TIGA

1016 Kata
Belum juga sepeda motor itu berhenti sempurna, tetapi sang penumpang sudah melompat turun dan buru-buru melepas helm dari kepalanya. Setelah menyerahkan pelindung kepala itu pada sang pengemudi yang berjaket hijau-hitam, perempuan itu melepas shower cap sekali pakai yang melapisi surai legamnya, mengangguk sopan lalu berlari ke arah cafe. Stef melirik pada jam tangannya. Sial. Terlambat 10 menit. Padahal, dia sudah berusaha untuk secepatnya menuju cafe sampai mengabaikan perutnya yang sudah berdemo akibat melewatkan makan siangnya. Dia terus berlari menuju pintu belakang cafe seraya melepaskan jaket yang melapisi tubuhnya. Kemeja hitamnya sudah kusut. Tak apa. Apron baristanya akan menutupi jejak yang terkesan kurang rapi itu. Kemejanya akan tertutup sempurna, sama seperti keberadaannya yang terus ditutupi. Setelah membuka pintu dan melangkah masuk, Stef segera menuju loker karyawan, meletakkan tas selempangnya ke dalam, dan mengikat rambutnya. Gegas saja tangannya meraih apron cokelat yang tergantung berjajar di sebelah loker. Masih sempat mematut diri barang sedetik di depan cermin, Stef tersenyum lalu kembali melangkah cepat ke arah counter. Dia harus melewati area kitchen untuk mencapai pos tempatnya bekerja. Tangannya terulur pada keran air yang terbuka di hadapan cook helper yang sedang mencuci sayur. “Eh, copot…copot…. Ampun deh Stef! Ngagetin aja,” seru Tiyo , memelotot ke arah Stef seraya meraih selada romaine yang tadi terlepas dari tangannya. Stef tertawa dan mengerling. Dia mengusapkan tangan yang basah ke wajahnya dan segera menyobek kitchen towel untuk mengeringkannya. “Jorok ih, Stef,” komentar Tiyo yang kini sudah kembali berfokus pada selada di tangannya. “Telat gue. Makasih, Bang!” Stef melesat ke arah pintu kayu dengan jendela berbentuk bulat yang ada ujung ruangan. Dia masih sempat menyapa kumpulan juru masak yang ada di sana. Sekalipun cafe ini tak terlalu besar, pemiliknya menerapkan standar yang cukup tinggi. Jenjang karier pada juru masak ini tak kalah dengan restoran berbintang di luar sana. Mungkin cuma Stef saja yang memang ditakdirkan terus menjadi barista di tempat ini. Perempuan dengan cepol asal itu mengembuskan napas dan mengendalikan diri sebelum mendorong pintu itu dan mengulas senyum lebar. “Selamat sore, Kakak Barista kece,” sapanya ceria pada Bang Andra yang sedang sibuk di depan mesin pembuat kopi, sedang menyiapkan order pelanggan. “Lo telat 15 menit, Stef. Pesanan banyak. Cepet kerja,” balas laki-laki dengan man-bun itu tanpa berbalik dan terus berfokus pada cangkir yang ada di genggamannya. Stef terkekeh lalu cepat memosisikan diri di samping Bang Andra, memeriksa catatan pesanan yang masuk. Untuk beberapa saat kami sibuk dengan ombak pesanan yang terus masuk. Percakapan mereka hanya berkisar soal kopi, teh, dan berbagai sirup yang tertata rapi di counter mereka bekerja. “Americano ice,” kata Stef menyerahkan segelas kopi hitam kepada pelayan. Dia mengembuskan napas dan melihat kertas-kertas order yang akhirnya raib dari counter di hadapannya. “Makin mantap aja lo! Lagak lo udah persis barista profesional.” Stef menoleh, menemukan seniornya sedang bersandar di meja counter, melipat kedua lengan di depan dadanya, dan tersenyum padanya. Sudah lebih dari seminggu Stef tidak bertemu dengan Andra. Laki-laki itu mendapat izin dari owner cafe untuk mengikuti kompetisi barista yang diadakan di negeri seberang. “Lo tinggal hampir dua minggu aja gue pinter gini. Kalau lo tinggal sebulan gue udah bisa bikin latte art kayaknya, Bang. Atau jadi saingan lo di kompetisi barista einternesyenel,” jawabnya centil. Laki-laki itu tergelak lalu mengacak puncak kepala Stef, membuat cepolannya yang kurang rapi menjadi makin berantakan. “Rese lo, Bang!” Andra kembali menyandarkan tubuh di meja counter. Masih menatap Stef yang kini sibuk merapikan rambutnya. “Mengingat lo mulai dari nol, bener-bener nggak ngerti apa-apa soal kopi sampe lo bisa segini itu udah luar biasa, Stef. Nggak kalah sama barista profesional, tapi yang pemula ya.” Bukannya senang, mata Stef malah menyipit. “Kalau gue udah sehebat itu, kudunya lo ajak gue ke Singapore kemarin itu. Nggak bakal rugi lo ajak gue jadi asisten. Itung-itung kan gue bisa belajar, sekalian plesir gitu, Bang.” Di akhir kalimat, cengiran lebar muncul di wajah Stef. Andra menatap jam yang tergantung di dinding, tepat di atas pintu kayu yang terhubung ke area kitchen. “Gue juga penginnya ngajak lo, tapi bos nggak kasih izin.” Stef tersenyum kecut. Dia sudah tak terkejut mendengar perkataan Andra barusan. Dirinya memang sudah terpasung di tempat ini. Tak bisa dengan bebas pergi, tetapi juga tak mungkin benar-benar nyaman untuk tinggal di sini. “Udahlah, Bang. Mending lo ajarin gue bikin latte art,” selorohnya dengan alis yang naik-turun. Andra terbahak lalu melirik mesin hitam di sudut counter yang mengeluarkan secarik kertas berisi pesanan. “Garap tuh, Stef.” Laki-laki itu mengedik ke arah mesin cetak itu. “Kalau salah…” Andra membuat gestur dengan telapak tangan yang digerakkan secara horisontal di depan lehernya, seakan mengancam Stef dengan gerakan seperti menggorok leher itu. Mengetahui maksud senior yang ingin menggodanya, Stef malah terkekeh. “Aye, aye, Captain!” Tangan Stef bergerak luwes, menyiapkan pesanan yang tertera di kertas kecil itu. Sembari bersenandung mengikuti musik yang menggema di seluruh ruangan cafe, Stef memusatkan fokus pada gelas-gelas kosong di hadapannya yang menunggu untuk diisi. Ketika Stef menyerahkan tiga gelas pada pelayan, suara Andra kembali terdengar. “Gue denger dari Pak Dadang, minggu lalu ada orang yang tiba-tiba nyerang lo?” Stef tak menghentikan kegiatannya mengelap meja counter di hadapannya. Dia tersenyum kecut dan mendengus perlahan. “Nggak penting buat dibahas, Mas.” Dia bahkan tak menatap Andra ketika menjawab. Tangan Stef melipat kembali lap kain yang baru digunakannya, menyembunyikan bagian yang basah di lipatan dalam. Setelah menaruh kain itu di atas counter, Stef tak menoleh pada Andra. Pandangannya justru menerawang jauh. “Lo ngapain sih, Stef? Gue nggak habis pikir ngapain bolak-balik rombongan preman absen ke sini nyariin lo? Mending kalau cowok yang nyari lo, ini preman lo, Stef! Lo ada utang pinjol ya?” “Enak aja! Nggak ya!” protes Stef seraya berkacak pinggang, menatap garang pada Andra yang masih bersidekap. “Sekalipun gue nggak punya duit, gua nggak ada tuh utang atau apaan.” Andra menatapnya dengan wajah tanpa ekspresi. “Terus, kenapa selalu lo yang dicari?” Stef menggeleng dan berkata dalam hati, sebaiknya lo nggak perlu tahu, Bang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN