Dengan berjalan kaki aku mendatangi rumah Argi. Jaraknya tidak terlalu dekat juga tidak jauh-jauh amat hanya kebetulan dari rumah Alvin ke rumah Argi tidak ada rute angkot, sementara kalau naik ojol juga tanggung. Rumah Argi merupakan salah satu rumah yang sering aku singgahi sekaligus aku inapi, selain rumah Galang.
Argi tidak terlalu akrab dengan Alvin maupun Galang, karena beda sekolah. Mereka saling menenal karena sama-sama temanku. Walau tidak terlalu akrab, tetapi siapa tahu aku bisa mendapat info tambahan tentang Alvin dari Argi. Dia super gaul dan aktif dalam berbagai group meesum anak muda kekinian.
Tanpa banyak menemui kendala. Kak Anggi kakaknya Agri yang kebetulan sedang ngobrol dengan pacarnya di teras depan, langsung mempersilakan aku untuk langsung menuju kamar Argi di lantai tiga melalui tangga luar.
Rumah Argi terdiri dari tiga lantai. Lantai bawah digunakan untuk garasi dan toko bahan pakaian yang super sibuk kalau siang hari. Toko itu dikelola oleh ibunya dan Kak Anggi. Sementara bapaknya pengusaha apa aku tidak tahu. Lantai dua sebagai rumah keluarga dan lantai tiga khusus kamar Mbak Anggi, Kak Ardan dan Argi.
“Bro beneran ya temen lu kena kasus sama nyokapnya teman lu juga?” tanya Argi antusias saat aku baru masuk kamarnya.
“Dasar sahabat laknat tak tahu diri. Bukannya jawab salam, nyuguhi minum dan sebagainya atau meluk gua kek yang hampir sebulan gak ketemu, eh malah nodong pertanyaan yang malas banget buat gua jawab!” rutukku sambil bersalaman dan memeluknya.
“Hahaha, kaya tamu aja mau disuguhi segala. Lu gak bawa ikan laut, Bro?” balas Argi sambil menyodorkan kursi buat aku duduki.
Tanpa menjawab pertanyaannya lagi, aku langsung menunda tasku di kursi yang dia sodorkan. Sementara aku sendiri langsung selonjoran di atas kasur dengan menyandarkan punggung pada backdrop springbad.
Argi membalikan kursi belajar yang sedang di dudukinya menghadapku. Sebenarnya itu bukan kursi belajar, tapi lebih tepat kursi game. Sepanjang mengenalnya, belum pernah liat Argi belajar di kursi itu. Di sekolah aja belajaranya suka-suka gue. Anak sang pemiliki yayasan sih bebas banget. Gak ada yang mau ngusilin dia.
Menanggapi pertanyaan Argi tadi aku teringat ucapan Bu Marni. Kasus Alvin berarti memang sudah menyebar.
“Payah banget sohib lu, Bro! belum bisa main cantik udah belagu. Suruh belajar dulu sama gua. Dasar Alvin, norak! Bikin ngerusak citra brondong baik-baik simpenan tante aja tu anak, hahahaha!” seru Argi dengan tanpa perasaan.
“Gi, lu gak mau ngasih gua minum apa?” sergahku sedikit kesal.
“What? Eh Cucu Mak Erat! Sejak kapan lu jadi tuan gua? seluk beluk rumah ini sudah lu hapal semua. Mau minum, mau mandi, mau makan kan lu udah tahu tempatnya. Sejak kapan lu minta dilayani Tuan Muda Argi Dirgantara Sri Poerwanto?” Sang anak konglomerat nyolot.
“Ya, sekali-kali kan gak ada salahnya juga lu melayani tamu. Surga loh balasannya bagi Tuan Rumah yang memuliakan tamunya,” elakku tak mau kalah.
“Oke, jadi Tuan Tamu Yang Mulia ini mau minum apa, jus? Kopi? arput? Or air got?” Argi memasang wajah ndeso.
“Kopi asik juga kayaknya, hehehehe,” jawabku malu-malu mau dan sedikit kurang asem.
“Tokai lu!” maki Argi sambil membuka pintu kamarnya lalu ngibrit keluar.
Satu kelebihan Argi yang jarang dimiliki orang kaya lainnya, dia sangat merakyat dalam banyak hal. Kalah sombong oleh Galang, walau aku yakin kekayaan orang tua Argi tidak kalah oleh orang tuanya Galang, apalagi jika dibandingkan keadaan papanya Galang sekarang, bagai bumi dan langit tentunya.
Sebenarnya aku minta dilayani bukan untuk menjajahnya, tapi hanya sekedar mengalihkan omongannya yang terkesan pedas banget mengejek Alvin. Dia memang bebas bicara apapun karena tidak terlalu dekat dengan Alvin. Mungkin dia juga tidak terlalu banyak tahu akar permasalahnya.
Beberapa menit kemudian, Argi kembali masuk kamar dengan membawa baki berisi dua cangkir kopi, cemilan dan sebungkus rokok kegemaranku. Ini ajaibnya Argi. Dia selalu punya stock rokok kegemaran teman-temannya. Entah dimana menyimpannya. Yang pasti, dia sering memberi sebungkus rokok yang sesuai selera temannya saat main ke rumahnya.
“Lu dah ketemu sama teman-teman lu itu, Bro?” Argi kembali bertanya dan aku menjawab dengan gelengan kepala. Argi kemungkinan tidak terlalu kenal Nania.
“Emang rame banget ya, kasus Alvin tu, Gi?” tanyaku sambil turun dari tempat tidur lalu mengambil secangkir kopi yang tersaji di atas meja belajar alias meja gamenya.
“Lumayan. Tapi sekarang udah sedikit reda, sih. Rame tapi hanya dikalangan kita-kita aja. Gak sampe viral di medsos juga kaleee, hehehe.”
“Syukurlah,” balasku lega. Hatiku benar-benar plong. Tak bisa dibayangkan jika itu sampai viral di medsos. Mungkin bukan hanya kabur, tapi Alvin akan gantung diri di pohon cabe belakang rumahnya.
“Sekarang justru ada lagi yang lumayan heboh. Kasus bokapnya teman lu sama si Firda cewek yang pernah lu taksir itu, Bro!” ucap Argi sambil menatapku dengan cengirannya yang benar-benar mengejekku. Ya, sesuai yang disampaikan Nania.
“Videonya lumayan juga, hehehehe.”
“What? video? Firda sama Pak Gunardi ada videonya?” tanyaku setelah menyimpan kembali cangkir kopi di meja.
(Maaf dalam cerita ini, kalau kaget tidak ada adegan tersedak minuman atau makanan, walau sebenarnya aku sangat kaget. Tapi kan kalau ekspresinya tersedak terus, jadi basi banget, iya gak?)
“Yes. Ternyata sohib-sohib gang lu gak ada yang bener, Bro. Hahahaha.” Argi tertawa ngakak mengesalkan. Ternyata orang tajir and ganteng pun kalau lagi bikin kesel, tetep aja mukanya jadi ngeselin ya.
Dia berhak mengejek, karena aku sering kali membangga-banggakan semua teman gangku, terutama Alvin dan Firda. Beberapa saat aku hanya melongo tak tahu mesti merespon gimana atau bicara apa. Kenyataannya teman-teman kebangganku memang seperti yang Argi katakan. ‘gak ada yang bener!’ termasuk aku sendiri kali, ya.
“Temen lu, si Alvin itu sok ganteng and sok jago sih, Bro. Berani ngerjain and nantangin pengacara kelas kakap, ya akhirnya celaka, deh. Bener-bener begoo tu anak!” Argi semakin menyudutkan Alvin.
“Apa hubungannya dengan kasus Firda, kok jadi Alvin yang salah?” tanyaku sedikit nyolot.
“Jelaslah. Katanya si Alvin dan si Galang kan yang mau ngejebak nyokap tirinya. Ternyata nyokap tirinya punya senjata. Dia punya video suaminya lagi main sama si Firda itu. Ya sudah, bocor semuanya kan, hahahah.” Argi makin merasa puas.
Sebenarnya ini hanya bakat terpendam Argi, dalam kesehariannya dia bukan type orang yang suka ikut campur urusan orang lain, apalagi nyinyir seperti ini.
“Ya berarti bukan Alvin doang yang salah, Bro! Si Galang aktor intelektualnya justru paling bersalah, kenapa lu masih tetep nyalahin Alvin!”
“Mungkin!” Argi mengedikkan kedua bahunya. Fix dia tidak tahu masalah yang sebenarnya.
“Sebenarnya gua gak ngerti, Bro. dimana sih otak teman-teman lu itu. Kalau mau pansos ya gak gitu juga kali caranya.”
“Hmmm”
“Udah jelas itu aib, eh pake direkam segala, kalau udah kesebar kan repot. Manusia paling toolol sedunia yang mau ngerekam adegan gituan. Gimana kalau entar anak cucunya ngeliat. Jejak digital itu jahat, Bro.” Argi sok bijak. Tapi dalam hal ini, aku sangat sependapat dengannya.
“Ya, sebenarnya Alvin bukan pemain, Gi. Baru kali ini dia terlibat yang gituan, itu pun karena disetir si Galang. Gua bener-bener gak tahu kalau Alvin terlibat dalam rencana jahat gitu.” Aku berusaha membela Alvin.
“Gua paham, sebenarnya gua juga gak percaya kalau temen lu yang kurus, kalem dan jarang kedenger suaranya itu, bisa masuk dalam permainan norak gitu. Sumpah, dari dulu gua paling enek sama manusia yang sukanya ngejebak gitu. Pengecut dan jahat banget itu!”
“Akur!” balasku sambil mengangkat jempol.
“Sebenarnya gua masih lebih percaya kalau elu yang terlibat, Pras. Ya walau lu masih malu-malu, kan jam terbang dalam hal genjot menggenjot istri orang gak jauh-jauh amat sama gua, hahahaha.” Argi selalu bangga dengan keberhasilannya meniduri istri-istri orang, apalagi kalau tetangga dekatnya.
Aku hanya tediam seraya menikmati kembali kopi, cemilan dan rokok yang tersisa. Pikiranku melayang kemana-mana teringat kembali saat pertama kenal Galang, Alvin, Firda dan Nania. Tak menduga sahabat-sahabat yang selama ini, aku anggap relatif jauh dari dunia esek-eseks, justru sudah tenggelam lebih dalam.
“Terus maksud lu datang kemari ngapain, Bro. Cuma mau numpang molor doang?” tanya Argi setelah kami saling diam beberapa lama.
Dan akhirnya aku pun menceritakan kondisi keluarga dan rencana kepindahanku. Argi sangat terperanjat, namun dia juga memaklumi keadaanku yang memutuskan untuk ikut dengan Mama.
“Tadinya, gua nemuin lu mau cari info keberadaan Alvin. Lu kan sangat tahu seluk beluk dunia brondong and tante, siapa tahu kalian saling kenal. Ternyata malah dapat berita yang lebih mengejutkan,” ucapku memungkas cerita.
“Gua kenal si Alvin kalau dia lagi sama lu, Bro. Di luar itu, gua gak kenal. Lagian bener kata lu, dia memang belum ada dalam daftar brondong mainanan tante. Mungkin masih newbie atau memang tidak mau bersosialisasi dengan sesama penikmat tante, hehehehe.” Suara Argi terdengar sedikit sendu.
“Kenalan lu sesama gigo kan banyak, Gi. Siapa tahu ada teman lu yang kenal Alvin. Syukur-syukur tahu keberadaaanya. Gua hanya ingin ngajak dia pindah ke Sukabumi bareng gua. Kasian kalau sampai gak ngelanjutin sekolah. Lu tahu sendiri keadaan keluarganya kek gimana?” ucapku seraya menatap Argi yang manggut-manggut.
“Yoi, coba entar gua share di group rahasia gua. Mudah-mudahan aja ada yang kenal atau tahu keberadaaanya. Terus kalau udah ketemu, gimana? kan elu besok balik lagi ke Sukabumi, Bro?”
“Ya, tolongin gua. Lu temui dia atau mintain nomornya terus lu kirim ke gua. Biar gua yang ngomong langsung. Syukur-syukur kalau lu mau bantu ngenterin dia ke rumah Uwa gua, lu masih inget kan rumah Uwa gua yang di Plara.”
Argi mengangguk. Tentu saja dia masih ingat, sudah lebih dari tiga kali dia ikut main ke Plara dan tidur di rumah Uwa.
“Oke siap kawan. Gua udah lama juga gak main ke tempat Uwa lu. Kalau si Alvin dah ketemu pasti gua anterin ke rumah lu. Terus kapan lu mau nemui Tante Melia?” Wajah Argi berubah serius.
“Rencanaya sih malam ini, tapi dia lagi gak di rumahnya. Gak tahu kapan dia balik, mudah-mudahan aja besok ada.”
“Lu udah sering main sama si Tante, ya?” selidik Argi makin dalam. Aku hanya mengendikkan bahu. Percuma bohong juga, Argi pasti bisa membaca raut wajahku.
“Baru sekali,” jawabku lemas.
“Oke, gua janji bantuin cari si Alvin, asal lu kasih gua akses ke si tante tajir itu. Siapa tahu dia minat buat jadiin gua brondong simpanannya, hehehe.” Tiba-tiba Argi bicara mengejutkan.
“Duit bokap lu udah gak kehitung, ngapain juga mau jadi simpanan tante? Lu sehat?” bentakku.
“Hahaha, kan lumayan, liburannya ke luar negeri kalau sama tante tajir, anggap aja numpang wisata, Bro. Hahahaha.”
“Halah! entar kena masalah baru tahu rasa, lu. Tadi bilang jangan macem-macem sama pengacara kondang. Sekarang malah mau ikutan masuk, pagimana sih?”
“Beda kasus, Sob. Alvin kan jelas niatnya money and ngejebak. Kalau gua just for fun. No money oriented. Gak peduli and gak mau ikut campur urusan doi di belakang.”
“Ribet ah, mending bantuin gua mikir, gimana caranya nyelametin si Alvin, oke!”
“Kan udah gua bilang, gua siap bantu nyari Alvin, tapi lu wajib bantu gua buat deket sama si Tante. Lu kan punya akses sama dia. Gimana, deal?”
Tak ada pilihan. Memang gak ada salahnya memperkenalan Tante Melia sama Argi. Mereka mungkin lebih cocok. Sama-sama super mmesum and sama-sama tajir. Yang satu suka brondong, satunya lagi suka tante-tante. Klop.
“Gi, lu anak super gaul, masa sih gak bisa tembus akses sendiri sama si Tante?” tanyaku sedikit heran.
“Hehehe, Sebenarnya nama Tante Melia udah lama banget masuk dalam radar perdebatan group gua. Udah cukup lama jadi incaran anak-anak gang gua. Tapi sulit banget ditembusnya. Menurut info sih, doi mainannya anak luar semua, kebanyakan dari Jakarta. Bahkan ada seleb juga kalau gak salah.”
“Seleb tiktong palingan, hahahah.”
“Yeee gak percaya. Tante Melia itu sebenarnya dijadiin ajang taruhan di group gua. Siapa yang bisa dapet dapat reward.”
“Anjiiir, apaan hadiahnya? Gua masukin dong, lumayan. Gua sih mau ambil hadiahnya aja, hahaha.”
“Lu bukan member, Bro. Sampai dektik ini belum ada yang berhasil tembus. Eh gilanya, tiba-tiba ada berita heboh Tante Melia affair sama si Alvin. Jelas dong anak-anak gua kaget semua. Jadinya malah pada penasaran sama si Alvin buak sama si Tantenya. Kok bisa dia menaklukkan si Tante. Kalah anak-anak gang gua sama si kurus, hahahaha.”