TUJUH

1298 Kata
Matanya terus berpindah seiring dengan percakapan yang terjadi di ruang meeting yang ukurannya tak terlalu besar ini, masih cukup luas untuk enam orang. Satria duduk mengapit Cole, dengan Ana yang duduk di sisi lainnya. Mereka berhadapan dengan COO (chief operating officer) dari Grup Darmawan, perusahaan ekspor-impor tempat mereka berada saat ini. Savannah Darmawan didampingi oleh adiknya, Simon Darmawan, yang baru lulus dari University of Melbourne, salah satu universitas dengan sekolah bisnis terbaik di benua Australia. Di sebelahnya tentu saja sang sekretaris, yang tadi mengenalkan diri dengan nama Rita, juga sibuk mencatat pembicaraan mereka. Sekilas pandang saja, Satria bisa menebak bahwa Savannah Darmawan menduduki jabatannya bukan karena hubungan keluarga semata. Pembawaannya yang begitu tegas dan sangat percaya diri, menunjukkan kualitas perempuan alpha yang tak bisa dipungkiri. Cara bicaranya luwes tetapi tidak bertele-tele. Lihat saja setelah merah marun yang dia kenakan. Bukan. Ini bukan soal harga, walau Satria bisa menebak setelan itu mungkin lebih mahal dari gaji pokok bulanannya. Semua tampak begitu pas dan menegaskan bahwa perempuan ini yang memegang kendali harian perusahaan, layak untuk diberikan jabatan seperti yang diembannya. Selama satu jam ini, mereka sudah terus membicarakan rencana pelebaran gedung Darmawan. Selain menjadi pusat untuk program management program, keluarga Darmawan berencana untuk membuka sebuah galeri seni karena kecintaan sang pendiri –yang juga ayah dari Savannah dan Simon, Antoni Darmawan– pada seni dan keinginannya untuk mendukung seniman muda. “Bokap gue udah wanti-wanti, nggak boleh pakai konstruksi selain Suryadjaja. Apalagi setelah beliau tahu kalau gue kenal lo, Na,” kata Savannah yang menatap pada Ana. “Katanya sekalian aja desain arsitektur dan desain interiornya borongin ke Suryadjaja semua.” Pemuda yang duduk di hadapan Ana mengangguk, membenarkan perkataan sang kakak. Ana dan Cole ikut tersenyum. “Kami tidak akan menyia-nyiakan kepercayaan dari Grup Darmawan,” sahut Cole. “Papi saya sudah pesan supaya saya dan Ana yang langsung datang ke sini hari ini. Selain itu, Papi juga titip pesan, sudah lama nggak ketemu Om Antoni di golf course.” Savannah tertawa kecil lalu melirik pada adiknya. “Sepertinya Sabtu ini Papa akan main, berhubung caddie pribadinya udah balik.” Percakapan mereka terinterupsi oleh dering gawai Savannah. Perempuan itu meminta izin untuk keluar sejenak. Sementara percakapan Cole, Ana, dan Simon berlanjut, Satria memutuskan untuk memeriksa kembali catatannya dari pertemuan tadi. Kepalanya sibuk memindai kata demi kata di atas tablet, tetapi telinganya malah menangkap hal lain yang tidak seharusnya dia perhatikan. Sekalipun sudah berada di luar ruangan, ditambah dengan pintu yang tidak tertutup rapat, Satria dan sepertinya semua orang di ruangan itu bisa mendengar pembicaraan Savannah. Walau mereka semua bersikap seperti tak acuh, Satria yakin mereka seperti dirinya, menangkap kata demi kata dari mulut Savannah. “Gue nggak peduli ya, Ndra. Sampai ada komplain lagi, gue nggak akan sungkan untuk bertindak.” Suara tawa Simon mengisi hening yang berarti pihak di seberang yang sedang bicara. “Tugas lo memastikan perempuan sialan itu nggak berulah. Lo ngerti nggak sih? Nggak berulah artinya nggak ada komplain, keluhan, atau feedback dalam bentuk apa pun.” Cole dan Simon sudah asyik bicara tentang golf dan berjanji saling bertemu akhir pekan nanti. “Bilang sama dia. Gue udah baik hati ngasih dia tempat tinggal biar dia nggak jadi gelandangan. Sudah sepantasnya dia bersikap sesuai yang gue minta. Apa susahnya sih kerja baik-baik, diem-diem, nggak usah cari perhatian? Lo juga! Nggak usah sok belain dia. Tugas lo tuh ngawasin dia, memastikan dia nggak punya waktu buat sok kecentilan kayak cabe-cabean. Udah, gue sibuk! Kalau lo nggak bisa beresin, gue yang beresin.” Suara ketukan sepatu hak tinggi Savannah terdengar makin keras seiring dengan langkahnya kembali ke dalam ruang meeting. “Maaf ya, harus terinterupsi sebentar.” Dia duduk dengan anggun lalu menatap Cole dan Ana dengan ramah. “Jadi, kapan kami bisa melihat desain awal untuk Galeri Darmawan?” Dari sudut matanya, Satria bisa melihat Cole yang menatap Ana dengan senyum yang merekah. Repot memang kalau bos di kantor terlibat cinta lokasi. “Semua yang sudah kita bicarakan hari ini akan dibawa ke tim kami untuk dibahas dan dikerjakan gambar pra-rancangan dan kalkulasi anggaran. Saya akan memberi kabar segera setelah tim kami bertemu,” terang Ana yang memang selama ini langsung turun tangan dalam desain. Berbeda dengan Ana, Cole yang kini menjabat sebagai CEO Suryadjaja Konstruksi lebih banyak mengembangkan aspek bisnis dari perusahaan tempat Satria bekerja. Sedikit-banyak, Pak Benny –papi Cole, yang dulunya duduk di posisi Cole– mendorong sang putra untuk memahami seluk-beluk dunia konstruksi dan desain. Walau, tentu saja Cole akan selalu menyertakan Ana dalam berbagai pertemuan dengan klien. Cole dan Ana tak pernah akur. Selalu saja ada hal yang membuat mereka mengambil pihak berseberangan dan cekcok tentang hal-hal sepele. Entah sejak kapan mereka malah menjadi sepasang kekasih dan makin sulit dipisahkan. Mengakhiri pertemuan dan kemudian berpamitan, Satria sengaja masuk lebih dulu ke dalam lift yang akan mengantarkan mereka ke lantai dasar. Tak berdiam diri, dia menahan pintu besi dan menyilakan Cole, Ana, juga Savannah dan Simon –yang bersikeras mengantar mereka– untuk masuk ke dalam kotak besi itu. “Nggak pengin balik court, Sa?” tanya Ana dengan nada suara yang lebih santai. Savannah tersenyum dan menggeleng. “Nggak sempat lah, Na. Gile aje kerjaan nggak pernah kelas. Untung nih bocah nggak lama-lama di sono.” Dari pembicaraan di mobil, Satria tahu bahwa Ana dan Savannah adalah teman bermain tenis. Mereka belajar di sebuah lapangan tenis dengan pelatih yang sama sejak remaja. Perbedaan usia keduanya mungkin hanya satu atau dua tahun, menurut pengamatan Satria. Simon yang tadi ditunjuk oleh Savannah terkekeh. Dia hanya bersandar di dinding lift dengan kedua tangannya di dalam saku celana. “Sabtu ini beneran ya? Gue bilang sama Papi kalau Om Antoni dan lo bakal ke course.” Kini Cole yang bicara pada Simon. “Beres, Bang. Gue info ke Papa. Sabtu kan memang jadwal Papa main golf. Dan so far, Papa nggak info ada acara lain, jadi most likely kita ketemu di course ya.” Cole mengangguk, bertepatan dengan pintu lift yang terbuka di lantai dasar. Kembali Satria menahan pintu dan membiarkan empat orang lainnya melangkah lebih dulu. Setelah berpamitan, mereka melangkah keluar dari gedung tinggi itu. Cole langsung memeluk pinggang Ana dan membiarkan Satria mengikuti ke belakang. “Mas, gue di belakang ya,” kata Cole yang sudah membuka sendiri pintu belakang mobilnya. Dia menyilakan Ana untuk masuk lebih dulu, sebelum menyeringai pada Satria. Biasanya Cole akan duduk di kursi co-pilot, di samping Satria yang mengemudi. Namun, ada waktu di mana dia akan duduk di belakang, biasanya bersama Ana, seperti hari ini. Dan Satria akan disiksa dengan cekikik manja dan suara kecup dari bangku di belakang. Dia menghela napas panjang, lalu menyalakan mesin mobil. Penunjuk waktu di dashboard menunjukkan hampir pukul 3 sore. Memang tadi pertemuan mereka dimulai setelah makan siang. Perjalanan panjang mencapai kantor Suryadjaja akan memakan waktu hampir satu jam. Artinya, setelah ini Cole dan Ana pasti akan langsung pergi berdua. Sementara Satria? Dia tahu ke mana dia akan pergi. *** Kali ini, tidak membuang waktu, Satria langsung mengambil tempat duduk di depan bar, konter penyajian minuman. Ada beberapa kursi tinggi yang diletakkan di sana. Di balik konter, seorang barista laki-laki yang berambut cepak sedang menyiapkan minuman. Tak ada barista lain. Tetapi, hanya beberapa saat kemudian, barista dengan rambut man-bun keluar dari pintu kayu di belakang konter. Mengikuti di belakangnya, si barista yang sudah Satria ketahui namanya. Stef. “Pokoknya lo kudu ati-ati. Gue nggak tahu si bos dapat berita dari mana.” “Lo kudu bantuin gue, Bang,” sahut Stef lirih. “Kayak kagak tahu gue aja lo nih. Dah, sana kerja!” Stef berbalik dan pandangan mereka bersirobok. Senyum muncul di wajahnya. Dia berjalan mendekat ke arah Satria dan berhenti persis di hadapannya, terpisah oleh konter. “Selamat sore, Kak. Boleh saya catat pesanan Kakak atau nomor handphone Kakak?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN