4. Reward

2148 Kata
Pyaarrrr! Braakkkk!!! Semua yang ada di dalam ruang kerja Gina, pecah dan berserakan saat wanita tua itu menghancurkan segala yang ada di sampingnya. Emosi yang meluap-luap dalam hatinya membuat tubuhnya sampai bergetar. Wajahnya memerah bak kuah pedas dalam semangkuk seblak level paling atas. Semua pengawal dan asistennya hanya diam sambil menundukkan kepalanya karena merasa bersalah, sampai pagi ini belum bisa menemukan di mana keberadaan Becca. Padahal mereka memiliki akses yang mumpuni buat mencari orang dalam waktu kurang lebih dari dua jam. Tapi ini apa? Sudah sehari semalam Becca menghilang, tapi masih belum bisa ditemukan. Wajar saja memang bagi Gina merasa emosi dan marah pada putri tunggalnya karena sudah dipermalukan di acara penting di depan semua rekan bisnisnya. Tapi Becca juga tidak sepenuhnya salah. Gadis itu sudah berusaha menolak sebisanya agar pernikahan itu tidak pernah terjadi. Tapi Gina menutup kedua telinganya serapat mungkin dan pura-pura tidak mendengar rintihan Becca yang meminta agar tidak diserahkan ke Antony. "Ke mana perginya anak itu?" tanyanya pada diri sendiri yang pusing memikirkan bahwa anak gadisnya sendiri tega mengkhianatinya dan menusuknya dari belakang. Tangan Gina terkepal kuat-kuat, emosinya masih belum sirna. Dalam d**a Gina masih bergemuruh, rasanya sangat ingin mencaci semua yang ada di sampingnya saat ini juga. "Saya tidak mau tahu! Kalian terus cari keberadaan anak tidak tahu diri itu sampai ketemu! Jangan berhenti sebelum kalian menemukannya!" titah Gina penuh amarah dalam setiap kata yang keluar dari bibirnya. "Siap, Nyonya." sahut mereka bersamaan. Tak lama, di saat Gina masih mencoba meredakan kemarahannya, sekretaris Gina datang. Lelaki yang berusia sekitar tiga puluh tahun itu memberi tahu Gina, bahwa saham perusahaan turun drastis. Di hari-hari biasa saja, saham perusahaan bisa dibilang rendah. Apalagi ditambah dengan kejadian ini, semakin saja turun. "Anda harus kembali ke Los Angeles sekarang juga, Mrs. Williams." sambung Arthur usai mengabarkan bahwa saham perusahaan jatuh. "Arrhhkkkk...!!!" teriak Gina bagaikan orang gila berkecukupan uang. Semuanya kembali terdiam menunggu sampai emosi Gina mereda. Sementara Arthur, dia masih berdiri di tempatnya semula tanpa takut kalau tiba-tiba mendapat lemparan benda keras yang bisa melukainya. *** Bukan hanya Gina yang dilanda krisis kesabaran, Antony pun demikian. Ketika tahu Becca menghilang di acara pernikahan mereka kemarin, Antony langsung mengamuk. Dia tak segan-segan menghancurkan karangan bunga ucapan selamat dan dekorasi pernikahan yang sudah susah payah dirancang sedemikian apik. Tak beda jauh dengan mantan calon ibu mertuanya yang mengerahkan banyak orang buat mencari Becca. Lelaki berambut klimis dengan setelan jas nan memiliki garis wajah penuh wibawa itu langsung memerintahkan detektif swasta sewaannya guna melacak jejak Becca. Namun hasilnya sama saja seperti yang didengar Gina, nihil. Para detektif sewaan Antony belum ada yang melapor kalau mereka melihat mantan calon istrinya. "Beraninya mereka mempermainkanku." gumamnya sembari memainkan jarinya di bibir gelas wine yang menemaninya dari semalam. Sorot mata Antony terlihat begitu menakutkan untuk orang yang baru melihatnya. Tapi tidak buat orang-orang yang sudah bekerja untuk Antony sedari lama. Hal seperti ini sudah biasa bagi mereka. "Pinter juga dia sembunyi dariku?" "Mungkin Becca sudah merencanakan ini sejak lama. Jadi dia mempersiapkan semuanya sesempurna mungkin, bos." sahut sekretaris Antony yang selalu ada di sampingnya kapan pun dan di manapun Antony berada. Sudut bibir kanan Antony terangkat seiring dengan berhentinya jemarinya bermain di bibir gelas wine. Dia menatap sekretarisnya sekilas lalu tangannya kembali meraih gelasnya dan menenggak red wine yang sudah dia tuangkan sejak tadi. Antony juga tidak tahu, kenapa dia malah meminum red wine di suasana seperti ini. Dia hanya ingin meminumnya saja. "Cari dia sampai ketemu. Meski harus ke inti bumi sekali pun, aku tidak peduli!" teriak Antony membuat semua orang mengangguk. Antony kembali menatap sekretarisnya sambil membuat dentingan di gelas pakai cincin di jari kelingkingnya. "Cari semua orang di negeri ini yang sering menyelundupkan orang." titahnya membuat sekretarisnya lagi-lagi hanya bisa mengangguk. Pyarrr! Semua orang berjingkat kaget ketika melihat Antony tiba-tiba melemparkan gelas begitu saja ke arah dinding. Bahkan ada salah satu orangnya yang terluka akibat terkena pecahan gelas tadi. Namun apa peduli Antony? Yang dia inginkan sekarang hanya bisa meluapkan emosi yang terus menggerogoti jiwanya. *** "Gue enggak tahu kalau dia mau ke supermarket pagi-pagi buta." gumam Becca saat melihat lemari pendingin terisi penuh tanpa ada ruang yang tersisa. Kondisi kulkas berbeda dengan semalam. Berubah jadi 180° dalam waktu kurang dari satu hari. Becca saja sampai tidak tahu, kapan Vanko bangun dan keluar dari apartemen lalu merapikan semua belanjaannya ke lemari pendingin. Becca benar-benar tidak mendengarnya. "Sweet banget sih." Becca kembali memuji perbuatan Vanko. Seharian ini, Becca hanya berdiam diri di dalam apartemen. Meski Vanko sudah memberi tahu kode sandi apartemennya, tapi Becca sendiri yang merasa masih takut kalau keluar begitu saja. Dia takut kalau di luar sana ada orang suruhan mamanya. Becca tidak ingin menyia-nyiakan pengorbanan Vanko yang sudah menolongnya sampai sejauh ini. Bagaimanapun juga, Becca juga tidak akan rela kalau nanti ditemukan dan berpisah dengan Vanko lagi seperti kemarin-kemarin. Puas memandangi seisi kulkas, Becca langsung mengambil beberapa snack dan minuman dingin lalu dibawa ke depan televisi. Semua makanan itu adalah jajanan kesukaan Becca sedari dulu, dan gadis itu tidak menyangka kalau Vanko masih ingat semua jajanan yang dia favoritkan. "Tapi ke mana dia? Dari tadi belum pulang-pulang." tanyanya sambil mendaratkan pantatnya ke sofa. Tangan Becca ganti meraih remot TV di atas meja depannya. Saat baru menyalakan televisi, hal pertama yang menyambutnya adalah berita tentang kaburnya putri dari mendiang Jordan Williams dan Gina Sitanggang di acara pernikahannya dengan keturunan Jones kemarin pagi. Mata Becca tertuju pada mamanya yang dikawal banyak sekali lelaki bertubuh besar untuk menghindari wartawan. Jelas berita ini akan cukup mencengangkan bagi orang-orang dari kalangan pebisnis sukses atau yang baru sukses. Pasti banyak orang yang menertawakan atas gagalnya acara pernikahannya dengan Antony. Titt! Klek! Saat baru masuk apartemen, Vanko diberi pemandangan yang kurang mengenakkan. Cepat-cepat dia mendekati Becca dan mematikan televisi agar gadis itu tidak menyaksikan berita yang seringnya dilebih-lebihkan itu. Perlahan-lahan, Vanko meletakkan semua barang belanjaannya ke atas meja dan sofa lainnya. Dia langsung duduk di samping Becca, menarik bahunya dan membawa Becca ke dalam pelukannya. Ditepuknya berulang kali punggung Becca agar dia bisa merasa lebih tenang. "Jangan nonton TV dulu buat sementara. Jangan nyari berita di internet juga. Cukup tanya ke gue kalau lo pengen tahu sesuatu." ujar Vanko berusaha menenangkan Becca. Bisa Vanko rasakan, tangan Becca semakin erat meremas kemejanya dan mengeratkan pelukannya. Gadis itu pasti sangat kebingungan sekarang. Dia juga pasti merasa bersalah karena sudah kabur dari rumah. Tapi Vanko tidak ingin Becca merasakan itu semua. "Mama pasti lagi hancur banget sekarang." gumamnya sumbang di atas bahu Vanko. Hanya usapan lembut yang bisa Vanko berikan di punggung Becca. Dia tidak akan melarang Becca kalau seandainya gadis itu ingin menangis sekarang juga. "Gue enggak akan ngelarang lo nangis dan sedih. Tapi gue enggak akan kasih lo waktu buat mikir kalau tindakan lo ini salah." dengan berani Vanko mengatakan ini. Anggukan kepala Becca dirasakan Vanko. Dia tersenyum merasakan respons Becca yang benar-benar mendengar kata-katanya. "Gue enggak pernah menganggap kalau gue salah ngambil jalan." Bilang saja Vanko jahat buat sekarang. Dia lagi-lagi tersenyum mendengar keputusan Becca. Tapi Vanko juga tidak ingin kehilangan Becca untuk yang kedua kali. Tak sampai dua menit, Becca langsung melepaskan pelukannya. Dia melihat ke belanjaan Vanko yang bejibun. Ada lebih dari dua puluh paper bag yang dibawanya tadi. "Gue baru tahu kalau lo doyan shopping juga." gumamnya sambil melihat satu persatu paper bag berwarna-warni. Tangan kanan Vanko mengulur ke arah beberapa paper bag yang bisa dia jangkau. Sambil menunjukkan senyuman, Vanko memberikan paper bag tadi pada Becca. "Itu semua buat lo. Ada baju, dress, sepatu, sendal, tas, dan banyak macemnya. Gue harap, semuanya sesuai selera lo." jelasnya lagi memberi tahu tentang apa yang dia beli di mall tadi sebelum pulang. Mulut Becca menganga, dia tak menyangka kalau Vanko akan membelikan banyak barang untuknya. Padahal, tadinya Becca berniat buat belanja pakai uangnya sendiri. "Ya ampun, banyak banget. Lo belanja sebanyak ini sendirian?” herannya yang tak menyangka Vanko akan melakukan ini. Hanya sebuah anggukan yang menjadi jawaban untuk pertanyaan Becca tadi, dan respons gadis itu sangat membuat Vanko gemas. Becca menatapnya takjub sambil mengacungkan kedua jempolnya. “Berapa semuanya? Biar gue ganti langsung." tanya Becca sambil memegang ponsel lamanya. Baru sedetik Becca memegang ponsel, dia baru tersadar kalau di ponsel itu tidak ada m-banking. Jadi dia tidak bisa mentransfer uang secara daring. "Pakai aja dulu. Uang lo bisa lo tabung dulu." sela Vanko yang tahu apa isi pikiran Becca sekarang. Becca mengangguk sambil berdiri mendekati semua paper bag yang tak terlalu jauh darinya. Dilihatnya satu persatu isinya dan beberapa di antaranya ada yang langsung dicoba. "Oh iya, tadi siang lo nelfon?" tanya Vanko memastikan. Bukan bibir yang menyahut, tapi anggukan kepala Becca yang menjawab. "Maaf, gue tadi lagi kerja. Enggak sempet pegang HP, jadi enggak keangkat." "Enggak apa-apa kok." Dengan lembut Becca menjawab seperti itu sambil melihat Vanko berdiri dan membuka kemejanya lalu dimasukkan ke dalam keranjang cucian. Hanya tersisa kaos putih polos di tubuh kekar Vanko dan itu terlihat begitu seksi. Sesegera mungkin Becca menghilangkan pikiran kotornya agar tidak lanjut jadi traveling. Langkah kaki Vanko lanjut menuju dapur dan mengambil minum di dalam lemari pendingin. Lagi-lagi, Becca merasa terpesona saat Vanko minum. Dia ikut menelan ludahnya seiring gerakan jakun Vanko yang naik turun. "Ada apa?" tanya Vanko lagi sambil mendekat ke arah Becca yang tampak gelagapan karena ketahuan melihatnya. "Mau nanya alamat apartemen, ada barang yang mau gue beli di olshop." untung Becca tidak salah menjawab. Kening Vanko mengerut. Perasaan, dia sudah membelikan banyak pakaian ganti untuk Becca, dan juga kebutuhan lainnya. Terus apa lagi yang ingin dibeli oleh gadis itu? "Pakai HP gue aja, biar enggak ribet setting ulang di HP lo." Benda pipih berwarna putih dikeluarkan oleh Vanko dari saku celananya. Meski sedikit ragu, tapi Becca tetap mengambil ponsel itu. "Beneran boleh order di sini?" tanyanya lagi memastikan. "Hem... Pake aja. Lagian enggak ada bedanya juga 'kan? Biar lebih praktis." entah yang ke berapa kalinya Vanko mengangguk mengiyakan. Karena sudah diperbolehkan, Becca langsung mencari barang yang ingin dia beli. Dan kemungkinan besar, barang yang dia inginkan tidak berjumlah sedikit. "Oh iya, ini gue beliin HP sama sim card baru buat lo. Jangan pakai HP lama lo itu lagi. Siapa tahu, mereka bisa nemuin lo dari HP lama lo." Untuk yang ini, Becca tidak menyangka kalau Vanko akan sampai sedetail ini memerhatikannya. Lelaki itu bersungguh-sungguh buat membantunya sembunyi. Buktinya, Vanko melakukan apa pun sebisanya buat melindungi Becca. "Yang ini enggak perlu diganti. Gue beliin buat kasih reward ke lo yang udah berani ngambil pilihan sulit seperti kemarin." lanjut Vanko karena Becca dari tadi hanya diam saja. Perlahan namun pasti, walau sedikit sungkan, akhirnya Becca menerima hadiah yang Vanko berikan. Dia langsung membukanya dan menuruti kata-kata Vanko buat menonaktifkan ponsel lamanya lalu pindah ke ponsel baru yang hanya menyimpan nomor Vanko seorang. "Makasih ya, gue suka." ujarnya tulus. "Eum... Mau lo suka atau enggak, lo tetep harus pakai itu." balasnya sok acuh tak acuh menanggapi ucapan terima kasih dari Becca. Becca sedikit geli saat mendengar perkataan Vanko tadi. Bola matanya pun bergerak-gerak melirik lelaki yang masih berdiri di depannya. "Ya udah, gue mau mandi dulu. Lo bisa sekalian pesen makanan buat dinner kita malam ini. Beli apa aja yang lo mau dan jangan pikirin harga atau uang." titahnya sambil berjalan menuju kamar mandi. Becca sendiri tidak menduga kalau dia bisa tertawa lagi seperti sekarang. Dan yang lebih tidak menyangka, orang yang membuatnya tertawa adalah orang yang pernah menggores luka di hatinya. Tak mau mengingat kenangan kesedihan waktu itu lagi. Becca langsung memesan makanan apa saja yang dia inginkan. Setelah itu, barulah Becca berbelanja onlline seperti apa yang dia inginkan dari tadi. *** Di depan cermin kamar mandi, Vanko melihat pantulan dirinya sendiri yang masih basah oleh butiran air. Matanya saling bertemu dengan sepasang mata di cermin. Dia menyeka air di wajahnya dan kembali menatap dirinya sendiri. Tangan kanan Vanko terkepal di atas wastafel. Napasnya terdengar memburu dan rahangnya mengeras seketika. Kilasan kejadian sewaktu di pesta sekolah dulu kembali menghantuinya dan itu cukup untuk membuat Vanko merasa bersalah. Padahal selama ini dia sudah belajar dan berusaha supaya tidak merasa bersalah seperti sekarang. Vanko juga kaget karena tiba-tiba lampu menyala. Padahal tadinya dia sangat menikmati dansa bersama Zulla. Namun sekarang, semua orang tahu dan melihat bahwa dirinya tidak sedang berdansa bersama Becca. Melainkan dengan gadis yang hanya sekedar teman. "Ikut gue, Zul." Bukannya melepaskan pinggang Zulla dan meminta maaf pada Becca, Vanko malah menarik tangan Zulla dan mengajaknya pergi dari sana. Jelas Becca tak tinggal diam, dia mengikuti ke mana arah Vanko menarik Zulla. Untung saja, antara ketiganya tidak ada yang merasa sangat malu karena memang pada dasarnya mereka bersahabat. "Lo apa-apaan sih, Van?!" sentak Zulla karena tak terima dirinya ditarik-tarik bagai tali tambang begini. Dengan napas terengah-engah karena harus membawa Zulla ke tempat itu, Vanko jadi menyadari sesuatu. "Gue suka sama lo, Zul. Gue pengen lo jadi cewek gue. Udah lama gue suka sama lo." tanpa pikir panjang, Vanko mengatakan ini pada Zulla yang masih kebingungan dan syok.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN