MUSIK 17

1290 Kata
Cup! Sesuatu yang lembut menempel di bibirnya yang tipis. Hanya menempel, entah kenapa rasanya sangat manis dan hembusan napas di sekitar wajahnya semakin teratur. Vano langsung tersadar, dengan sigap ia mendorong tubuh Jingga. First kiss gue! Vano langsung mengambil tisu untuk mengelap bibir. Bukan karena bibir lembut Jingga membawa penyakit atau apa, tapi Vano merasa menjadi korban pelecehan. Jingga mengambil ciuman pertamanya. Yang selama ini ia jaga untuk seorang gadis yang nanti benar-benar dicintainya. Dan sekarang, Jingga mengacaukannya. Vano punya prinsip, ia hanya akan mencium seorang gadis seumur hidupnya, istrinya nanti. Sekarang hancur sudah prinsip itu. Perbuatan Jingga beberapa detik tadi, tidak lebih seperti jalang yang sedang berusaha menggodanya, tapi Vano juga tidak bisa menyalahkan gadis itu sepenuhnya. Ini karena efek permen dan juga salah Vano sendiri tidak menghindar. Ah, Jingga benar-benar merusak prinsipnya tentang ciuman pertama dan gadis yang Vano cintai nanti. Vano menenangkan dirinya, bertekad dalam hati bahwa yang barusan terjadi itu tidak ada. Bibirnya masih perawan dan Jingga tidak merebut first kiss-nya. Lalu ia melirik Jingga yang terlelap dengan napas teratur, seperti tak punya salah. Vano akhirnya mengambil selimut di kursi belakang. Selimut milik Mara yang selalu berada di mobilnya. Vano menyelimuti gadis itu supaya menutupi kancing seragam Jingga yang terbuka. Vano tidak mau merapikan seragam Jingga karena menurutnya itu tidak sopan, dan ia malas berurusan dengan gadis ini lagi. Tapi, bagaimana kalau Jingga masuk angin? Vano mengacak rambutnya. Ia tidak pernah sebingung ini menghadapi seorang gadis. Ragu, Vano mendekatkan tubuhnya untuk merapikan seragam Jingga, berbarengan dengan Jingga yang membuka matanya secara perlahan. “Ngapain lo?!!” Dengan sekuat tenaga Jingga mendorong Vano sampai cowok itu menabrak pintu mobil. Itu sakit. Jingga semakin histeris karena melihat tubuhnya yang tertutup selimut tetapi kemejanya berantakan. Dan ada Vano di sini! Dengan tenang, Vano menunjukkan layar ponselnya pada Jingga. “Lo makan ini?” “Kenapa emang?!” sewet Jingga. “Itu permen penambah libido.” “A-apa?” Mata Jingga langsung membulat. “Gue ngapain aja?!” Ia pernah membaca bahwa permen semacam itu bisa membuat pemakannya kehilangan kesadaran. Ia memakan permen seperti itu? “Kancing lo kebuka karena ulah lo sendiri,” jawab Vano seadanya. Ia tidak akan memberi tahu gadis ini kalau Jingga telah mencuri first kiss miliknya. Karena jika Jingga tahu, bisa dipastikan cewek rusuh itu besar kepala. Sialan.   ***   Jingga dan Bara berjalan di lorong rumah sakit sambil membawa beberapa makanan dan buah. Bara mengajak Jingga untuk menengok Mamanya yang harus dirawat di rumah sakit. Ketika sudah sampai di pintu kamar Mamanya Bara, terdengar ribut-ribut dari dalam. “Kita akan tetap bercerai, Seva. Keila ikut denganku! Dan Bara ikut denganmu! Aku hanya akan membawa anakku.” “Bara anakmu juga!” “Aku tidak menjamin! Intinya, kita bercerai!” Jingga yang mendengar kedua orang tua Bara cekcok, langsung melirik cowok itu yang memasang tatapan kosong. Pasti sakit sekali tidak dianggap anak. Bara menarik tangan Jingga pergi dan membiarkan makanan yang ia pegang tumpah di depan pintu ruang rawat. Genggamannya terasa menyakitkan di tangan Jingga, tapi gadis itu tak protes. Ia tahu pasti hati Bara begitu terguncang. Sampai akhirnya gadis itu meringis. Bara yang baru saja sadar sudah menyakiti Jingga, langsung menghentikan langkah. “Maafin gue, Jingga.” Jingga mengangguk. “Santai. Lo nggak pa-pa? Lo mau pulang atau…” “Gue butuh nenangin diri.” Bara berjalan meninggalkan Jingga. Gadis itu langsung mengejarnya, takut Bara kehilangan kendali. “Kenapa lo ngikutin gue?” tanya Bara. “Nggak ada yang mau nemenin anak haram macem gue, Jingga.” Mata Bara memerah, terlihat sekali bahwa hatinya terluka. Jingga mendekat dan langsung membawa tubuh bergetar itu untuk ia dekap.  Bara mencoba melepaskan, tetapi Jingga mengeratkan pelukannya. “Biarin kayak gini,” ucap Jingga pelan. Bara akhirnya luluh dan membalas pelukan Jingga. Ia memeluk tubuh gadis mungil itu, air matanya mulai jatuh. Hatinya sakit sekali. Jingga mengelus punggung Bara, mencoba menenangkan.  Setelah merasa cukup tenang, Bara melepaskan pelukannya. “Gue mau ke atap gedung.” Gadis itu mengangguk. Bara menggenggam tangan Jingga sehingga terasa sangat pas, lantas membawa gadis itu keluar dari area rumah sakit. Jingga membiarkan Bara menggenggam tangannya agar cowok itu merasa lebih kuat. Mereka akhirnya sampai di atas gedung, dan Bara sudah menghabiskan hampir sebungkus batang rokok. Jingga membenarkan kerah kemeja Bara lalu menyisir rambut klimis cowok itu menggunakan tangan mungilnya. “Kan kayak gini ganteng. Tadi gue serasa liat hantu di film Insidious,” katanya sambil terkekeh. Bara yang melihat senyuman Jingga merasa hatinya menghangat. Setidaknya untuk saat ini ia tidak sendiri. “Thanks, Jingga.” “Makasih mulu. Mending lo ikutin tradisi gue kalo lagi sedih.” “Tradisi?” Jingga mengangguk dan  dengan perlahan mendorong tubuh Bara supaya menghadap pemandangan kota Jakarta yang sudah dipenuhi lampu-lampu malam.  “Kalau gue lagi sedih, gue selalu teriak sekenceng-kencengnya dan lepasin beban.” Bara hanya mengerutkan kening, tapi kemudian ia berteriak. “Aaaaaa!!!!” Jingga terkekeh. “Boleh juga teriakan lo, tapi dengerin gue nih, ini contohnya: GUE NGGAK SEDIH! GUE NGGAK AKAN SEDIH LAGI! GUE BAKAL BAHAGIA! KARENA ADA JINGGA YANG KEREN DI SEBELAH GUEEEE!! Nah, kayak gitu.” Bara sudah tertawa kecil, Jingga senang melihatnya. Setidaknya ia sedikit membuat suasana hati Bara membaik. “Oke...” Bara mengambil napas, “GUE NGGAK SEDIH! GUE NGGAK AKAN SEDIH LAGI! GUE BAKAL BAHAGIA! KARENA ADA JINGGA YANG CUPU BANGET DI SEBELAH GUEEEE!! “ Jingga menepuk bahu Bara, tidak terima dihina. Lalu Bara kembali berteriak, “WALAUPUN CUPU, TAPI DIA BAIK! BAIK BANGET!!! THANKS, JINGGA!!!”  Gadis itu ikut berteriak, “SAMA-SAMA, BARA!! DAN LO JANGAN SEDIH LAGI! ADA GUE DI SINI!!” Jingga melirik Bara sambil tersenyum. Cowok berlesung pipit itu membalas senyum, kemudian ada suatu rasa asing yang membuat hati Bara lebih menghangat.   ***   Jingga baru saja mengisi perut di kantin, dan ternyata Vano sedang berdiri di depan pintu kelasnya lalu bertanya pada Jingga, “Lo udah belajar?” Jingga hanya mengangguk dengan ketus. “Rumus segitiga?” tanya Vano. “Huh?” “Iya. Apa rumus segitiga?” Jingga menggaruk kepala dengan kesal. “Oke, lo menang...” “Jam delapan malam gue ke rumah lo. Jangan tidur. Belajar duluan sebelum gue dateng.” “Lo kan ntar malam tampil.” “Gue cuma bawain dua lagu. Gue selesai sebelum jam delapan.” Vano mengangkat bahunya cuek dan entah mengapa Jingga seperti melihat cowok es itu sedang berbuat kesombongan. “Kenapa harus di rumah gue?!” sewot Jingga. Vano membawa wajahnya mendekat sehingga Jingga langsung mundur secara teratur. Datar namun jahat, Vano bercakap, “Karena kalau di rumah gue, lo bakal maen PS sama Mara. Otak oon lo bakal tambah oon. Dasar oon.” Sadis, Man! *** Vano melirik jam di tangannya, setengah sembilan! Vano telat setengah jam untuk mengajari Jingga. Ia kemudian melirik Dea yang sedang sibuk berbincang dengan MC. Vano benar-benar harus pergi. “Lo kenapa, Van?” tanya Luna. “Bukannya kita cuma bawain dua lagu? Ini udah lebih dari sepuluh.” Nada suara Vano benar-benar dingin. Ia ingin segera pergi. Luna mengangkat bahu. “Gue nggak tahu.” Vano akhirnya turun dari panggung hendak mengambil tasnya, tapi langkahnya terhenti ketika seorang wanita menghadang. “Ini waktunya dansa. Lah, kamu mau ke mana?” “Maaf, Bu. Waktu saya sudah selesai,” tolak Vano dengan sopan. Tetapi Ibu-ibu itu malah menarik tangan Vano agar tak bisa beranjak. Tubuh Vano didorong sampai berhadapan dengan Luna. “Maaf, tapi saya harus pulang.” Vano pamit dengan nada yang lagi-lagi dipaksakan sopan. Ia harus segera pergi dari tempat ini. Setelah bisa keluar, Vano langsung menjalankan mobilnya. Vano berpikir lagi, harusnya ia senang akan berdansa dengan Luna, gadis yang ia kagumi. Tapi entahlah, Vano hanya ingin cepat pergi untuk menepati janjinya. Vano paling tidak suka ingkar dan telat. Tapi kali ini, ia benar-benar telat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN