DUA

1092 Kata
Mobil sedan merah itu berhenti bersama dengan puluhan mobil lain di tengah padatnya lalu lintas ibu kota. Suara penyiar radio dengan ceria mengingatkan bahwa tengah hari sudah tiba. “Cari makan dulu, Mas. Meeting masih jam 2 kan?” Satria yang duduk di belakang kemudi mengangguk pada laki-laki di sampingnya. Pandangan Satria terus tertuju pada kondisi jalan di hadapannya. “Ke cafe aja, Mas. Gue butuh kopi.” Barisan mobil itu perlahan melaju lagi, tetapi hanya beberapa detik karena lampu lalu lintas yang berada beberapa meter di depan mereka menyala merah. Satria memastikan mobil berhenti sempurna dengan menarik tuas rem tangan. “Mau nyobain cafe baru nggak? Deket sini.” Dari sudut matanya, Satria mengamati Cole –bos sekaligus teman mainnya ketika masih kecil dulu– menatapnya dengan tubuh yang menyerong menghadapnya. “Sejak kapan lo jadi tahu cafe baru, Mas? Wah! Kemajuan ini. Gue mesti lapor sama Om Herman. Beliau bakal senang dengar lo nggak ngerem di apartemen terus.” Terkekeh geli, Satria tak repot-repot menoleh pada Cole. “Kesannya gue laki-laki aneh gitu ya?” Cole menyeringai. “Om Herman tuh khawatir, Mas. Lo sih sukanya di rumah terus. Main agak jauh gitu kek? Atau nakal dikit kek? Lo terlalu diem sih, Mas. Gue yakin lo nggak pernah bawa cewek ke rumah kan?” “Sok tahu lo!” kata Satria lirih. Dia segera melajukan mobil kembali, lampu sudah berubah hijau. “Gue sempat jemput Gita dari cafe itu. Dia lagi rencanain acara perpisahan sama temen-temennya.” “Enak makanannya, Mas?” Satria bergumam, masih berfokus mengendarai mobil di tengah banyak pekerja yang sedang berusaha mencari makan siang sekaligus hiburan tipis-tipis di tengah hari yang terik ini. Dia hanya mengedikkan bahu. “Lo nggak nyoba makan, Mas? Ngopi?” Satu sudut bibir Satria terangkat. Senyum miringnya cukup menjawab pertanyaan Cole. “Awas sampe nggak enak. Lo yang bayar.” Tangan kiri Satria terangkat, menampilkan huruf O lewat telunjuk dan ibu jarinya yang membentuk lingkaran dan tiga jari lain yang terangkat. Untung saja Cole bukanlah tipe atasan yang suka asal memerintah dan hobi marah-marah. Perjalanan mereka yang memakan waktu cukup lama, akhirnya berakhir di tempat parkir cafe yang fasad luarnya dicat hitam. Beberapa kendaraan meninggalkan tempat parkir, karena memang jam istirahat makan siang –yang lazim di banyak kantor– hampir usai. Satria baru menyadari bahwa cafe itu bangunan luarnya dibuat seperti sebuah kastel. Sangat mewakili nama yang tercantum jelas di bagian depan cafe. Black Castle. “Turun, Mas. Laper gue.” Tak menunggu lagi, Cole membuka pintu mobil dan melangkah keluar. Dia bahkan langsung melangkah menuju pintu utama cafe. Seperti Cole yang tak acuh pada Satria, laki-laki yang baru keluar dari bangku pengemudi itu juga tak merasa harus terburu-buru mengikuti langkah sang atasan yang sepertinya memang kelaparan. Perlahan Satria menegakkan tubuh dan memandangi bangunan di hadapannya. Entah mengapa, mungkin karena rasa ingin tahu, dia merasa harus kembali. Ini aneh! Satria jarang merasa karena dia sangat terbiasa berpikir dalam hidupnya. Hidup dalam kesulitan sejak kecil sudah menempa dirinya untuk berpikir logis dan mencari jalan keluar dari masalah. Tak ada waktu untuk merasakan. Baper itu sesuatu yang tak pernah mampir dalam hidup Satria. Namun, perjumpaan dengan gadis itu beberapa hari yang lalu membuat hati Satria dipenuhi dengan rasa penasaran yang tidak bisa dia jelaskan dengan logika. Ada sesuatu yang mendorongnya untuk kembali, untuk –paling tidak– melihat gadis itu lagi. Ada sesuatu dalam dirinya yang menjadi magnet bagi Satria. Langkahnya sudah sampai di pintu utama cafe. Bel di atas pintu berbunyi sebagai penanda pintu yang terbuka. Seorang pelayan yang berdiri dekat pintu menyapa Satria. Matanya langsung menemukan Cole yang duduk di ujung, tepat di samping jendela. Ruangan cafe ini tampak terang karena beberapa jendela tinggi –yang ujung bawahnya hampir mencapai lantai dan lengkung atasnya hampir mencapai langit-langit– seperti yang ada di samping meja Cole. Namun, lampu-lampu kekuningan yang disusun di atas rangka berbentuk lingkaran, mirip dengan yang muncul di film-film abad pertengahan membuat suasana di dalam terasa hangat di tengah gempuran cahaya alami. Dinding bagian dalam cafe juga dicat gelap. Ada beberapa meja yang dibuat dari kayu dan di-finishing seperti kayu antik dengan beberapa bagian yang kasar. Di sekeliling meja itu terletak kursi yang berbentuk gentong. Di meja yang ditempati Cole, desain meja dan kursinya menonjolkan kayu yang memberi kesan klasik. Satria bersiul kagum. Konsep cafe ini benar-benar dipikirkan dengan baik. Konseptual tetapi juga dapat dinikmati dan nyaman. Karena sering menemani Cole dan Anna meninjau beberapa proyek calon klien, mereka menemukan tempat-tempat yang dibuat dengan konsep yang kuat tetapi tidak memikirkan kenyamanan pelanggan. “Pesen gih, Mas. Naga di perut gue udah demo nih,” komentar Cole yang sedang sibuk memindai buku menu. Tubuhnya sudah duduk manis, tetapi mata Satria berkeliling ruangan. Nihil. Gadis itu tidak tampak. Apa mungkin dia sedang bertugas di belakang? Atau sedang menikmati jatah istirahat? Seorang pelayan mendekati mereka dan menawarkan untuk mencatat pesanan. Mata Satria tak bisa fokus pada buku di hadapannya. Beberapa kali dia masih mencuri pandang ke arah counter tempat alat-alat perkopian diletakkan. Kali lain matanya menatap pintu yang sepertinya terhubung pada dapur cafe ini. Masih nihil. Tak ada tanda-tanda perempuan itu di sini. Memesan menu paling aman –nasi goreng dan es americano– Satria menutup buku menu, menyerahkannya pada si pelayan, dan kembali mengarahkan pandangan ke sekeliling ruangan. “Mana yang cantik, Mas?” tanya Cole tiba-tiba. Satria berdecak. “Kepo.” Tak menemukan yang dia cari, Satria memutuskan untuk mengeluarkan gawai dari saku celananya dan mulai memeriksa bahan meeting untuk siang ini. Segera saja dia tenggelam dalam data-data yang ada di dalam file yang dia buka. Telinganya masih menangkap pembicaraan Cole dengan seseorang melalui sambungan telepon. Belakangan ini Satria bisa lebih tenang mengetahui bahwa Cole kini berfokus pada satu perempuan. Dulu, dia harus selalu menebak perempuan mana yang sedang berinteraksi dengan atasannya itu. Satria tahu Cole bukan seorang yang gemar mempermainkan hati perempuan, tetapi sikapnya yang terlalu baik sering membuat banyak perempuan salah paham. Begitu mereka dekat, biasanya Cole –yang memang enggak menolak dan kurang tegas– membuat hubungan itu makin rumit. Para perempuan itu dengan seenaknya membuat Cole tidak bisa meninggalkan mereka dan sering kali memanfaatkan laki-laki berdompet tebal itu. Satria akhirnya bisa bernapas lega beberapa waktu terakhir karena dia sudah tahu perempuan mana yang mengambil banyak perhatian Cole dan membuatnya lebih tegas menghadapi barisan perempuan yang berambisi berada di sampingnya. Namun, Satria juga jadi sebal karena atasannya itu persis seperti ABG yang baru pertama jatuh cinta. Lebai! Beberapa menit lagi mereka akan bertemu dan atasannya itu sudah tak tahan untuk menghubungi perempuan pujaan hatinya. Benar-benar mengganggu!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN