MUSIK 15

1872 Kata
Vano memakirkan mobilnya di garasi. Mungkin jika Mara pulang nanti, ia akan dihujani pertanyaan-pertanyaan kenapa ia pulang cepat. Tapi Vano tidak peduli. Melangkah menuju dapur, Vano menemukan sang Mama sedang mengaduk-aduk adonan kue sambil bernyanyi kecil. “Ma?” Akhirnya Vano memberanikan diri masuk ke dapur. “Ma, ada yang Vano mau omongin.” Aufa berucap, “Mama tahu. Tadi Leo udah chat. Mama bangga sama Vano.” Bangga? Mamanya bangga Vano dapat skors tiga hari? Vano sudah berdiri di hadapan Aufa dan wanita yang melahirkannya itu tampak gembira. “Leo bilang kamu sama Dion ikut olimpiade Matematika selama tiga hari, kan? Mama izinin, Papa juga seneng. Semangat ya, Sayang!” Astaga! Baru kali ini Vano menyesal karena sudah bercerita kepada para sahabatnya.   ***   Pangeran es kurbel : Ayo. Me : Apaan? Pangeran es kurbel : Bogor. Me : Hah? Pangeran es kurbel : Pergi ke sana.   Jingga menggaruk kepalanya karena tidak paham pada isi pesan Vano yang terlalu singkat dan tidak jelas. Entah Jingga yang bodoh atau Vano memang sengaja membuatnya susah.   Pangeran es kurbel : Gue di depan g**g. Bawa keperluan lo. Gue ikut ke rumah nenek lo.   Jika begini, Jingga paham. Apa salahnya dari awal Vano mengirim pesan seperti ini? Memang dasarnya Pangeran Es kurang belaian! Jingga mengomel sambil memasukkan beberapa baju serta keperluannya pada satu tas gendong. Untung saja kakinya sudah lumayan sembuh, sehingga Jingga bisa kembali berjalan dengan normal. Dari dalam taksi, Vano bisa melihat Jingga yang berjalan sedikit kesusahan dengan setelan urakan khasnya dan sebuah ransel. Dengan strong-nya, Jingga membuka bagasi sendirian dan menaruh tasnya di sana. Lalu Jingga membuka pintu, masuk untuk duduk di belakang dengan cengiran di bibirnya. “Morning, Ayang!” “Shut up,” kata Vano. Jingga terkekeh, menjaili Vano memang menyenangkan. Dasar ayang-ayangku...Uwoo....   ***   Rumah bertingkat minimalis yang begitu apik dan terawat. Itu yang pertama kali Vano lihat. Tak lupa pagar putih dari kayu yang mengelilingi dan ada danau di sebelahnya membuat begitu nyaman. Lalu pintu rumah neneknya terbuka, menampilkan seorang wanita yang sudah berumur tetapi terlihat masih modis. Jingga berlari untuk memeluk sang nenek dengan erat. “Nini, Jingga kangen!” “Si geulis, akhirnya datang. Eh, itu siapa meuni kasep pisan?” Seorang wanita berumur yang menggunakan rok putih selutut dan baju abu-abu berenda tersenyum ke arah Vano. Rambutnya yang disemir cokelat terang, dan wajahnya yang putih bersih sangat berbeda dari khayalan Vano tentang nenek Jingga. Apa tidak terlalu modis untuk seukuran nenek-nenek? Dan jangan lupakan juga wajah Sunda bangetnya itu. “Nama kamu siapa, kasep?” tanya Nini. Menyalami Nini, Vano menjawab, “Vano, Nek.” “Eleuh-eleuh, panggil Nini aja. Sok atuh masuk. Vano itu bebene Jingga, ya?” Lantas Vano melirik Jingga, meminta terjemahan. Matematika dan pelajaran lain mungkin dikuasai Vano, tapi tidak dengan bahasa Sunda. “Bebene alias pacar,” jawab Jingga. Vano mengangguk dan Nini menyuruhnya duduk di sofa. Vano disiapkan teh dingin dan juga keripik pisang. “Seadanya ya, kasep,” kata Nini. Vano langsung meminum teh itu sampai habis, menyalurkan kesegaran pada tenggorokannya yang kering. Perjalanan yang memakan waktu lama membuat Vano kehausan. “Nini sudah menyiapkan kamar di atas. Vano di kamar kanan, Jingga di kiri. Oke?” Wanita tua itu mengacungkan jempolnya. “Awas jangan mojok! Pamali!”   ***             Keluarga Vano punya villa di Puncak, sehingga Vano sering ke Bogor. Tetapi, mengunjungi pelosok Bogor sampai benar-benar jauh dari Jakarta, ini pertama kalinya. Tidak sesejuk Puncak, tapi rumah nenek Jingga masih asri, membuat Vano merasa nyaman untuk membaca n****+ atau belajar untuk Ujian Nasional. “Van, mau berenang di danau nggak?” Jingga berteriak tepat di hadapan Vano, dan cowok itu langsung menggeleng cepat. “Ayolah, Van. Minimal temenin!” Vano akhirnya mengangguk dan mengikuti ide bodoh dari gadis kembarannya Mpok Ati ini. Jingga langsung berjalan ke sisi danau sambil berteriak girang, sedangkan Vano mencoba tidak peduli dan fokus mengerjakan contoh-contoh soal. “Vano! Airnya dingin banget!” teriak Jingga seperti baru pertama kali menyentuh air. Jingga terus berenang seperti bocah sampai muncul ide jail di otak kecilnya. Ia akan pura-pura tenggelam, pasti sangat keren! “Van! Tolong!!” Jingga memulai aksinya, ia melambai-lambaikan kedua tangannya meminta bantuan. Vano hanya melirik sedikit, ia tahu kalau gadis bodoh itu sedang berakting. “Vano!! Gue tenggelem!!” “Nggak usah bercanda,” ketus Vano. “Vano!!!” Vano masih tidak peduli, namun gadis itu sudah berhenti berteriak. Kepalanya juga tidak muncul ke permukaan. “Jingga?” Tidak ada jawaban, membuat Vano menyimpan bukunya dan langsung berlari ke arah danau. “Jingga?” Masih hening. “Jingga, lo nggak mati, kan?” Lalu terdengar suara kekehan menyebalkan. Kepala Jingga muncul dan ia tertawa dengan kencang ketika melihat wajah Vano yang biasanya datar menjadi sangat jelek ketika panik. Vano langsung berbalik badan, mengambil bukunya lalu pergi dari danau. “Van, gue cuma bercanda. Jangan marah!” Jingga berteriak. Vano tidak peduli. “Van!” Jingga hendak naik ke permukaan, tapi s**l, kakinya yang masih sedikit sakit itu terpeleset dan kali ini Jingga panik. “Vano tolong!” “Terserah.” Vano tidak mau tertipu lagi. Ia berjalan menuju rumah, naik ke kamar karena ingin melanjutkan belajar. Suara Jingga masih terdengar berteriak, tetapi Vano tidak peduli. Lama-kelamaan suara itu mengecil dan tidak terdengar lagi. Teredam angin sore yang mulai beranjak malam. Vano berjalan menuju balkon, melihat ke arah danau dengan tangan yang sedang membuka-buka lembaran buku. “Yang kuat aja kepala lo pura-pura di air. Gue nggak akan ketipu,” sinis Vano sambil mengangkat bahunya cuek. Semenit, dua menit... Vano kembali melihat ke arah danau, untuk memastikan. Tapi, Vano merasa ada yang aneh. Air danau yang semula bening itu sudah keruh, dan sialnya menjadi tenang seolah memberi tahu Vano bahwa sekarang gadis itu benar-benar tenggelam. Secepat kilat, Vano melemparkan bukunya ke lantai lalu tanpa berpikir dua kali, ia langsung loncat dari balkon yang lumayan tinggi. Jika salah-salah mendarat, mungkin ada bagian dari tubuhnya yang akan patah. Namun, Vano tidak memperdulikan nyawanya sendiri. Setelah kakinya menapak pada tanah, ia langsung membawa langkahnya dengan cepat menuju danau. Vano menceburkan diri ke air supaya bisa membawa tubuh Jingga ke tepi. Jingga terbatuk setelah kepalanya keluar dari air. Paru-parunya seperti kebanjiran. “Lo maubikin gue mati ya, Van?!” “Suruh siapa awalnya bercanda! b**o!” Vano membentak, tidak main-main dengan hardikannya yang terdengar sangat kasar. “Kenapa lo malah ngatain gue?!” Kedua orang itu sekarang malah saling menyalangkan pandangan. Jingga berdiri, dengan berkacak pinggang padahal kakinya sudah bergetar hebat. “Kalau nggak ikhlas, nggak usah!” “Apanya yang nggak usah? Gara-gara tingkah stupid lo, gue sampai loncat dari balkon!” Jingga mengerjap, menatap Vano yang napasnya naik turun. Cowok es itu terlihat sangat kesal. “Lo loncat dari balkon? b**o, ya?! Gimana kalau badan lo remuk, Vano?!” Untuk yang pertama kalinya, Vano berteriak, “Kalau gue nggak loncat dan lo mati, gimana, Jingga?!” Hening. Vano hendak mengeluarkan kekesalannya lagi namun tubuh limbung Jingga malah membuatnya mendekap tubuh gadis itu. Vano langsung menggendong Jingga, membawanya naik ke kamar lalu membaringkan Jingga di tempat tidur. Entah sejak kapan gadis itu sudah pingsan. Tubuhnya terasa sangat dingin dan wajahnya memucat. Sebenarnya semenjak beradu argumen dengan Vano, Jingga sudah merasa tak kuat bernapas. Vano membungkukkan tubuhnya untuk mengukur suhu Jingga, bersamaan dengan gadis itu yang membuka mata. “Apa gue mati? Kok gue liat malaikat ganteng banget, ya?” Jingga mengketok-ketok kepalanya dengan mata yang terbuka lalu tertutup. Yakin Jingga baik-baik saja, Vano langsung menjauhkan dirinya dari gadis itu. Jingga masih mengigau, mungkin efek terkejut karena tadi tenggelam beneran. Lalu Vano merasa hidungnya gatal, bahkan sekarang ia sudah bersin-bersin. Jangan bilang bahwa Vano terserang flu? “Ganti baju lo, awas masuk angin.” Setelah mengatakan itu, Vano keluar dari kamar Jingga, turun ke dapur untuk membuat teh hangat. Bukan untuk Jingga, melainkan untuk dirinya sendiri. “Vano, kenapa kok bajunya basah?” Nini yang baru pulang dari pasar, terkejut melihat keadaan tamunya yang menyerupai kucing habis jatuh dari got. “Nolongin Jingga yang tenggelam di danau.” Wajah Nini langsung khawatir, ia menyentuh dahi Vano yang terasa lebih hangat. “Vano nggak pa-pa? Kalau Jingga, dia baik-baik juga?” “Jingga di kamar lagi istirahat,” jeda, “dan Vano cuma flu, Ni.” “Vano istirahat juga di kamar ya, tapi ganti pakaian dulu.” Vano pergi untuk naik ke kamar. Ia berganti pakaian di kamar mandi dan ketika kembali, Jingga sudah ada di kamarnya dengan ekspresi baik-baik saja padahal Vano yakin bahwa tadi Jingga pingsan dan terlihat lemah. “Lo nggak pa-pa, Van? Kata Nini, lo demam?” “Lo yang tenggelam lo yang nanya keadaan gue,” sindir Vano ketus. Cowok itu merasa tubuhnya kedinginan, ia naik saja ke atas tempat tidur lalu memakai selimut. Mencoba memejamkan mata dan tertidur. Tetapi matanya perih, ternyata Vano memang demam. “Mau dikompres, nggak?” tawar Jingga. “Nggak.” Dengan songong, Jingga menempelkan punggung tangannya pada dahi Vano. Ia mengangguk-anggukkan kepala, berlagak seperti dokter. “Kok menggigil?” Vano mengangguk tetapi dengan mata terpejam. Terdengar suara langkah yang meninggalkan kamar, tetapi tak lama ada suara langkah kaki lagi mendekat. “Masih kurang?” Jingga membungkus Vano dengan dua selimut sekaligus namun Vano yang masih menggigil. Mungkin karena air danaunya sangat dingin dan tubuh Vano belum terbiasa. Dengan cekatan, Jingga menutup jendela agar angin tidak masuk lalu duduk di sisi tempat tidur. Dengan ragu Jingga berkata, “Gue nggak bisa denger suara gemeletuk gigi lo yang berisik ini. Gimana kalo gue meluk lo supaya lebih hangat?” Vano langsung membuka matanya, kaget. Apa-apaan?! Jingga berdeham, “Gue cuma mau nolong, sih.” Vano menghela napasnya lalu sedikit mendekatkan tubuhnya pada Jingga. “Ini karena gue kedinginan.” Jingga mengangguk dan langsung mengambil posisi setengah tiduran. Vano mendekatkan tubuhnya perlahan sehingga Jingga bisa memeluknya. Tubuh Jingga sedikit miring untuk mempermudah, dan wajah mereka dekat sekali. Vano menutup kedua mata, mulai bernapas secara teratur. Sedangkan Jingga, merasa jantungnya akan meledak. Perasaan ambigu ini lagi! Tapi kenapa Jingga merasa heart attack jika di suasana tertentu saja? Contohnya sekarang. Tidak mungkin ini lapar, karena Jingga sudah makan. Lalu ini apa? Sekarang Jingga malah memikirkan apa yang tadi sudah Vano lakukan. Loncat dari balkon hanya untuk menyelamatkan kecerobohan yang ia buat dan Vano tidak memperdulikan keadaan tubuhnya sendiri? Bagaimana kalau misalnya tadi itu kaki Vano patah? Yang lebih parah, Jingga membayangkan jika malaikat maut merentangkan kedua tangannya, menyambut Vano di bawah. Jingga bergidik, tak mau membayangkan sesuatu yang menyeramkan itu. Dengan perlahan ia melirik wajah Vano yang tertidur dengan lelap, bagai bayi tampan yang menemukan kenyamanan. Ternyata, cowok es irit bicara ini gentle sekali. Jingga merasa bersalah karena selalu punya pikiran jahat bahwa; Vano itu payah, hanya cowok dengan wajah yang kebetulan sempurna, yang senang bersembunyi di balik nilai akademik dan musik saja tanpa punya kemampuan lain. Vano, tidak seperti itu. Vano, punya sesuatu dalam dirinya yang hanya bisa dilihat jika dipelajari dan dipahami secara perlahan, karena Vano tidak akan sembarangan menunjukkannya. Jingga merasa senang bisa mengetahui sisi lain dari seorang Tovano Malik Adiputra. Senyum Jingga merekah, merasakan sesuatu menggeletik dalam hatinya. Sesuatu yang mengikat, namun debarnya tidak sesak. Sesuatu yang sulit dirangkai oleh sebuah kata dan semesta pun tak memberikan jawabannya. Gue nggak tahu dari kapan, tapi kayaknya gue suka sama lo, Van. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN