Ketahuan

1336 Kata
 Entah apa yang akan aku lakukan sekarang. Belajar tidak, sekolah juga tidak, aku pusing sendiri jadinya. Seragam yang aku pakai  ku lepas kembali. Menganti dengan baju yang semalam aku pesan. Yah lumayan lah tak mengecewakan, dari pada harus memakai baju yang rasanya seperti berada dalam neraka. Gawai yang sempat tadi aku letakkan di meja belajar ku ambil mencoba menghubungi Rendra atau pun yang lainnya. Sekali dua kali sambungan terhubung rapi tak ada jawaban, bahkan chat ku tak ia balas padahal dia online. Ku lihat jam di gawaiku, sudah pukul sebelas, biasanya mereka sedang belajar, tapi ku coba  hubungi Restu yang sedang ada kelas kosong, tapi hasilnya tetap nihil.  Aku mencoba mengirimkan Restu  pesan berharap akan ada balasan darinya. Setelah pesan ku terkirim. Ku coba membunug waktu dengan mengerjakan tugas yang belum selesai.       Dertttt....      Dertttt....  Aku baru saja mengerjakan satu soal tapi gawai di samping buku bergetar.  "Iya Res!" Seruku.  Brukkkk Brukkk.. "b*****t lo!"  Suara riuh di sebrang sana membuat aku terkejut. "Res lo kenapa? Lo tawuran? Apa lo kelahai? Res jawab gue, Restu, lo masih disitu kan?" Seketika hatiku jadi tak karuan, dia memang bukan pacarku tapi ku anggap dia sebagai kakak ku. "Lo jadi kesekolah nggak?" Tanyanya. Bukannya menjawab dia malah balik bertanya, bahkan deru napasnya seperti baru saja berkelahi. "Lo jawab dulu, lo kelahi ma siapa? RES!"  "Lo nggak perlu tau,  gie cuman mau tau lo jadi kesekolah apa nggak?"  "Nggak, gue nggak bisa pergi."  "Bagus deh." Jawabnya. "Maksud lo apa Res, lo juga belum jawab pertanyaan gue." Brukkk... "Gue minta maaf, gue mohon jangan sampai Vina tau hal ini, lo bisa pukulin gue sesuka hati lo, tapi gue mohon, jangan sampe Vina tau." Itu suara Rendra. Mereka kenapa. "Res! Lo ada apa, Rendra kenapa, itu suara Rendra kan? Jawab gue Res. Res! Lo denger  kan?" Aku masih saja teriak. "Nanti gue hubungin lo lagi, ada urusan yang belum kelar." Jawabnya sebelum sambungan itu di akhiri. Aku khawatir bukan kepalang, hatiku sudah gelisah, apa yang terjadi ma mereka. Aku coba menghubungi Lola dan Neni, namun mereka sepertinya sedang sibuk, telponnya tidak aktif, WA nya pun hanya centeng satu abu-abu. Aku hanya bisa mondar mandir di kamar, harap, harap cemas apa yang terjadi antara Rendra dan Restu, tadi juga terdengar suara Bagas, aku yakin itu. "Apa jangan-jangan...." seketika aku menggeleng dengan pikiranku. Jangan sampi apa uang aku takutkan terjadi.  "Ya tuhan lindungi lah Rendra. Jagalah dia untukku." Aku hanya bisa berdoa, semoga Semuanya baik-baik saja. Aku sudah hampir sejam lebih hanya diam di kamar, bolak balik seperti setrikaan, namun gawai yang aku pegang tak sedikit pun bergetar.  "Ya tuhan, apa yang terjadi? Kalian kemana?"  Aku hanya bicara pada bayangan ku di depan cermin. Gawai ku tak sedikit pun ku lepas.  Aku sudah tidak bisa sabar menunggu, dengan niat dan hati yang kuat, ke kenakan kembali seragam ku, ku pesan taksi online dan menunggu sekitar setengah jam. Aku sudah panas dingin bahkan sampai taksi pesanan ku datang tak ada di antara mereka yang membalas bahkan menghubung ku, padahal Lola lima  belas menit yang lalu aktif begitu pun Neni, namun semua hanya di read doang. Dengan cepat aku keluar rumah panggilan wanita itu yang berda di bagasi tak aku hiraukan. Ini sudah pukul dua belas siang. Tapi apa boleh buat tak ada satu pun yang menghubungi ku.              Taksi yang aku tumpangi sudah membelah jalan raya, mungkin keberuntungan sedang memihak ku, jalan sepi dan tak ada kemacetan, jadi tak perlu menunggu lama, hanya lima belas menit aku sudah sampai di gerbang sekolah. Aku melihat kiri kanan sebelum turun dari taksi. Ku lihat gerbang terkunci. Aku mencoba peruntungan ku, memanggil penjaga sekolah yang sedang duduk di posnya.  "Pak." Panggilku cukup keras, namun mungkin karena riuh siswa siswi penjaga tak mendengar. "Pak, tolong buka pintu nya." Mohon ku. "Pakkkk!" Aku sudah kehabisan tenaga, tapi penjaga sekolah tetap juga tak dengar. Aku berdiri memegang besi gerbang itu, sampai salah satu siswa yang mengenali ku datang menghampiri. "Vina, ngapain kamu di luar?" Tanyanya, seketika aku mempuntai harapan. "Bisa bantuin gue buka gerbang nggak?" Tanya ku. Dia hanya mengangguk. "Tunggu bentar ya, gue panggil satpam dulu."  "Thanks ya." Ucap ku tulus. Siswa itu pun akhirnya pergi untuk memanggil penjaga, entah apa yang ia bicarakan cukup lama hingga aku lihat penjaga itu bangaun dari dusuknya dan berjalan ke arah ku. "Kenapa telat?" Tanya petugas itu sambil memutar kuncinya. "Ada masalah pak, maaf kali merepotkan." "Ya sudah masuk." Perintahnya. Aku oun dengan  segera mencari keberadaan para sahabat ku, tqk lupa aku ucapkan terimakasih pada siswa yang telah menolongku. "Sekali lagi  thanks ya." Dia hanya balas senyum.           Aku berlari ke gudang tempat kami biasa berkumpul, tak ada jejak bahkan semua sama seperti kemarin kami kunjungi. Karena tak menemukan mereka disana aku pergi ke lab, tapi hanya ada siswa siswi kelas IPA yang sedang melakukan pelajaran. Aku sudah lelah berlari sejak tadi, bingung juga harus mencari merwka dimana. Tapi aku tak putus asa mungkin saja mereka di kantin pikir ku, dengan napas yang sudah ngos-ngosan,  aku berlari ke kantin, namun hasilnya tetap nihil, apa mereka di perpus ya, aku masih tak ingin menyerah, penasaran apa yang sebenarnya terjadi. Dengan setengah berlari, aku mencoba menghubungi mereka.    Namun saat di perjalan keperpus, suara riuh di sebuah ruangan  menghentikan langkah ku, ku lihat nama di atas ruangan itu. "UKS." Batin ku. Perlahan ku dekati pintu itu. "Lo emang nggak tau diri Ndra, kurang apa sih sahabat gue Hah?" Itu suara Neni. "Lho emang nggak tau diuntung, harusnya ya, dulu gue nggak percaya sama lo, dan sekarang lo nyakitin sahabat gue untuk yang kedua kali."  Plakkkk Itu seperti suara tamparan, dan aku tau tadi itu suara Lola, apa mungkin Lola menampar seseorang. "Gue mohon, terserah lo mau apain gue, gue tau gue salah tapi gue mohon, jangan kasih tau Vina apa yang gue lakuain." Nggak salah lagi itu suara Rendra. Tanpa babibu lagi ku dorong pintu kayu berwarna putih itu. Betapa terkejutnya aku melihat wajah Rendra sidah babak belur, Bagas yang memeluk Neni dan Restu yang memeluk Lola, di brangkar sana ada Rendra yang sedang terbaring dengan seorang perempuan yang aku tau dia adalah sepupu Rendra. Mendengar pintu terbuka semua mata tertuju padaku. "VINA!" Seru mereka semua. "Katanya lo nggak ke sekolah?" Tanya Restu. Namun aku hanya melihat satu persatu mereka, pertanyaan Restu tak aku hiraukan  aku perlahan mendekati Rendra. Ku pegang wajah yang sudah membiru, dan bebebrapa lebam lainnya. "Kamu kenapa?" Lirih ku, air mata sudah tak dapat aku bendung lagi.  "Sayang." Jawabnya tak kalah pelan, tapi aku bukan orang bodoh yang tak tau apapun, aku menelisik setiak sisi wajahnya. Tanda itu. Aku pegang perlahan. Namun Rendra menahan tangan ku.  "Aku bisa jelasin yang." Ucapnya. "Alah nggak  usah sok lagi deh lo, kalo lo nggak bilang sekrang biar gue yang bilang, cowok b******n kayak lo nggak pantes dapetin hati Vina." Teriak Restu emosi.  "Ini nggak seperti yang kalian bayangin, ini salah pa.."  "Kita salah paham gitu, apa yang kita liat iti udah jelas Ndra, kita bukan anak kecil yang bisa lo kadalin seenak jidat lo." Tunjuk Bagas tak kalah emosi.  "Jangan bilang apa yang aku pikirin dan takutin bener Ndra?" Tanya ku lirih. "Aku bisa jelasin Yang, ini semua nggak.." "Aku nggak but8h penjelasan, aku cuman tanya bener nggak nya?"  "Aku... aku..." Plakkkkk Plakkkk Dua tamparan aku berikan padanya. "Sayang."  "Jangan pernah panggil aku sayang lagi, mulai sekarang kita udah nggak ada hubungan lagi, dan kamu.." Tunjuk ku pada wanita yang ada di sampingnya. "Mulai sekarang kamu bisa milikin Rendra sepuas hati kamu, seharusnya dulu kamu bilang jika kamu ingin dia, dan kamu Ndra." Ku melihatnya tajam. "Seharusnya kamu bilang jika kamu cuman mainin aku, dan apa yang selama ini kamu ucapin semuanya hanya omong kosong belaka, disni.. " aku tunjuk hatiku yang sudah perih, dan air mata yang sudah membasahi pipi. "Akan aku hapus semua cerita tentang kita, akan aku kubir perasaan yang selama ini aku tanam, dan akan ku bunuh setiap ingatan tentang  mu, bahkan hingga hatiku hancur tak berbentuk, tak akan pernah aku biarkan nama mu singgah disana lagi. AKU BENCI KAMU." Bisik ku tepat di telinganya. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN