MAKIAN

1363 Kata
"Pria itu? What do you mean? He is your Daddy!" tegas Vallery yang mendapatkan remasan dari jemari Brian yang menyentuh lengannya, menandakan bahwa tidak seharusnya Vallery membela dirinya meskipun ia sendiri tidak tahu apa yang membuat putra sulung nya begitu membencinya. "It's okay, Honey" ucap Brian mencoba menahan rasa sakit yang bersarang di hatinya saat ini. "Kau sudah mendengarnya bukan, Mom? Pria itu bahkan tidak keberatan dengan apa yang ku ucapkan" ujar Arthur tanpa mengalihkan pandangannya. "Arthur, how could you...?" mata Vallery berkaca-kaca, ia menghirup nafas dengan perlahan seraya memejamkan mata. Sudah cukup dua puluh tahun yang terbuang selama ini, sudah cukup aku menangisi tindakan putraku selama ini. Batin Vallery. "Apa yang membuat kau begitu membenci Daddy mu? Apa yang sudah ia perbuat hingga selama dua puluh tahun ini kau begitu membencinya bahkan seolah-olah kau tidak mengakui jika kau adalah putranya?! Tell me!" cecar Vallery dengan air mata yang berkejaran. "Dia memang bukan ayahku, Mom!" tegas Arthur seraya memejamkan kedua matanya, entah mengapa perkataannya sendiri seolah-olah senjata makan tuan untuknya. Sedangkan Brian, ia kembali merasakan ribuan jarum yang seolah menusuk hatinya saat ini ketika mendengar perkataan sang putra. Brian melepas genggaman tangannya di lengan sang istri kemudian berjalan menghampiri Arthur yang tengah berbaring di brankar rumah sakit tersebut. "Katakan apa salah Daddy?" pertanyaan Brian sukses membuat tubuh Arthur menegang seketika, sejujurnya ia begitu merindukan pelukan hangat ayahnya seperti dulu, namun kesalahan Brian di matanya membuat ia membuang jauh-jauh kerinduan itu. "Tell me, what's my fault?" suara Brian bergetar kala menanyakan kesalahan yang tidak ia ketahui selama ini kepada putranya sendiri. "Kau ingin tahu?" seringai Arthur menjawab pertanyaan Brian, melihat pandangan sinis dari sang putra kesayangannya membuat Brian kembali merasakan sakit di hatinya. "Mungkin ketika aku berumur lima tahun, aku merasa cemburu ketika kau begitu memanjakan Mathew tanpa mempedulikan ku" Brian terperangah mendengar perkataan Arthur. Apakah karna hal semacam itu akhirnya Arthur membenci ku selama dua puluh tahun ini? Tanya Brian dalam hati "Tapi bukankah aku terlihat seperti anak kecil jika sampai saat ini masih mempermasalahkan hal seperti itu?" lanjut Arthur sedangkan Brian dan Vallery masih bergeming di tempatnya. "Aku memperlakukan mu sama dengan aku memperlakukan Mathew, aku menyayangi kalian dengan ... " perkataan Brian terpotong oleh teriakan Arthur. "Bulshit!" teriak Arthur membuat Vallery terperanjat, Vallery segera mendekati sang suami yang berdiri di samping brankar tempat Arthur terbaring. "Arthur! Jaga ucapan mu!" tegas Vallery membuat Arthur menyeringai. "Aku menyayangi mu seperti aku menyayangi ibu dan juga adikmu" ucap Brian dengan bibir bergetar dan juga mata yang memerah, kekerasan hatinya selama ini seolah melunak ketika berhadapan dengan sang istri dan kedua putranya. "Apapun yang kau inginkan, aku selalu memberikannya sejak dulu, bahkan ketika kau meneriaki ku untuk pertama kali, aku memaafkan mu. Dan ketika kau meminta ijin agar kau tinggal di asrama sekolah ketika berusia delapan tahun, aku mengijinkannya meskipun dengan berat hati aku harus melepaskan putra kesayangan ... " "Putra kesayangan mu hanya anak itu!" perkataan Brian kembali terpotong oleh teriakan Arthur, hal itu lagi-lagi membuat Vallery terkejut. "Bahkan kau tidak ada di samping Mommy ketika aku dilahirkan!" teriak Arthur kembali dengan nafas yang memburu, Vallery hampir pingsan mendengar perkataan sang putra, bagaimana bisa putra sulung nya itu tahu bahwa Brian tidak ada di samping mereka ketika Arthur hadir di dunia ini. Brian yang mendengar hal itu hanya bisa terdiam di tengah air mata yang ia tahan sekuat tenaga sejak tadi. "Aku tahu yang terjadi selama ini! Kau bahkan ingin membunuh ku ketika aku berada di rahim Mommy!" Arthur kembali berteriak. Air mata yang sejak tadi ditahan oleh Brian akhirnya jatuh juga. "Berbeda saat anak itu lahir, kau begitu menyayanginya..." lirih Arthur. "Kau salah paham, my boy" ucap Brian dengan air mata yang kembali berlinang. Ia menyentuh rambut Arthur dengan usapan yang begitu lembut, membuat Arthur terkejut sekaligus merasa sedikit lebih tenang. Ia menghirup nafas sebisa mungkin lalu menghembuskannya secara perlahan, mencoba untuk tenang meskipun hatinya terasa sakit ketika mengetahui alasan sang putra yang seolah membencinya selama dua puluh tahun lamanya, oh, bukan seolah membencinya, namun putra kesayangannya tersebut benar-benar membencinya, Arthur mungkin tidak mengetahui hal yang sebenarnya terjadi di masa lalu, dan jika ia berada di posisi sang putra mungkin ia akan melakukan hal yang sama. "Tanpa aku jelaskan bagaimana rasa sayang ku terhadap mu harusnya kau tahu dan harusnya kau bisa merasakan rasa sayang yang ku berikan selama ini. Kau salah paham..." usapan Brian di kepala Arthur terhenti ketika mendengar perkataan Arthur selanjutnya. "Pergilah" ujar Arthur dengan lirih. Brian bergeming, menatap nanar ke arah sang putra di tengah-tengah matanya yang berair. "I said, go away!" teriak Arthur membuat air mata Brian kembali terjatuh untuk ketiga kalinya. Dengan lapang d**a dan berbesar hati, Brian berbalik dan pergi menjauhi putranya, mungkin saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk menjelaskan semua kesalahpahaman itu, ia akan menjelaskan semuanya ketika kondisi Arthur mulai membaik. Vallery melihat kepergian sang suami dengan tatapan terluka, ia menoleh untuk menatap wajah sang putra yang saat ini tengah memandang tembok ruangan tersebut. "Kau salah paham, my boy" ucap Vallery dengan air mata yang tidak berhenti mengalir sejak tadi. Terlalu banyak kesalahan mu, Dad.. Aku tidak ingin memaafkan mu, tapi kenapa hatiku merasa sakit ketika melihat mu menangis? tanya Arthur begitu frustasi di dalam hatinya. "Jika hanya kesalahan itu mungkin aku masih bisa memaafkan nya, Mom" ucap Arthur membuat Vallery menggelengkan kepalanya. "Kau salah paham!" tegas Vallery kembali. "Itu bukan salah paham, Mom! Dan ada satu lagi kesalahannya yang membuat ku begitu membenci pria itu!" ucap Arthur seraya memandang ke arah sang ibu. "Apa maksud mu?!" tanya Vallery dengan tatapan yang tidak percaya. Apalagi kali ini? Kesalahpahaman apa lagi yang membuat suami dan putraku saling berjauhan? Ya Tuhan... Tanya Vallery dalam hati, ia begitu frustasi menghadapi masalah ini. "Lupakan" ucap Arthur seraya mengalihkan wajahnya dari tatapan sang ibu, Vallery hanya bisa menggelengkan kepalanya kembali melihat putranya yang sangat keras kepala. Tanpa berucap apapun ia segera pergi mengejar sang suami yang keluar dari ruangan rawat putra mereka, ia menoleh ke kanan dan kiri, menatap dua lorong yang ada di depan ruang rawat tersebut hingga ia mendapati siluet tubuh sang suami yang tengah terduduk di salah satu kursi tunggu, ia berjalan menghampiri Brian dengan perlahan, sesampainya di samping Brian, Vallery begitu terkejut kala ia menyaksikan sang suami yang tengah menangis melalui bahu pria itu yang bergetar. Dengan perlahan, Vallery mengusap punggung Brian dengan lembut, mencoba untuk menenangkan kemudian ia ikut duduk di samping sang suami. "Dia tidak tahu ketika aku menangisinya untuk pertama kali" ucap Brian pertama kali ketika ia merasakan kehadiran sang istri. "Dia tidak tahu ketika aku sangat bersyukur bisa bertemu dengannya" Brian mengusap kasar air matanya yang masih saja berjatuhan, ia tidak menyangka hatinya begitu sakit saat ini, bahkan peluru pun tidak terasa menyakitkan jika dibandingkan dengan sang putra yang membencinya selama ini, bahkan kebencian sang putra diakibatkan oleh ulahnya sendiri. "Bayi yang aku timang dulu, yang aku tangisi dulu, yang ... " perkataan Brian tercekat dan hal itu membuat Vallery segera meneluk sang suami dengan sangat erat. "Dua puluh tahun dia jauh dari jangkauan ku hanya karna salah paham?" tanya Brian dengan lirih. "Selama itu aku tidak bisa merengkuh putraku sendiri, selama itu pula aku tidak bisa bercanda gurau dengannya hanya karna drama sialan itu?!" tanya Brian seraya menatap wajah sang istri yang juga tengah menangis, mendengar pertanyaan sang suami membuat Vallery menggeleng berulang kali. "Harusnya aku tidak melakukan hal itu, harusnya aku tidak melakukan hal bodoh seperti itu, harusnya aku ... " "Ssssttt, jangan diteruskan, kau tidak salah, keadaan yang membuat mu seperti itu" ucap Vallery seraya mengusap air mata sang suami, selama hampir tiga puluh tahun pernikahan mereka, ia tidak pernah melihat Brian menangis seperti ini. "But ... " "Wajar jika putra kita marah, dulu pun aku begitu, yang harus kau lakukan hanyalah membuatnya kembali percaya padamu, seperti kau berusaha membuat ku percaya seperti dulu" ujar Vallery seraya tersenyum, mencoba menenangkan sang suami. Brian menatap lamat ke arah sang istri. Ya, Vallery benar, ia harus meyakinkan sang putra bahwa itu semua hanyalah salah paham, ia sudah tahu alasan apa yang membuat putranya begitu membencinya selama ini, yang harus ia lakukan sekarang adalah menjelaskan, seperti yang ia lakukan dua puluh tujuh tahun yang lalu kepada wanita yang saat ini telah menjadi istrinya tersebut.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN