Sakit, perih, sesak, kecewa seakan menyatu dalam hatiku bagaimana tidak? Aku di duakan untuk yang kedua kali, dan kini aku mengetahuinya sendiri. Tak pernah terpikirkan olehku sedikit pun, bahwa sakit yang dulu aku tanam sendiri, luka lama kini tergores kembali. Ya tuhan sakitnya itu melebihi sakit yang pertama. Cukup aku hanya bisa pasrah. Tapi sebelum aku pergi dari ruangan terkutuk ini aku membisikkan kata benci padanya. Dan aku berjanji tidak akan pernah membetikan kesempatan lagi untuknya.
Aku menahan setengah mati rasa sakit yang aku rasa, menjauh kali ini mungkin yang terbaik untuk ku, mungkin juga sekolah fi rumah bisa membantu ku untuk jauh darinya. Ke empat sahabatku mencoba untuk membuatku tenang namun, itu sama sekali tak membuat ku berubah. Aku memilih pergi dari sekolah meski mereka menahan ku, Rendra juga tak hentinya meminta maaf. Apa perduli, dia hanya bisa membuat ku sakit hati. Dan yahhh! Wanita sialan yang tak lain adalah wanita simpanan itu, dengan bangganya tersenyum karena bisa membuat ku sakit untuk yang kedua kali.
Aku berlari secepat yang aku bisa, Lola dan Neni juga ikut mengerjar ku. Panggilan mereka sama sekali tak aku hiraukan.
"Pakk, saya ijin pulang, saya nggak enak badan." Pintaku pada penjaga yang beberapa saat lalu membukakan pintu untukku.
"Lahh, tadi kalo nggak enak badan ngapain datang, mana dah telat lagi." Protesnya.
"Saya mohon pak, daripada saya harus pingsan disini." Ucap ku.
"Emang guru piket sudah tau belum, nanti kamu bohongin saya, jadinya saya yang di marahin membiarkan siswi bolos." Jawabnya.
"Astaga pak, saya beneran, semua guru sudah tau kalo saya sekol..." ucapan ku terhenti karena mereka semua datang menghampiri dengan napas yang ngos-ngosan.
"Say, lo mau kemana, kita mohon, lo jangan kayak gini, semua bisa kok di jelasin baik-baik. Dan lo juga jangan keliatan lemah kayak gini, kita mohon, ini bukan kayak Vina yang kita kenal." Ucap Lola memegang tangan ku.
"Gue butuh waktu guys, jadi please, biarin gue sendiri dulu, ini nggak gampang buat gue, gue mohon." Pintan ku memelas air mata sudah tak dapat aku bendung lagi.
"Lho jangan nangis Vin." Ucap Bagas sbil memgahapus kedua pipiku. "Air mata lo itu terlalu berharga, jadi gue mohon, lo harus kuat." Ia mencoba untuk memberika aku semangat, tapi tetap saja sakit ini nggak semudah itu. Aku melepaskan tangan Bagas yang telah berpindah ke bahu itu perlahan.
"Kalian cukup tau tentang perasaan gue, ini nggak mudah secepat membalikkan telapak tangan, gue mohon kasih gue waktu biat nenangin diri." Pinta ku.
"Tapi lo harus tetep ngabarin kita ya." Ucap Neni. Aku mengangguk sekali sebagai jawaban.
"Pak tolong buka gerbangnya." Pintaku pada penjaga yang hanya menkadi penonton setia sedari tadi.
"Ehhh beneren nih ya, kamu nggak bolos?" Tanyanya kembali.
"Enggak pak, orang tua saya juga sudah ijin kok, jadi nggak usah khawatir. "Ucap ku. Dengan ragu-ragu, penjaga sekolah iti membuka pintu. Masih dengan air mata yang membasahi pipi, aku berjalan ke keluar, sesekali aku menoleh kebelakang akueliht Lola dan Neni juga menangis. Mataku tettuju pada laki-laki yang berdiri tak jauh dari perkiran, disana ad Rendra dan w************n itu. Niatku semakin dalam untuk membuatnya hilang dari semua sisi hidup ku.
Aku menghentikan taksi yang lewat. Masuk dengan cepat dan taksi itupun mulaiembelah jalan. Di dalam sana aku hanya bisa nangis dan nangis. Qku benci pada dirirku yang lemah kayak gini. Aku mulai berpikir menyesal telah memberikan kesempatan kedua untuknya. Hanya gara-gara dia cinta pertama ku, hingga aku lupa bahawa aku hanya dijadikan bahan mainan.
"Dasar cowok kirang ajar, sialan, b******k, kau akan nyesel dah bikin aku kayak gini Ndra, aku bakalan bikin hidup kamu lebih parah dari aku." Umpat ku di dalam mobil. Rasa kesal ku padanya membuat aku terus saja mengumpat sampai tak terasa aku sudah berada di depan gerbang rumah ku.
"Aku dengan turin dati taksi itu tak lupa ku membgeluatkan uang berwarna biru satu lembar untuk membayar. Setelah transaksi selesai dan ucapan terimakasih. Aku pun masuk kedalam, karena gerbang tak di tutup membuat aku tak perlu repot-repot untik menekan bel. Baru saja aku di depan pintu masuk, sudah ada wanita iti yang sedang meminum teh, sebiah leptop di pangkuannya, dan hp yang bertandar di telinganya. Aku terus saja melangkah. Mungkin dia mendengar langakh sepatu ku, membuatnya menoleh.
"Kenapa? Sakit?" Tanyanya meledek. Ingin rasanya aku mencambak rambutnya yang tertutup kerudung itu dengan tangan ku.
"Kok nggak jawab?" Tanyanya kembali. Dia matikan benda pipih di telinganya itu, dan menutup laptopnya. Dia dekati aku dan berdiri di hadapanku.
"Mama dah bilang kan, dia itu nggak baik, dan selama ini, dia cuman nyakiton kamu aja, bener?" Tanyanya. Aku bingung dari mana dia tau yang terjadi padaku. Hongga aku pun menanyakannya.
"Dari mana kamu tau?" Tanyaku. Di hanya tersenyum.
"Mata bengkak kamu cukup kadi bukti." Ucapnya santai.
"Kalau aku bilang mata ku bengkak bukan karena seperti yang kamu pikirkan, bagaimana?" Tantang ku.
"Baiklah, mama akan tunjukan sesuatu yang membuat kamu semakin yakin tentang tuduhan mama waktu itu."
"Maksudnya." Dia hanya membawaku duduk di sampingnya, menyalakan laptop uang sesaat lalu ia tutup.
Mataku membola jika bisa saat itu mataku akan keluar dari sarangnya. Bagaimana tidak, wanita yang aku sebut mama ini memperlihatkan sebuah video Rendra dengam si jalang itu, di sebuah apartemen dan masuk dalam satu unit bersamaan, bahkan sebuah video di tempat terbuka sedang melakukan adegan tak layak, tepatnya aku tau itu,
"Itu seperi ruangan uji coba biologi." Lirih ku, karena sebuah kerangka manusia di belakang.
"Bener ini di sekolah." Ucapnya tanpa melihat ku.
Rasa sesak seolah merajai hatiku saat ini, aku coba untuk tak menangis tapi itu tak ada gunanya. Tanpa ijin ku air mata ku menetes begitu saja.
"Apa yang kamu tangisi?" Tanyanya.
"Kamu tangisin laki-laki seperti ini, tak bermoral sama sekali, bahkan dia selalu buat kamu membangkang." Lanjutnya lagi.
"Kamu terlalu berharga Vina, kamu bisa menjadi lebih baik dari ini, dan kamu panyas mendapatkana laki-laki terbaik yang bisa membimbing kamu ke jalan yang Allah ridho." Ceramahnya. Aku muak dengan semua ini. Tak mau dan tak sanggup menerima kenyataan. Aku berlari ke istana pulau kapuk ku menumpahkan semua sesak dan sakit.
"Ma! Sakit." Lirihku, aku memegang d**a ku, sakit bukan main ini lebih dari sakit yang awal.
"Kenapa semua terjadi padaku ma, apa salab aku? Aku hanya ingin bahagia.." lirihku. Ku tutup wajah ku dengan bantal, agar suara tangis ku tak terdengar. Beberapa kali gawai di saku ku bergetar, aku tak perduli. Alu sudah bosan dengan getarnya hingga aku matikan.
Setelah beberapa saat mulai tenang aku mulai berpikir untuk mencari hiburan. Yahh, aku butuh minum untuk menghilangkan rasa sakit ini. Dengan cepat ku pesan satu paket baju lengkap dengan tas juga hils nya. Semua baju ku entah di bawa kemana oleh wanita sialan yang berada di rumah ini, menggantinya denngan baju yang tertutup seolah aku akan mati besok saja.
Cukup menunggu setengah jam paket ku datang dengan cepat ke kenakan semuanya. Sebelum pergi ku lihat suasana rumah sepi, itu aman untuk ku. Dengan cepat aku keluar membawa mobil pribadi hadiah dari papa, karena aku tau dimana wanita sialan itu menyembunyikannya. Tak perlu untuk memanaskannya, ku tancap saja gas tanpa tunggu lama.
******
Kepalaku sudah berkeliaran bintang di atasnya, yahhh seperti minuman berbintang yang aku pesan. Entah sudah berapa gelas atau mungkin berapa botol wine yang aku habiskan, aki tak perduli, setidaknya ini bisa membuat masalah ku hilang sesaat.
"Mbak mau pulang? Rumahnya dimana, biar saya antar." Ucap salh satu bar tender.
"Aku... benci dia, aku nggak mau pulang.." racau ku.
"Tapi mbak, mbak sudah mabuk, sebaiknya mbak pulang saja." Ujarnya. Aku sudah tak sanggup untuk menjawab. Sampai kesadaran ku benar-benar hilang. Entah apa yang terjadi setelahnya aku tak tau.
Saat aku membuka mata, matahari sudah meranjak naik dan menyapa sekeliling ruangan yang aku tiduri.
"Ini kamar ku." Lirih ku. Kepalaku masih berat dan berdenyut aku berjalan tertatih ke kamar mandi, menyirami tubuhku agar sedikit segar. Setelah selesai, aku mengganti baju ku apa adanya. Perutku lapar, terasa perih, berniat untuk kedapur mencari sesuatu yang bisa mengganjal perutku. Tapi spertinya pintunya rusak. Aku mencoba beberapa kali membukanya tapi sepertinya di kunci.
"Apa jangan-jangan! Nggak!!" Teriak ku.