing orang. Jangan nanya dulu, kerjain aja. Aku minta maksimal tiga hari, semua udah beres.” Entah apa reaksi Mas Viko ketika mendengar permintaan, well … perintah lebih tepatnya, dari kakaknya, yang pasti aku bisa mendengar Mas Dimas bilang, “Kalo gak bergerak sekarang, keburu lebih parah lagi. Kita gak tau, udah sedalam dan sebanyak apa informasi yang dikumpulkan dan bocor ke Delisa.” Dan Mas Dimas juga bilang ke Mas Viko, “Aku juga mau mencoba untuk menyelidiki lagi, orang-orang yang udah kerja sama kita itu, gak menutup kemungkinan mereka sama gak bisa dipercayanya dengan Delisa. Kabarin aku, kalo kamu udah mulai ngerjain pintu. Toko juga ditutup aja sampe tiga hari ke depan, liburin semua karyawan.” Setelah bilang begitu di telepon, Mas Dimas mengusap wajahnya, “Ini kesalahanku. Aku terlalu percaya sama Delisa, dia tau kelemahanku.” Aku diam, masih menunggu ucapan selanjutnya dari Mas Dimas, “Aku lemah kalo udah digoda perempuan dan Delisa melakukan itu. Di hari pertama kami kenalan, dia sudah menggodaku, dia rela nungguin aku lembur ngerjain proyek, dia juga gak pernah protes atau minta macam-macam, minta dibeliin ini, itu. Makan juga dia beberapa kali yang bayarin.” Aku masih mencoba untuk mendengarkan apa yang diucapkan Mas Dimas, biarkan dia menumpahkan semua uneg-unegnya, “Ah … mungkin karena dia memang gak butuh dibelanjain apa-apa, ya, soalnya dia kan udah punya penghasilan sendiri. Jadi orang dekat Pak Danar, gak mungkin, kan, dia kekurangan uang.” Aku mengangguk, “Terus, emangnya Mas Dimas gak aneh, Delisa mau nemenin Mas Dimas lembur, gak protes diajak kerja. Atau jangan-jangan, yang dia kasih ke Mas Dimas lebih dari sekedar perhatian, jangan-jangan …” Dengan bahu yang lemas, Mas Dimas mengangguk, “Kalo dugaanmu dia memberikan tubuhnya, iya. Kamu benar. Di hari ketiga kami kenal, dia sudah mengajakku nginep di rumahnya. Kebetulan saat ini aku lagi pusing banget, berada di bawah pengaruh minuman juga, jadi hilang kontrol.” Aku hanya bisa menggelengkan kepala, “Mas-Mas. Bisa-bisanya.” Dia melihat ke arahku, “Jangan benci aku, jangan jadi jauh dan gak mau kenal aku lagi.” Aku bergeming, “Wis, lah. Makan aja, yuk. Katanya tadi lapar, kan?” aku mengajak Mas Dimas masuk ke dalam, menuju ke meja makan, disambut Tante yang lagi megang handphone, “Lama banget, Ri. Keburu dingin itu makanan. Jangan sungkan, Dimas. Makan yang banyak.” Setelah ngomong gitu, Tante masuk ke kamarnya, mungkin tidak mau membuat Mas Dimas jadi rikuh dan sungkan. Aku menyendokkan nasi ke piringnya, lalu Mas Dimas dengan cekatan, lebih ke arah kelaparan, dia menyendokkan tumis cumi asin, ayam goreng, dan tumis kangkung ke piringnya, “Aku udah lama banget enggak makan masakan rumahan gini, Ri.” Dan dia menyantap makanan yang ada di depannya dengan lahap. Baru saja suapan ke tiga Mas Dimas makan, handphonenya kembali berdering, “Kenapa, Vik?” yang di seberang sana memberitahu, bahwa Delisa mencari Mas Dimas, “Ini, pacarmu ada di sini. Diusir gak mau, aku bilang kalo udah beberapa hari ini aku gak ketemu sama kamu, dia gak percaya.” Aku bisa mendengar ucapan Viko, meskipun suaranya pelan banget, tapi karena handphone di loud speaker jadi aku bisa mendengarnya. “Pokoknya jangan sampe dia tau kalo kita lagi mengganti pintu itu. Terus jangan kasih ke mana-mana akses pintu itu, selain kita berdua yang punya. Nanti kalo udah selesai, kita pake retina mata aja untuk absensi dan membuka pintu itu.” Mas Viko yang ada di sana hanya meng-iya-kan, “Terus ini, Delisa gimana? Mau diapain?” Mas Dimas melihat ke arahku, “Gak ada jalan lain, kamu harus nemuin dia. Kalo gak, dia gak bakal pergi dari situ dan rencanamu gak bakal berjalan sesuai rencana.” Dengan berat hati, aku bisa melihat Mas Dimas mengangguk, “Habis telepon ini kamu tutup, aku langsung telepon ke Delisa.” Setelah telepon ditutup, Mas Dimas menghubungi Delisa, “Aku lagi di luar kota. Mungkin besok baru pulang, nanti kita ketemu, ya.” suara Delisa yang manja, seperti dibuat-buat terdengar banget palsunya. Aku masih gak habis pikir, gimana ceritanya Mas Dimas bisa kehilangan akal hanya karena ditawari tubuh seorang perempuan yang baru dia kenal. “Aku sebenarnya udah gak mau berhubungan sama dia, berbahaya.” Aku menggelengkan kepala, “Aku justru berpikir sebaliknya. Mas Dimas justru harus lebih mendekati Delisa, untuk mengetahui sudah sejauh apa kebocoran info di tempat Mas yang dia curi, lalu mencari tau apa hubungan dia dengan Pak Danar, rahasia di ruanganmu, dan juga proyek yang akan kita kerjakan ini.” Terlihat Mas Dimas berulang kali mengusap wajahnya, “Kenapa jadi rumit begini, sih. Kerjaan yang harusnya beres, ini harus ditunda sampe tiga hari ke depan.” Aku hanya bisa membuat Mas Dimas tenang dengan bilang, “Ya, sudah. Berdoa saja, semoga Delisa belum melakukan apa pun, minimal belum se-parah itu dia mencuri data-data di tempat Mas.” Mas Dimas tersenyum sinis, “Berdoa? Tuhan mungkin udah lupa kalo punya hamba seperti aku. Udah lama, kayaknya, aku gak menghadap Tuhan.” Aku menatapnya, miris melihatnya dalam keadaan begini. Berbeda dengan Dimas yang aku lihat kemarin, bersemangat, lebih ceria.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN