Vina dan Nova

1293 Kata
"Vina!" Suara lirih itu terdengar sedih. Aku mendekat tepat di hadapannya.  "Kenapa? Ada yang salah, kami sudah biasa kayak gini, jadi cukup kamu menjadi penonton aja." Ujarku tegas. Dia hanya diam, aku melihat ada raut amarah di matanya namun apa urusanku.  "Ayo Gas, kita kebelakang, tugas dah numpuk." Ucapku menarik tangan Bagas yang mengambil botol minuman. "Vina, kamu nggak bisa kayak gini." Teriaknya, melihat ku yang berbalik menjauh. Ku hentikan langkahku. "Kalian duluan aja, gue mau nyelsaiin ini ma dia." Pintaku pada mereka.  "Bolelh nonton nggak sih Vin?" Tanya Restu cengengesan. "Kayaknya seru sih." Sambungnya lagi menaikkan kedua alisnya. "Serah kalian aja deh." Ujarku. Aku menatap mata itu, "Mama jangan ikut campur, dan soal ini aku juga sudah ijin papa, bukan?"  "Mama tau tapi bukan begini caranya."  "Lalu apa? Aku pulang talat marah, aku cari hiburan salah, dan aku keluar malam mama marah! Dan sekarang aku bawa teman-temanku ke rumah mama marah juga. Maumu apa hah?" Teriakku. "Mama nggk pernah larang kamu pulang telat jika kamu bisa kasih kabar, kamu nggak salah cari hiburan tapi cara kamu yang salah, dan mama senang kamu bawa teman-temanmu ke rumah buat tugas tapi bukan kayak gini Vin, minum kayak gitu di rumah, dengan pakaian yang kurang bakal kayak gitu, dan bukan muhrim, apa kamu sudah nggak ada rasa malu?" Ucapnya panjang lebar. "Kamu bilang rasa malu? Kamu pikir kamu punya rasa malu? Kamu menikah dengan duda 6ang sudah punya anak, apa yang kamu harapkan? Harta? Kekuasaan? Ingat, selama aku masih hidup, kamu nggak bakalan bisa dapetin apa yang kamu mau."  "Mam.." "Jangan pernah sebut dirimu mama, karena jika kau mau kakta iti tersemat dalam hidupmu, maka hargai keputusanku." Ucapku memotong perkataannya. "Keputusan yang mana Vin?" Teriaknya. "Dengan membawa minuman kayak gitu?" Tunjuknya pada pintu belakang, dimana ke lima sahabatku. "Iya kenapa, jadi mulai sekarang, jika kamu ingin di hargai, maka hargai semua keputusanku." Ucapku telak. Aku pun kembali ke halaman belakang. "Vina! Dengerin mama, ini salah." Teriaknya. Aku tak menggubris perkataannya. Aku segera kembali ke halamna belakang. *****??  Senja sudah tak tetlihat lagi, bintang sudah mulai nampak. "Kalian mau tetap disini atau kita pindah aja?" Tanyaku pada mereka yang masih sibuk dengan buku-buku di depannya. "Kayaknya disini lebih nyaman." Ucap Bagas. Kembali dia meneguk air dalam botol yang hanya tinggal setengah. Hanya tinggi satu botol yang masih utuh, sementara yang lainnya tandas. "Vin, nih kayaknya kurang deh," ucap Restu yang memperlihatkan satu botol yang masih utuh. "Kalian mau beli lagi?" Tanyaku. "Boelh deh, tapi kayaknya otak gue udah puyeng, mau minuman soda aja deh, nggak usah yang alkohol, takut gue nabrak entar pulang, kecuali kalau lo kasih gue nginep disini, satu kamar ma Lola, nggak papa sih, gie iklas." Ucapnya ngelantur. "Beli soda aja yang, soalnya masih banyak nih." Ini Rendra yang bersuara. Aku heran dia menghabiskan lebih satu botol, namun tqk terlihat mabuk sedikitpun.  "Iya deh, Nen, ikut gue yuk ke supermarket deket sini." Ajakku. "Iya bentar deh, gue selsain rumus ini dulu." Pintanya. Selang sepuluh menit Vina dan Neni sudah berada di supermarket. Meninggalkan ke empat remaja yang sibuk dengan tugas kelompok. Derttt  Derttt  Derttt  Getar gawai milik Rendra bergetar. Semua mata tertuju pada sang pemilik. "Kayaknya Vina nggk bisa jauh dari lo deh Ndra, barua aja pergi dah nelpon." Canda Restu. Sentara Lola curiga. "Kayaknya bukan Vina deh yang nelpon, tuh hpnya di meja." Sentaknya "Angkat Gih Ndra, siapa rau penting." Kata Bagas. Rendra mulai terlihat resah, ia tau siapa yang menelponnya. Ada rasa bimbang dalam hatinya, ia takut jika Vina mengetahuinya. Derttt  Derttt  Kembali gawai itu bergetar. "Ndra lo angkat gih, berisik tau." Keluh Restu yang sudah setengah sadar. Karena sudah beberapa kali ia merijek panggilan itu kini ia memberanikan diri untuk mengangkatnya. "Siapa  sih?" Tanya Lola. "Gue kesana dulu ya." Ijinnya. "Ehhhh." Lola menghentikan langkah Rendra dengan menahan pergelangan tangannya. Rendra pun membalikan badan. "Kenapa harus ngumpet?" Tanyanya penasaran. "Nggak ini bokap gue." Jawab Rendra. Karena tak puas dan merasa curiga, Lola kembali  bertanya. "Lho yakin bokap lo?"  "Lho kok curiga gitu ma gue?" Sentak Rendra. Merasa bersalah Lola pun melepaskan pegangan tangan itu. "Sorry, gue cuman nggak mau hubungan lo ancur ma Vina cuman gara-gara orang nggak jelas." Jelas Lola akan kekhawatirannya. "Jangan khawatir gue tau kok batasan gue." Rendra pun kembali menjauh dari kerumunan para sahabatnya. Ia kembali melihat siapa yang menelponnya. Ternyata benar nama wanita itulah yang terpampang disana. Tak perlu menunggu lama ia pun menekan ikon hijau. "Iya honey!" Lirihnya. "Aku kangen." Ada suara serak di sebrang sana. "Kamu kenapa honey?" Tanya nya khawatir. "Bantuin aku, aku hutuh kamu." Kata di sebrang sana. "Kamu dimana sekarang?"  "Aku di apartemen." "Aku kesana sekarang." Jawab Rendra tanpa ragu. Tanpa Rendra sadari ada Nova di belakangnya sedari tadi. Betapa terkejutnya Rendra saat membalikkan badan. "Tante!" Lirihnya. "Ternyata kamu bukan cuman membawa putriku ke jalan yang salah. Kamu juga selingkuhin dia kan?" Teriak Nova. "Tante ini salah paham, aku nggak pernah selingkuhin Vina, dan aku juga nggak pernah bawa Vina jadi lebih buruk."  "Tante nggak mau kamu berhubungan lagi dengan Vina." Tegasnya. "Tapi Tante aku sayang sama Vina, dan aku nggal akan ninggalin Vina kecuali Vina yang ninggalin aku." Tegas Rendra. "Kalau begitu, biar tante yang nyuruh Vina ninggalin kamu." Pertengakar itu terdengar sampai ke luar, dimana Vina baru saja sampai dengan kantong belanjaan. Mendengar keributan tanpa menghiraukan Neni yang membawa kantong plastik. "Tante nggak bisa gitu dong, aku nggak punya masalah apapun ma Vina, kenapa harus putus?" Tanya Rendra tak terima. "Karena kamu sudqh selingkuhin anak tante." "Siapa yang selingkuh?" Tanta Vina dari pintu. Semua orang mulai mendekat tak terkecuali Restu yang berjalan sempoyongan.  "Jawab aku, siapa yang selingkuh?" Tanya Vina kembali. "Dia." Tunjuk Nova. Semua mata tertuju pada Rendra. "Sayang!" Lirih Vina. Ia mendekat. "Jawab aku bahwa kata wanita itu salah."  "Itu nggak bener sayang, dia cuman nggak mau liat kita bahagia." Bantahnya. Mendengar pembantahannya Vina melirik Nova. "Kenapa sih kamu nggak pernah bisa diam sebentar saja dan jangan cari masalah sama aku."  "Mama nggak asal ngomong Vin, tadi mama denger dia bilang Honey, dan mama juga bisa denger bahwa suara tadi itu suara cewek. Tolong percaya sama mama vin." Pintanya. "Apa buktinya?" "Tante salah dengar, aku bukan bilang honey, tapi Hany, dia sepeupu ku dari mama, anaknya tante Mery saudara perempuan dari mama aku." Jelas Rendra. "Mama  yakin Vin, dia tadi bilang honey bukan Hany."  "Nggak sayang mama kamu salah denger." "Tolong percaya sama mama Vin, mama nggak bohong, mama cuman nggak mau kamu sakit hati." "STOPP!" teriak Vina "Sudah cukup berhenti, mama." Ucapnya ia melihat tajam wanita ada di depannya. "Aku mohon." Vina mengatupkan kedua tangannya. "Vina mohon, cukup cari masalah sama Vina, aku cuman mau tenang seperti dulu, bebas dan tanpa harus di bantah kayak gini, di atur tentang semua hal, Vina muak ma, Vina gerah." Teriaknya. "Tapi Vin, mama cuman nggak mau kamu sakot hati, mama pernah ngerasain hak kayak gitu." Peringatnya "Tapi kenyataanya Rendra nggak kayak gitu, Rendra sayang sama aku, cinta ma aku, dan selalu ada buat aku, bahkan di saat papa nggak perduli sama aku Rendra ada buat jadi sandaran aku. Jadi aku mohon mama cukup ngurusin kehidupan aku." Pintanya. "Mama cuman mau yang terbaik buat kamu."  "Tapu aku terkekang Ma, aku kayak burung dalam sangkar, aku ingin bebas seperti dulu, aku mohon." Pintanya. Nova hanya terdiam merenungi semua ucapan Vina. "Vina, mama sayang sama kamu." "Bohong." Teriaknya  "Semua ibu tiri itu jahat." "Kamu salah Vin, mama nggak kayak gitu." Nova memegang kedua bahu Vina. "Aku sayang sama anak tiriku dan aku anggap seperti anak kandung, dan akan aku berikan kasih sayang layaknya ibu kandung." Jelasnya. Vina menghempaskan kedua tangan Nova yang berada di bahunya. "Cukup, aku nggak perduli, aku mau kamu nggak usah urusin aku lagi." Pintanya. Lantas Vina pun kembali mengajak semua teman-temannya ke tempat dimana buku dan polpen menunggunya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN