Berusaha keras menahan agar sudut-sudut bibirnya tidak terangkat, Satria mengarahkan pandangan pada buku menu di hadapannya. Sebenarnya dia sudah tahu apa yang ingin dia pesan, tetapi dia juga tak ingin bersikap reaktif di hadapan barista yang terlihat … imut.
Hah! Imut!
Perempuan ini sama centilnya dengan Gita. Salah satu sifat yang membuat Satria sering geregetan pada sang adik. Suara yang cenderung tinggi dan melengking sering mendatangkan pening di kepalanya. Terlebih ketika Gita tak henti bicara di hadapannya, atau sedang merajuk dan meminta Satria untuk memenuhi keinginannya.
Anehnya, dia menemukan suara centil sang barista sebagai sesuatu yang mencerahkan harinya yang penuh keletihan. Ditambah dengan senyum lebar dan mata yang tanpa sadar sering mengedip itu.
“Surprise me,” kata Satria tanpa memutus tatapan mereka.
Wajah centil itu kini dihiasi oleh kerut-kerut di dahinya. “Ada menu baru? Kok saya nggak tahu ya?” Matanya bergerak cepat memeriksa daftar menu yang terpasang di konter bar itu.
Satria berusaha keras menahan tawa. Keputusannya tidak salah. Setelah sepanjang hari lelah bekerja, datang ke cafe ini membawa hiburan segar bagi kepala dan hatinya.
“Makanya, surprise me. Bikinin minuman yang nggak ada di menu tetapi ada di kepala kamu.” Satria menyandarkan punggung ke sandaran kursi tinggi tempatnya duduk. Kedua lengannya dia lipat di depan dadanya. Memberikan tanda bagi barista centil ini bahwa dia akan menunggu.
Kerut di dahi Stef makin dalam. “Kakak yakin?”
Mengangguk yakin, Satria kembali berkata, “Surprise me.”
Stef hanya mengangguk. Kemudian dia mulai sibuk di belakang konter bar itu. Tubuhnya bergerak ringan, seakan tanpa beban. Tangannya bergerak dengan cekatan, memasukkan bubuk kopi yang dia campur dengan bubuk berwarna cokelat ke dalam portafilter –bagian dari mesin espresso yang berbentuk mirip dengan kaca pembesar, tempat di mana bubuk kopi akan disaring menjadi kopi pekat.
Kecentilan Stef tiba-tiba luruh ketika tangannya bertemu dengan berbagai alat itu. Dia menekan bubuk di dalam kepala portafilter dengan tamper –alat yang bentuknya mirip stempel dan digunakan untuk menekan bubuk kopi hingga memenuhi tempatnya dan siap untuk diproses. Tak butuh lama untuk Stef memasang portafilter pada grouphead, bagian mesin yang akan memproses dan menyaring bubuk menjadi cairan kopi pekat.
Mesin itu mulai bekerja dan cangkir yang berada di drip tray –persis di tempat kopi mulai mengalir– perlahan terisi. Selain wangi kopi, penciuman Satria menangkap aroma berbeda. Manis. Bukan manis sirup atau gula, tetapi manis rempah.
Setelah meletakkan cangkir pada piring tapak, Stef membawanya ke hadapan Satria.
“Try,” katanya dengan nada centil dan kerlingan yang hampir tak kentara.
Satria mengulum senyum, dan memfokuskan pandangan pada cangkir yang tersaji di hadapannya. Uap yang naik kembali membawa aroma itu, makin kuat dan makin menggoda.
“Kalau aku nggak suka, gimana?” tanyanya dengan jemari yang perlahan meraih kuping cangkir.
Stef bergeming, seakan tidak takut pada pertanyaan Satria yang bernada penuh konsekuensi itu.
“Kalau suka, gimana? Aku dikasih apa?” tanyanya masih dengan suara centil tetapi sarat keberanian dan keyakinan.
Satria menyipitkan mata dan terdiam sejenak ketika cangkir itu sudah dia bawa mendekat ke bibirnya sendiri. “Kamu harus bikin ini setiap kali aku datang. Deal?” Tangannya terhenti, menanti jawaban Stef sebelum benar-benar mencicip racikan istimewa itu.
“Deal!”
Tanpa memutus tatapan mereka, Satria mendekatkan cangkir itu hingga ke hadapan hidungnya, lalu menghirup dalam aroma campuran yang surprisingly begitu menenangkan. Sekali lagi dia menghirup aroma itu dalam-dalam lalu menyesapnya perlahan.
Matanya membelalak. Dia sungguh terkejut, dalam pengertian yang positif. Racikan kopi ini benar-benar memanjakan indra penciuman dan indra perasanya.
“Gimana?” tanya Stef dengan tenang.
Satria meletakkan cangkir itu kembali pada tapaknya. “Kenapa kopi ini nggak dimasukkan ke menu? Saya pasti pesan ini setiap datang.”
Tertawa kecil, Stef menggeleng ringan. “You can do anything if you own something. Sayangnya, buat karyawan seperti saya, hak untuk mengubah sesuatu jauh dari genggaman. Termasuk waktu untuk bersantai dan ngobrol seperti ini. Saya harus balik bekerja. Enjoy your cinnamon coffee.”
Stef menjauh begitu saja. Cinnamon. Satria baru pertama kali mencicipi paduan kayu manis dan kopi yang sukses menjadi salah satu minuman yang dia suka. Dan kepuasan menikmati kopi dan kayu manis ini juga sukses membuat pertanyaan di benak Satria terus bertambah.
Tentang barista centil yang berbakat. Tentang mengapa seorang dengan potensi luar biasa itu harus bersembunyi di balik bar sebuah cafe.
***
Setelah menghabiskan waktu di dalam cafe, bahkan sempat memesan makan malam, Satria akhirnya memutuskan untuk pulang. Cafe “Black Castle” dipenuhi pengunjung malam ini. Sulit baginya mencuri kesempatan untuk ngobrol dengan Stef. Bahkan dia memperhatikan barista centil itu tak sempat beristirahat barang sejenak.
Melangkah perlahan menuju tempat motornya diparkir, Satria memperhatikan sekeliling. Jalanan di depan cafe begitu ramai. Begitu pula tempat parkir dalam cafe yang penuh dengan kendaraan beroda empat dan beroda dua.
Bagian dalam cafe yang penuh juga tak jauh berbeda dengan area outdoor. Beberapa kelompok pengunjung meramaikan suasana di luar cafe. Situasi itu meyakinkan Satria bahwa pulang adalah pilihan terbaik. Dia tak mungkin mengganggu Stef yang bekerja dengan mengajaknya bicara.
Lain kali. Dia akan kembali dan siapa tahu ada kesempatan baginya untuk lebih mengenal si centil itu.
Satria mengenakan jaket dan sarung tangan. Baru saja dia mengangkat helm, matanya menangkap gerakan aneh dari sosok tinggi besar yang baru saja memarkir motor berjarak dua meter darinya.
Separuh benaknya menyuruh Satria untuk tidak peduli, seperti yang biasanya dia lakukan. Satria tidak mau mencampuri urusan orang lain, dan karenanya dia biasa bersikap cuek. Dia hanya akan memberi perhatian pada orang-orang dekat yang dikenalnya dengan baik. Namun, ada sesuatu yang terus mengusiknya. Seakan dia harus mengikuti orang berbadan besar itu.
Menoleh sejenak, Satria menggeleng. Dia tidak perlu turut campur urusan orang yang tidak dia kenal. Kakinya sudah melangkah dan memosisikan diri di atas motor kesayangannya. Tetapi hatinya tidak tenang dan mendorongnya untuk melakukan sesuatu.
Masih mengabaikan dorongan itu, Satria melepas kacamata agar helmnya dapat terpasang sempurna. Lewat lubang visor, dia kembali mengenakan kacamatanya. Jemarinya sudah memutar kunci. Tetapi belum sempat menyalakan mesin, hatinya kembali terusik.
Turun dari motor? Atau pulang saja?
Selama beberapa detik, Satria terdiam. Membiarkan dua suara dalam benaknya saling berperang.
Akhirnya dia menghela napas panjang. Kembali melepas kacamata agar tidak rusak ketika melepas helm full-face-nya. Sarung tangan dan jaket juga dia tanggalkan dari tubuhnya. Selanjutnya dia melangkah turun dari motor, mencabut kunci, lalu beranjak kembali ke dalam cafe.
Dengan langkah panjang, Satria mencoba memperhatikan keadaan sekitar. Orang berbadan besar itu sudah berada di dalam cafe. Langkahnya terlihat berat dan lebih perlahan dari Satria. Arah badannya menunjukkan titik tujuannya. Konter bar.
Stef!
Alarm di kepala Satria sontak berbunyi. Dia tahu laki-laki itu. Laki-laki yang beberapa waktu lalu menabrakkan diri pada Stef dan menyebabkan gelasnya terpecah, lalu berusaha mengintimidasi si barista centil yang tak punya rasa takut itu.
Gegas Satria melangkah. Benar saja, laki-laki itu berhenti di hadapan Stef, terpisah oleh konter bar tempat Stef bekerja. Entah apa yang dia bicarakan. Dari posisinya, Satria bisa melihat Stef dengan terang-terangan menatap si laki-laki besar itu. Senyum lebar nan centil itu terpatri di wajahnya.
Dengan jarak beberapa meter, Satria melihat laki-laki itu menggebrak meja konter dan menyebabkan bunyi yang nyaring, menarik perhatian seisi cafe.
“Beraninya kamu!” Suara menggelegar laki-laki itu membuat seisi cafe seketika hening.
Satria melangkah lebih cepat dan berdiri tepat di sebelah laki-laki itu.
“Beraninya Anda membuat keributan di sini! Anda tahu siapa perempuan ini?” ujar Satria tegas.