10) Semusim

1751 Kata
Hampir setengah tiga sore, saat aku tiba di rumah Pak RT. Tempat yang dijanjikan oleh calon penyewa rumahku untuk bernegosiasi. Sebenarnya negosisasi dan lain sebagainya sudah beres dengan Pak RT. Sang penyewa hanya ingin bertemu dan sepertinya dia sangat penasasaran karena menurutnya rumah yang akan disewakan itu cukup baik dengan harga sewa sangat sesuai. Lebih tepatnya terlalu murah. Menurut info Pak RT rumah itu akan disewa oleh salah seorang pengusaha dan ditempati oleh istri ketiganya. Aku tidak mempermasalahkan. Bukti-bukti dan kelengkapan adminsitrasinya yang menunukan mereka suami istri sah sudah ada di Pak RT. Mau istri kedua, ketiga atau keberapa pun bukan urusanku.  Yang penting rumah itu benar-benar disewa oleh pasangan suami istri yang sah. Sesuai keinginan Mama. “Jadi barang-barang yang ada di sana juga akan disewakan, Pras?” tanya Pak RT. “Sebenarnya bukan disewakan, jika memang mau dipergunakan sementara gak masalah. Saat ini saya belum berniat membawanya, ribet, Pak. Tapi kalau nanti Bapak bisa menjualnya silakan saja. Kalau masalah harga, sesuaikan aja, saya sendiri kurang paham, hehehe.”  Ya, dalam rumah itu memang masih banyak barang-barang furniture yang belum dibawa. Menurut Mama, sebagain sudah tidak layak pakai, tapi jika ada tetangga yang berminat untuk membeli atau penyewa mau menggunakan silakan saja. Rumah itu memang sederhana namun terpelihara dengan baik. Itu semua berkat didikan Mamaku juga Mama Nina. Hampir satu jam aku, Pak RT dan sang calon penyewa berdiskusi. Ternyata Bapak Pengusaha itu sangat baik. Dia bersedia membeli semua barang-barang yang ada di sana. Dia juga membayar biaya sewa untuk satu tahun ke depan. Padahal awalanya Mama menawarkan bulanan, karena menurut dia takutnya  aku berubah pikiran dan kebelet ingin menjulanya. Sang Pengusaha itupun berjanji jika dalam setahun ke depan terasa nyaman, ada kemungkinan dia sendiri yang akan membelinya. Jam setengah lima, Bapak Pengusaha itu sudah mentransfer uang tak kurang dari dua puluh lima juta ke rekeningku. Mama pasti akan terkejut karena tidak menduga sang penyewa akan membayarkan sebanyak itu. Tak hanya itu, Sang Pengusaha itu juga memberikan uang tips pada Pak RT yang sama sekali tidak mengganggu uangku. Semoga ini awal yang mudah untuk melanjutkan hidupku selanjutnya. Uang itu akan aku pergunakan untuk merenovasi rumah nenek. Agar Mama, Prili dan Patria bisa hidup lebih layak. Uang yang semula akan dipakai untuk membuat kamar Prili, biar ditambahkan untuk modal usaha Mama dan membangun warung yang lebih besar dan layak.   Setelah selesai urusan dengan Pak RT juga penyewa rumah, aku segera mendatangi rumah Nania. Kebetulan rumah dia paling dekat dengan rumah Pak RT. Aku kehilangan kontak semua teman, karena hapeku hancur berkeping-keping bahkan kartu SIM-nya pun hilang entah kemana ketika benda pipih itu, aku pakai untuk melempar dan menghajar ayah. Sungguh perbuatan yang sangat merugikan diri sendiri. Untungnya Mama langsung membelikan lagi hape baru yang jauh lebih canggih dan kekinian. Mungkin uangku dari Tante Melia yang dia gunakan untuk membelinya. “Oh…. Praaaaas!” seru Nania dengan mata terbelalak dan mulut menganga saat aku tiba di depan rumahnya. Untung saja dia segera menutupnya dengan sebelah tangannya. Kalau tidak, mungkin air liurnya akan ngeces. Nania memang sedikit lebay, ekspresif dan..tapi kenapa justru matanya berair. Ini serius Nania menangis? “Nan, lu kenapa nangis?” tanyaku seraya memeluknya karena Nania sudah lebih dulu memelukku. Nania tidak menjawab pertanyaanku, malah tangisannya makin keras. Tangisan yang benar-benar pecah dari isakan berubah menjadi senggukan yang suaranya sangat nyaring. Beruntung di rumah Nania sedang tidak ada siap-siapa. Agar tidak menimbulkan kecurigaan para tetangganya, aku segera menyeret Nania masuk ke rumahnya. Setelah sekian lama menangis dan sama sekali tidak menceritakan ada apa, akhirnya Nania sadar dan dia sibuk menyiapakan minum dan suguhan kue kecil buatku. Keunikan Nania memang tidak pernah hilang. Dia selalu menyuguhkan makanan  setiap aku dan Alvin ke rumahnya. ‘Gua tahu lu berdua manusia-manusia lapar’ begitu biasanya dia ngomel sambil menyodorkan makanan. “Pras, lu kemana aja? Sampai-sampai gua bingung gimana lagi mau neghubungi lu?” tanya Nania dengan suara yang sedikit meninggi. Aku hanya tertawa dalam hati. Sejak kapan Nania mellow begini sampai-sampai harus menangis hanya karena dia gak bisa menghubungiku. Dengan santai aku menjelaskan bahwa hapeku hancur berkeping-keping dan hilang entah kemana. “Gue sebenarnya bukan pengen tahu kabar lu, Pras. Tapi gue pengen nanyain ada apa sebenarnya antara kalian? Antara lu, Firda, Galang dan Alvin?” Nania menatap mataku dengan wajah penasaran full melongo. “Hah! Ada apa? Emang kenapa dengan mereka? Gua datang ke sini justru mau nanyain kabar mereka sekalian pamitan,” balasku dengan jantung yang mendadak dag-dig-dug.   “Galang, Ghita dan papanya pulang kampung. Mereka sepertinya tidak akan kembali lagi ke sini. Sekolahnya pun sudah pindah. Papanya Galang sudah bercerai dengan Tante Melia.” Nania melanjutkan ceritanya. Itu sama sekali tidak mengejutkanku. Berarti rencana Galang menjebak Tante Melia berhasil. Dia memang ingin agar orang tuanya bercerai. Galang berhasil menyingkirkan ibu tirinya. Tapi mengapa Galang dan keluarganya yang harus pindah? “Kenapa keluarga Galang yang harus pindah?” tanyaku sedikit kepo. “Ya ialah, Papanya si Galang kalau cerai sama Tante Melia kan artinya dia gak punya apa-apa lagi. Selama ini papanya si Galang hanya numpang hidup dari Tante Melia. Perusahaan dan bisnis yang dijalankan Pak Gunardi, semua milik Tante Melia.” Nania sedikit nyolot bicaranya. Wait! “Kok ceritanya jadi terbalik begini. Maksudnya giamana, Nan?” Aku makin bingung. “Gini, kalau yang gue denger, katanya si Galang sama Alvin itu awalnya mau ngejebak Tante Melia, karena menurut si Galang, Tante Melia suka ngehabisin duit Papanya. Eh ternyata terbalik,” ucap Nania sambil menarik napas. Aku sudah tahu itu sebenarnya tak butuh lagi penjelasannya untuk yang terbalik. “Ternyata Galang sendiri gak tahu kalau ayahnya justru yang lebih banyak menghabiskan duit Mama tirinya itu. Dan akhirnya Tante Melia tahu kalau Alvin hanyalah alat untuk menjebak, makanya dia marah besar. Galang, Ghita dan suaminya langsung diusir dan gak dikasih apa-apa.” Nania menatap mataku tajam. Astaga! aku benar-benar shock. “Lu gak ikutan ngejebak Tante Melia kan Pras?” Nania memastikan. Aku hanya menggelengkan kepala dengan mata melotot dan mulut menganga. Gantian, aku yang kini melongo dengan bingung yang full. “Terus Alvin gimana?” tanyaku pelan. Sejatinya aku memang merasa tak rela si kurus sahabat terbaikku itu terlunta-lunta nasibnya.   “Sampai hari ini gue belum ketemu Alvin. Gak tahu kabarnya gimana. Katanya dia kabur karena takut sama Tante Melia. Alvin juga mungkin gak menduga, kalau yang tajir itu justru Tante Melia,” jelas Nania. Ya, jangankan Alvin kita semua juga tak akan pernah menduga. Bahkan termasuk Galang dan Ghita sendiri. “Gue udah berkali-kali ke rumah Alvin tapi keluarganya juga pada gak tahu Alvin kemana. Mungkin disembunyikan sih. Secara keluarga Alvin gak bakal kuat kalau mau ngelawan Tante Melia. Pengacara kondang gitu loh.” Nania masih menatapku. “Jadi lu nangis bukan karena kangen sama gua, Nan?” tanyaku iseng. “Gua kangen ya kangen. Tapi gua lebih kangen sama kalian semua. Gua kangen dengan kebersamaan kita. Gua gak nyangka semua akan jadi begini. Eh lu tahu gak Firda sekarang dimana?” Nania memukul pundakku dengan sangat keras. “Mana gua tahu! Kan gua baru datang ke sini doang. Rencananya mau ngajak lu buat datangin rumah mereka.” “Firda udah gak ada juga. Dia pindah mungkin ke Solo atau kemana, gua juga gak tahu.” “Eh gila lu! Ada apa lagi dengan Firda?” Perasaan shock-ku bertambah parah! “Lu suka ya sama Firda?” Nania malah balik tanya. “Eh…” Aku melongo, mungkin Firda tak bisa menyimpan rahasianya pada Nania. “Gua udah tahu semua yang terjadi antara lu sama Firda. Sebenarnya Firda juga suka sama lu, tapi dia gak percaya diri karena udah gak virgin lagi.” “Hah! Gua gak pernah sampai gituan sama Firda, Nan. Sumpah gua belum pernah melakukan hubungan intim sampai penetrasi dengan dia. Firda gak mau karena dia ingin tetap menjaga virginitasnya. Dan gua ngehargai itu!” sergahku. Bukan bela diri tapi memang itu kenyataannya. “Hehehe, panjang ceritanya, Pras. Tapi intinya dia pernah terjebak dalam sebuah permainan yang sedikit gila.” “Nan, bisa gak sih lu ngomong to the pont!” Aku sedikit nyolot penasaran. “Oke. Cewek lu itu, terbujuk rayuan papanya si Galang, hingga nyerahin keperawanannya demi uang. Dan Tante Melia akhirnya tahu juga. Makanya Firda juga memilih pindah. Dia malu sama dirinya sendiri, sama keluarganya juga sama kita semua. Mungkin gak bakal berani ketemu lagi sama lu, Pras.” “Oh God! Papanya Galang, ternyata….?” Mataku sudah membesar gak tahu segede apa. “Lu nilai aja sendiri deh. Yang jelas, Galang, Ghita and Alvin salah sasaran. Mereka mau ngejebak Tante Melia, gak tahunya aib mereka sendiri yang terbongkar dan berakhir tragis seperti begitu.” “Oh my God!” “Untung saja Tante Melia gak terlalu mempermasalahkannya kecuali mengusir dan merampas semua fasilitas yang selama ini mereka nikmati. Kalau sampai ke meja hijau gak tahu juga nasib mereka bakalan seperti apa.” “Berarti Gilang kembali ke rumahnya yang di Cilegon itu ya?” “Iya tapi bukan rumahnya yang mewah. Ke rumah neneknya. Rumah yang mewah itu masih milik Tante Melia.” Nania makin menjelaskan. “Ya Salaaaaam! Rumah neneknya yang di kam…..” Aku tak sanggup aku melanjutkan. Tak bisa dibanyangkan Galang yang terbiasa hidup mewah bergelimang segala fasilitas kelas lux, kini harus tinggal di rumah yang menurutku, jauh lebih rapi rumah Uwaku. “Sebenanrnya Om Gunardi dan Tante Melia, gak ada bedanya sih. Sama-sama suka daun muda. Tapi Tante Melia pakai duitnya sendiri. Kalau Pak Gunardi memanfaatkan Tante Melia. Dia pake duit istrinya buat merayu daun-daun muda. Termasuk Firda.” “Gila ya, kok bisa jadi begini akhirnya!” ucapku sambil menjatuhkan punggung bersandar pada sandaran kursi. Kedua mataku lekat menatap langit-langit yang sama sekali tidak mau memberiku jawaban. Ini bener-bener gila. Jadi waktu Firda b******u denganku, dia berpura-pura polos, padahal sudah jadi mainnya papanya Galang. Anjiiir bangke! Gua ketipu! Jangan-jangan Galang dan Alvin justru sudah menikmati Firda lebih dulu. Aseeeeem banget gua! “Pras, terus lu sekarang beneran jadi orang Sukabumi?” Nania mengalihkan obrolan. Aku hanya mengangguk dan akhirnya berlanjut dengan ceritaku. Kurang lebih satu jam kemudian aku pulang untuk membereskan rumah dan mengambil beberapa barang yang tersisa. Sesampai di rumah, aku disambut oleh para tetangga yang mengucapkan selamat berpisah dan lain sebagainya. Mereka sudah tahu dari Mama kalau aku akan pindah ke Sukabumi. Aku masih penasaran ingin bertemu dengan Alvin. Siapa tahu dia kini sudah ada di rumahnya. Sayang banget kalau dia harus kabur dan berhenti sekolah. Aku pun kembali menghubungi Nania untuk ke rumah Alvin, pakai motor Nania. ^^^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN