Tegas

1510 Kata
    Aku mulai membuka mata, ada sebuah sesuatu yang berat menindih tubuhku, ku buka perlahan mata ini, aroma yang selalu membuatku nyaman, deru napas yang hangat menerpa wajahku. Aku tersenyum sendiri, ternyata tubuh Rendra lah menjadi bantal tidurku. "Yang, bangun!" Seruku. Dia masih tak berkutik hanya erangan saja yang ia keluarkan. "Yang, bangun yuk, dah pagi siap-siap buat sekolah." Ujarku. Dia pun mulai membuka mata.  "Sayang."  Aku tersenyum mendengar kata pertama yang ia keluarkan. "Peluk." Pintanya. Dengan sepenuh hati aku menurutinya. Bebrapa saat kami saling berpelukan. Sampai aku mulai mengurai pelukan itu. "Masih kangen, bentar lagi ya." Pintanya lagi. Tapi aku menggeleng dengan cepat. "Ini dah pqgi yang, kita harus siap-siap buat kesekolah." Ujar ku. Dia mendesah sekali. Sebelum berkata. "Iya udah deh, tapi morning kiss dulu." Pintanya. Dasar dia banyak maunya. Tapi tak aku tolak.  Emmuucchhh.. Setelah aku memberikan morning kiss aku segera berlari ke kamar mandi. Namun tanganku segera di tahan olehnya. "Lagi!" Pintanya. "Nggak." Setelah aku menjawab ucapannya. Aku segera ke kamar mandi untuk bersiap. Setelah tiga puluh menit kami telah selesai bersiap. Sementara Rendra akan mengganti seragamnya di mobil, karena dia tak membawanya ke kamar. "Awas ada yang ketinggalan yang." Peringatnya. Aku pun memeriksa ulang perlengakapan sekolahku. Mulai dari buku tulis, paket, bolpoin, pensil dan yang lainnya. "Udah lengkap kok yang."  "Iya udah sekarang kita berangkat, kamu nggak usah bawa mobil, entar pulang aku anter seklian ma anak-anak juga."  "Emangnya mereka nggak jadi ambil mobil?" Tanyaku heran. Aku yang sedang di meja belajar pun Rendra dekati. "Nggak, tadi mereka dah WA kok, nggak jadi ambil mobil, sekalian entar ma pulang kerja tugas dari sini.  "Ohhhhh, iya udah berangkat gih, entar telat gara-gara macet lagi."  "Iya bawel!!" Ucapnya sambil mengelus rambutku yang aku gerai. Kami pun menuruni anak tangga, suasana rumah sama seperti biasanya. Hanya ada suara dentingan sendok di dapur. Mungkin mama Nova ada disana aku tak perduli. "Tunggu!" Suara yang tak salah lagi membuat kami berhenti. "Kamu!" Dia menunjuk ke arah Rendra. Kami yang sudah di ambang pintu mebalikkan badan. Sementara dia sedang berada di depan pintu ruang makan, sambil membawa segelas kopi. Dia mendekati kami setelah meletakkan cangkir yang ia bawa di meja. "Kamu dari mana? Dan kenapa sepagi ini sudah barada di rumah saya?" Tanyanya. Aku menggeser posisi Rendra membawanya ke belakang punggung ku, dia nginep disini semalam." Jawabku jujur.  "Lalu?" Tanyanya mencari kelanjutan kataku. "Apa?" Tanyaku kembali seolah-olah tak paham apa yang ia inginkan.   "Dia tidur dimana?"  "Di kamar aku." Jawabku jujr kembali. Seketika mata indah itu membola. "Apa-apaan kamu Vina! Kamu sudah hilang akal hah?" Marahnya. Mana aku perduli. "Kenapa emangnya? Ada yang salah?" Tanya ku menantang. "Kenapa? Ada yang salah kamu tanya? Yang kamu lakukan itu jelas-jelas sudah salah Vina. Kamu membawa laki-laki  tidur sekamar sementara kalian tak punya hubungan?"  "Kami pacaran dan itu lah hubungan kami, jadi jangan pernah bilang kami tak punya hubungan." Tegasku. "Kamu sudah melewati batas Vina."  "Kami tak melakukan apa pun tante, meskipun kami sekamar." Rendra pun membuka suara dan menjelaskan apa adanya. Mama Nova melirik tajam Rendra.  "Apa kamu tak tahu malu, tidur sekamar dengan perempuan yang belum kamu nikahi, ada atau pun tidak yang kamu lakukan, seharusnya kamu tau adab." Wanita itu memarahi Rendra. "Jangan pernah kamu tinggikan nada bicaramu nyonya Damar. Dia pacar ku."ku tunjuk Rendra yang masih berdiri di belakang. "Dan ini rumah papa ku. Jadi bukan cuman kamu yang berhak melakukan apa saja disini aku juga bisa melakukan apapun."  "Kamu sudah melewati batas Vina." Teriaknya. "Batas mana yang aku lewati hah?" Aku tak ingin kalah teriak dengannya. "Sudah cukup. Aku ingin sekilah sekarang dan jangan ajak aku berdebat mengerti."  "Vina!" Teriaknya. "Vina, kamu nggak bisa kayak gini." Ujarnya kembali. Dia menarik pergelangan tanganku yang ingin membuka pintu mobil. "Mulai hari ini kamu nggak boleh pergi dengan mobilmu ataupun dengan jemputan selain dari sopir pribadi." Perintahnya. "Auuuu, sakit!" Rintihku. "Lepasin tante." Perintah Rendra namun wanita ini tak menghiraukannya. "Saya bilang lepasin tante." Ulang Rendra kembali. "Pak siapkan mobil." Perintahnya pada sopir pribadi.  "Aku nggak mau berangkat dengan sopir, yang," teriakku. Wanita ini masih saja menyeretku untuk masuk. "Saya bilang lepasin Vina tante."  Ulang Rendra dengan tegas. "Kamu jangan pernah ikut campur utusan keluarga saya, dan kamu jangan pernah mengusik putri saya lagi." Ujarnya. Seketika aku di hempaskan ke dalam mobil yang sudah menyala. Tak perlu menunggu lama mobil yang aku tumpangi telah keluar dari gerbang. Aku tetus saja menggedor jendela.  "Pakk berhenti." Perintah ku namun sopir pribadi keluarga ini tak mau berhenti. Aku masih bisa melihat wanita itu masih berdebat dengan Rendra.  "Pakkk, saya bilang berhenti." "Maaf Non, tapi ini sudah menjadi tigas saya dan perinrah dari Nyonya Nova, jadi saya monta maaf tidak bosa menuruti perintah non." Jawabnya. Arrrrggggg  "Sialan!" Umpat ku. Aku mencari gawai milikku, berniat untuk menghubungi Rendra. Semua isi tas ku, ku luarkan namun gawai milikku tak ada. Ku coba ingat dimana aku menletakkannya semalam. Aku memukul keningku. "Ya tuhan." Lirihku. Ternyata handphone ku ada di samping meja belajar. "Rendra." Lirihku. Aku cukup beruntung jalan tak terlalu macet. Setelah aku sampai di sekolah dan mobil itu mengjilang di balik gerbang. Aku tqk langsung masuk. Ku tunggu Rendra sampai di sekolah, aku yakin dia pasti di belakang kami tadi, sekitar sepuluh menit mobilnya sudah tetlihat masuk halaman parkir, dengan cepat aku mendekat. "Yang!" Teriakku. Dia pun menoleh setelah mengunci mobilnya. "Kamu nggak papa kan?" Tanya ku khawatir. "Nggak papa kok." Jawabnya santai. "Dia bilang apa aja ma kamu? Dia marahin kamu? Atau dia nyakitin kamu? Jawab yang?" Tanyaku beruntun. "Gimana aku mau jawab sih." Dia memcubit pipi ku gemas. "Kamu tuh nyanya kayak kereta api, nggak ada remnya. Kalo nyanyak tih satu-satu."  "Abisnya kamu myampe lama banget." Ucapku sambil melanjutkan langkah. "Macet yang."  "Ya udah sekarang cerita dan jawab, dia apain kamu?" Tanya ku ulang. "Nggak di apa-apain yang. Sama kayak yang dulu, aku di suruh jauhin kamu." Jelasnya. Aku berhenti sejenak. "Terus amu mau giti jauhin aku." Diqpun ikut berhenti dan melihat ku. Dia memegang kedua pipiku dan berkata.  "Mana bisa aku jauhin kamu, aku nggak akan bisa hidup tanpa kamu yang, buat dapetin kamu aja itu butuh perjuangan, dan nggak semudah itu buat ninggalin kamu." Kata hangat iti seolah menjalar kedalam hati ku. "Aku percaya kamu." Jawabku sambim memegang ke dua tangannya yang masih setia di pipiku. "Iya udah kita ke gudang yuk, anak-anak pasti nungguin. Aku pun memgangguk setuju.  Pertemuan kami seperti biasa.  Bahkan sampai pulang sekolah. Saat di parkiran kami bertemu.  "Vin, gue langsung ke rumah lo ya, mobil gue di tanya bokap semalem." Ujar Restu.  "Iya udah nggak papa, sekalian aja sama kerja tugas." Usulku.  "Gue sih nggak masalah." Jawab Lola. "Gue ikut aja, entar gue kabarin yang di rumah pulang telat." Ujar Bagas. "Gue sih ngekor aja." Ucap Neni. Aku melihat sekeliling, namun sejak lima menit yang lalu Rendra tak terlihat.  "Rendra mana guys?" Tanyaku akhirnya. "Tau tuh, pacar lo layaknya sibuk banget deh, dari kemaren tuh ya, dia pegang hp mulu, kayak ada masalah gitu!"  Ucap Restu. "Perlu di selidiki tuh." Usul Lola. "Nah gue setuju kalau gitu." Ucap Restu antusias. "Nggak usah gegabah. Mendingan kita tanya dulu ma dia siapa tau dia bisa cerita, kalau kita selidiki diem-diem takutnya dia salah paham." Suara Bagas ang selalu menjadi penasehat. "Iya iya, nggqk jadi, ehhh tuh yang di omongin dateng!" Seru Restu sambil menunjuk Rendra yang berlari ke arah kami. "Kenapa telat Bro?" Tanya Restu.  "Gue ada acara bentar, dan nggak bisa kerjain bentar." Ucapnya ngos-ngosan. "Leher lo!" Seru Lola. Pandangan kami tertuju pada leher Rendra yang merah. Aku bukan orang bodoh yang tak tau itu bekas apa. "Ohhh ini, itu tadi.. emmm.." Rendra menjawab dengan terbatah. Aku yakin semalam aku tak mencium lehernya. Dan tadi pagi bekas iti tak ada. Aku coba menahan diri untuk tidak curiga.  "Ehhh Vin, lo ganas banget sih, sampai bekas lo keliatan kayak gini!" Seru Restu.  "Tapi gue.." aku cukup ragu untuk menjawab. "Nggak ini nggak seperti yang kalian pikir kok, tadi gue nggak sengaja kepentok pintu kelas, jadi warnanya kayak gini, sakit banget." Rintihnya. Kami semua diam. Aku yakin itu bukan bekas kepentok pintu tapi kissmark.  "Sakit! Pagi enak?" Canda Bagas. "Ehhh kita mau ambil mobil, sekalian kerja tugas, lo ikut kan?" Tanya Bagas, untuk mengurai kecurigaan kami. "Sekarang?" Tanya Rendra kembali. "Yaelah peak, masaj tahun depan!"  "Gue nggak bisa ikut." Jawabnya. "Kenapa?" Tanyaku akhirnya setelah hanya diam saja. "Aku ada acara yang ma mama, dan ini nggak bisa di tolak." Jawabnya. "So! Kerja kali ini tanpa lo gitu?" Tanya Neni. "Gini aja, entar kalo acara gue cepet kelar gue susul kalian gimana?" Kami saling lirik sebelum Bagas membuka suara. "Lo nggak lagi ada masalah atau nyimpen sesuatu dari kita kan?" Selidiknya. "Gue nggak papa kok guys, cuman beneran gue ada acara." Jelasnya lagi. Kqmi pun mencoba percaya dan obrolan kami di akhiri dengan menaiki kuda besi masing-masing. Hanya aku yang di jemput sopir pribadi. "Ahhhhh!! Ya salam punya mama tiri kok ribet banget sih" lirihku. Mobil pun mulai membelah jalan, sementara anak-anak mengikuti dari belakang. Aku masih curiga dengan Rendra apa ada yang di sembunyiin dari aku ya. "Ya tuhan tolong beri aku petunjuk." Batinku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN