Ke kanan, ke kiri, ke kanan lagi, begitu terus yang dilakukan Becca dari beberapa detik lalu. Dia memandangi ponsel Vanko sambil menyetrika lantai. Kegelisahan sedang melandanya.
"Ih... Vanko kenapa lama banget sih mandinya?" desahnya karena ponsel lelaki itu tidak mau berhenti berbunyi.
"Awas kaki lo ntar pegel-pegel."
Langsung saja Becca berbalik badan dan berjalan secepat kilat ke arah Vanko. Dia memperlihatkan ponsel itu kepada pemiliknya. Tertera tulisan Mama Calling di layar, dan Vanko hanya tersenyum mengetahui bahwa penyebab Becca mondar-mandir sedari tadi karena mamanya.
"Udah biasa kok Mama kayak gitu. Enggak perlu panik." tanggapnya sambil mengambil ponsel di tangan Becca.
"Bukan begitu. Tadi sempet enggak sengaja keangkat karena gue lagi asik gunain. Karena kaget, langsung gue matiin. Eh ternyata Mama lo yang nelfon."
Lagi-lagi Vanko hanya tertawa ringan mendengar penjelasan Becca, tanpa tahu bagaimana gelisahnya gadis di depannya itu. Terdengar jelas nada bicara Becca begitu ketakutan kalau-kalau mamanya akan memergokinya di sini.
"Enggak apa-apa."
Ponsel itu kembali berbunyi, dan sekarang Vanko langsung menerimanya.
"Kapan kamu ke rumah? Mama udah kasih kode berulang-ulang ya, tapi kamu enggak peka juga kalau Mama kangen!"
Belum sempat Vanko mengucapkan hallo, dia sudah dicecar oleh mamanya terlebih dulu. Dan yang membuat Becca tambah kaget, Vanko ternyata sengaja me-loudspeaker panggilan dari sang mama sehingga Becca juga bisa mendengar apa yang dikatakan wanita paruh baya di seberang telepon.
"Eum... Mama kayak anak ABG aja mainnya kode-kodean. Nanti kalau aku ada waktu, aku pasti main ke rumah nengokin Mama." jawabnya disertai senyuman tampan.
"Jangan janji-janji mulu kamu tebelin, tapi kasih bukti! Lama nih Mama nunggu kamu pulang!" protesnya lagi.
Entah kenapa, Becca tertawa mendengar perkataan mama Vanko. Tapi sebisa mungkin Becca menahan tawanya agar tidak bersuara.
"Kali ini enggak cuma janji doang."
"Oke, Mama bakal anteng di rumah. Nanti kalau ke sini, jangan lupa bawa bunga kesukaan Mama. Biar Mama awet muda kalau ada yang ngasih bunga dari bujangan." tuntutnya lagi pada anak laki-lakinya.
"Siap Mama cantik. Ya udah ya, aku tutup telponnya. Eum... Love you and see you latter, Ma. Muach... Muach..."
Tanpa merasa malu menunjukkan kasih sayangnya di depan Becca, Vanko malah dengan sengaja memberikan kecupan virtual untuk sang mama. Kini, Vanko menatap Becca sambil tertawa ringan.
Jantung Becca serasa hampir terlepas ketika dia merasakan ubun-ubunnya diusap-usap Vanko. Pipinya memanas dan rasanya seperti dihujani kebahagiaan.
"Mama gue orangnya asik kok. Enggak perlu sekhawatir itu. Buktinya dia enggak nanyain 'kan tentang telpon dia yang dimatiin?" suara beratnya kembali keluar namun terdengar sangat lembut bagi Becca.
"Ah... Iya." kepala Becca mengangguk bagaikan orang sedang dugem.
Glek!
Diberi usapan di ubun-ubun saja sudah membuat d**a Becca berdegup kencang. Sekarang malah ditambah dengan suguhan roti sobek di depan matanya langsung ketika dia sedang mengangguk dan tak sengaja melihat perut kotak-kotak Vanko. Butiran air menghiasinya, membuatnya semakin terlihat segar dan menggoda iman.
Susah payah Becca menelan ludah. Dia ingin berpaling tapi rasanya seperti ada magnet yang menahannya agar tidak melihat ke arah lain. Tubuhnya seketika panas dingin sendiri, tapi ini bukan demam.
"Ah... Gue lupa belum pakai baju."
Anjirrr...
Saat itu juga Becca tersadar kalau Vanko memergokinya sedang menikmati perut sixpack-nya secara diam-diam dan tanpa permisi. Wajahnya semakin memerah saja karena malu sudah ketahuan menikmati keindahan tubuh seorang mahkluk ciptaan Tuhan. Tapi Becca juga tidak mau munafik bahwa dia menyukai pemandangan seperti tadi. Hal itu cukup untuk membuat gelora panas dalam dirinya menjadi membara.
Kenapa dia bisa sesantai itu sih nanggepinnya? Gue 'kan jadi makin malu. Gerutu hati kecil Becca yang masih tidak terima karena ketahuan.
"Sorry, gue enggak sengaja ngelihatin lo tadi." katanya tanpa berani menatap ke arah Vanko.
"Sengaja juga gue enggak masalah kok."
Ih... Ini orang kenapa ngajak ribut banget sih? Gue tuh enggak bisa diginiin. Lemah rasanya.
Becca hanya bisa mengeluh dan meratapi di dalam hati saja. Dia tidak memiliki keberanian buat berkata langsung ke Vanko.
Tittt!
Bunyi bel membuat pikiran mereka teralihkan. Keduanya sama-sama berjalan menuju pintu tapi Vanko segera mencegah Becca.
"Biar gue aja, takutnya di luar ada orang suruhan Mama lo." katanya membuat Becca auto diam.
Akhirnya Becca mengangguk mengiyakan dan membiarkan Vanko membukakan pintu. Ternyata benar dugaan mereka, yang datang adalah driver gofood yang mengantarkan makanan pesanan Becca.
Tak sampai satu menit, Vanko sudah kembali ke sofa sambil membawa makanan yang dipesan Becca tadi. Tapi sekarang dia sudah mengenakan kaos.
Mata Becca berbinar-binar melihat banyaknya makanan yang dia pesan. Semua yang ada di depannya itu adalah makanan yang dia rindukan selama di Los Angeles.
"Selera makan lo ya, bener-bener gak bisa ditebak." kekeh Vanko sambil berjalan ke wastafel buat cuci tangan terlebih dahulu sebelum makan, sementara Becca sudah cuci tangan lebih dulu ketika dia menunggu Vanko mengambil makanannya.
"Kenapa? Emang ada yang salah sama tempe goreng? Di Amrik enggak ada kayak gini." curhatnya sambil menarik satu kotak berisi satu porsi nasi mawut.
Benar, Becca memesan dua porsi nasi mawut, satu porsi sate kelinci, bakso setan level satu dan tempe mendoan. Sangat merakyat sekali selera makan Becca malam hari ini. Tapi memang, dia bukan tipe orang yang suka pilih-pilih makanan dan lebih memilih mengikuti lidahnya yang tidak bisa ditebak.
"Ya ampun, kasian banget di sana enggak nemu tempe."
Dengan sengaja Vanko meledek Becca dan lagi-lagi dia sambil mengusap puncak kepala Becca pakai tangan kirinya.
"Lo tuh harusnya bersyukur, tiap hari bisa makan tempe."
Tawa dari Vanko menghiasi acara makan malam mereka. Tapi tak berselang lama, karena Becca lebih memilih fokus pada makanannya. Begitu pula Vanko yang tidak ingin mengganggu kesenangan Becca. Dia hanya bisa tersenyum dan tertawa setiap melihat gadis di sampingnya ini memuji rasa makanannya.
Tak butuh waktu lama bagi mereka berdua menghabiskan makanan. Kini Vanko dan Becca sudah sama-sama selesai dan keduanya masih betah duduk di sofa usai membereskan bekas wadah makanan mereka.
Televisi kembali menyala, tapi sekarang acaranya sudah bukan berita. Mereka memutuskan buat menonton sinetron anak SMA. Walau sebenarnya mereka juga tidak benar-benar mengikuti jalan ceritanya.
"Oh ya, tadi lo udah selesai pinjem HP?" Vanko memulai pembicaraan karena tak enak juga kalau terus-terusan diam.
"Udah kok. Tapi tadi gue pakai saldo lo, nanti pasti gue ganti kok kalau gue beres bikin m-banking secara online."
Tentu saja, rasanya tidak enak kalau harus memakai uang Vanko buat membeli barang kebutuhannya sendiri terus menerus. Becca juga punya malu untuk itu. Dia sudah numpang hidup di apartemennya, makan lagi-lagi dibelikan, jadi setidaknya Becca ingin membeli barang dengan uangnya sendiri.
"Enggak perlu sungkan sama gue. Lo kayak ke siapa aja sih. Pakai aja, gue gak papa kok."
Bukan maksud ingin menyombongkan diri atau ingin menjadi sok pahlawan di depan Becca. Vanko melakukan ini karena memang semata-mata dia ingin membuat Becca senang dan merasa Becca masih memilikinya. Menurut Vanko, tidak salah kalau ingin membuat Becca nyaman bersamanya.
"Plase, jangan ditolak. Gue enggak mau punya banyak hutang ke lo. Gue udah makasih banget karena udah ditampung di sini, jadi jangan terlalu manjain gue, Van. Gue takut kalau nanti gue lupa sama kenyataan. Gue takut ngelunjak jadi orang." katanya panjang tanpa ingin menutupi perasaannya.
Setelah mendengar apa yang dikatakan Becca, mau tak mau akhirnya Vanko mengangguk menerima. Dia tidak akan menolak uang ganti dari Becca lagi nanti.
"Jujur aja, padahal gue seneng kalau lo mulai ngelunjak sama gue. Itu berarti lo masih ada rasa buat gue." lirih, tapi cukup jelas.
Becca terdiam, entah kenapa setelah mendengar itu hatinya jadi campur aduk rasanya. Antara senang dan sedih. Tiba-tiba ingatan masa lalu berkelebat di depannya.
"Bukannya lo sukanya sama Zulla?" tanyanya sambil membalas tatapan tajam Vanko namun tidak menyeramkan.
"Lo mabuk ya?!" sentak Zulla setelah dia mendengar Vanko mengatakan tentang perasaannya yang sebenarnya.
"Gue sukanya sama lo, Zul. Bukan sama Becca. Jadian sama dia itu sebenarnya cuma gue jadiin cara doang buat bikin lo cemburu. Tapi sampai sekarang, gue belum pernah lihat lo cemburu ke Becca." lanjut Vanko setelah mengungkapkan perasaannya ke Zulla.
Plak!
Satu tamparan mendarat di wajah tampan Vanko. Tangan Zulla bergetar seketika, dia antara menyesal dan tak menyangka bisa sampai menampar wajah Vanko seperti barusan.
"Lo jahat tahu enggak? Tega lo nyakitin hati temen baik gue. Emang lo pikir, lo siapa bisa seenaknya mainin perasaan Becca? Lo ngerasa orang paling ganteng se-Jakarta? Lo pikir, Becca enggak bisa hidup tanpa lo gitu?" cecar Zulla sambil menunjuk-nunjuk wajah Vanko.
"Lo salah. Gue bisa bikin Becca kembali tersenyum setelah dia putus dari cowok b******k kayak lo. Jangan lo pikir, lo segalanya buat dia." lanjut Zulla karena sudah saking emosinya jadi dia juga tidak bisa mengontrol ucapannya sendiri.
Kemarahan di dalam diri Zulla terlihat begitu jelas. Tidak ada teman yang rela melihat teman baiknya menderita, terlebih lagi karena laki-laki. Itu yang dirasakan Zulla sekarang.
"Gue enggak peduli sama Becca, Zul. Gue cuma peduli sama perasaan gue sendiri. Gue sukanya sama lo, maunya lo dan gue akan tetap berjuang buat dapetin lo."
Tanpa disangka, Vanko terlihat seperti pengemis cinta malam hari ini. Dia tampak begitu menyedihkan karena ditolak mentah-mentah oleh Zulla.
"Gue mohon, terima perasaan gue, Zul."
Plak!
Bukannya mendapatkan hatinya Zulla, lelaki itu malah kembali mendapatkan gamparan dari gadis itu. Tangan Zulla sudah terkepal kuat-kuat. Masih untung Zulla tidak melayangkan tinju ke wajah Vanko.
"Gue bakal ngasih tahu Becca sekarang juga tentang kegilaan lo! Dia enggak pantes lo mainin kayak gini!" suara Zulla kembali meninggi untuk Vanko.
Angin malam yang seharusnya terasa dingin, tapi tidak untuk kali ini. Mereka sama-sama dilanda kegerahan dan panas yang entah kapan akan mereda.
Nafas Zulla sampai memburu bagaikan orang sedang berolahraga berat. Padahal ini hanyalah perdebatan antar teman. Namun cukup untuk membuat Zulla berkeringat.
"Gue sebenarnya udah tahu tentang semua itu, Zul. Dan gue gak pernah menyesali keputusan gue sendiri."
Sebuah suara dari arah lain mengagetkan mereka berdua. Ketika Vanko dan Zulla menoleh, mata mereka menangkap ada Becca yang baru saja datang.
Antara keduanya sama-sama kaget karena tak menyangka kalau Becca akan mengikuti mereka sampai di sini. Padahal Vanko sudah mengajak Zulla ke tempat yang sepi orang dan minim pencahayaan.
"Lo jahat, Van."
Bukan. Barusan bukanlah suara Becca, tapi itu suara Lingga. Lelaki itu tadi mengikuti ke mana Becca pergi dan sampailah di sini. Dia juga ikut mendengar apa saja yang sudah Vanko dan Zulla bicarakan.
"Kalian kenapa bisa ada di sini?" tanya Zulla sedikit gugup, karena dia takut Becca akan lebih sakit hati dari sebelumnya.
Bibir Becca mengeluarkan suara tawa ringan. Tapi hal itu malah membuat Zulla semakin tak karuan. Padahal dia bukan selingkuhannya Vanko atau berniat main di belakang dengan lelaki itu. Tapi rasanya seperti sedang kepergok selingkuh.
Sebelum menjawab, Becca menarik napasnya dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Dia tidak ingin emosi untuk sekarang, karena Becca tahu bahwa mereka berdua akan emosi setelah mendengar apa yang sebentar lagi dia katakan.
"Gue emang egois. Gue enggak peduli Vanko sukanya sama siapa. Mau ke gue atau ke lo, Zul. Selama ini gue pura-pura gak tahu, karena gue pengen tetep jadi pacarnya. Walau dia enggak punya perasaan cinta buat gue." jelasnya sambil memperlihatkan senyuman tipis yang, namun tersirat kesakitan di dalamnya.
Duaarrrr!
Mereka bagaikan mendengar ban meletus di tengah malam saat kondisi sedang tidur pulas. Rasanya sangat mengagetkan dan mengejutkan hingga membuat jantung berdetak lebih cepat.
Tubuh Zulla rasanya lemas mendengar penjelasan Becca. Dia tidak tahu, kalau selama ini temannya sudah menderita. Andaikan Zulla tahu tentang hal ini jauh-jauh hari, dia pasti tidak akan membiarkan Becca mendapat luka lebih banyak dari ini.
"Bec, bilang kalau apa yang lo ucapin barusan itu bohong." ujar Zulla lirih.
"Gue yang salah di sini. Karena meski gue tahu gimana perasaan Vanko yang sebenarnya, gue tetep mau jadi ceweknya." Becca bukan menyahuti kata-kata Zulla, dia hanya mengatakan apa yang ingin dia beritahukan kepada mereka.
"Rela gue terluka setiap detik demi kebahagiaan yang akan gue dapatkan dalam setiap detiknya pula. Satu detik buat rasa sakit, dan satu detik buat rasa bahagia karena gue punya status pacar di hidup Vanko. Kalaupun dia tetep enggak bisa cinta ke gue dan akhirnya kita putus, gue enggak nyesel karena gue bisa menyandang status sebagai mantan pacarnya." lanjut Becca lagi tanpa punya rasa takut kalau dia akan dipandang rendahan oleh mereka berdua.
Tak menyangka. Kedua mata Zulla sampai berkaca-kaca mendengar semua perkataan Becca barusan. Tidak pernah sekalipun terpikirkan olehnya bahwa sebenarnya Becca tidak memiliki kisah cinta yang bahagia. Padahal, selama ini Zulla benar-benar melihat Becca tersenyum dan tertawa. Namun ternyata, semua itu tidak bisa menandakan bahwa dia benar-benar bahagia.
"Kecewa tahu gak gue sama lo. Pinter banget lo selama ini meranin karakter orang yang selalu bahagia. Padahal lo bisa beneran bahagia meski gak sama cowok b******k ini." tunjuk Zulla ke arah Vanko.
"Gue enggak pura-pura bahagia kok. Gue emang beneran bahagia kalau gue sama Vanko. Hal yang enggak akan bisa gue dapetin selain jadi pacarnya." jawabnya penuh rasa percaya diri.
Tak habis pikir. Cinta membuat semua hal menjadi buta dan tidak masuk logika. Zulla sampai memijat pelipisnya sendiri memikirkan satu temannya yang seperti itu.
"Keterlaluan tahu gak lo. Kecewa gue sama lo. Kalau lo bilang lebih dulu, gue enggak akan bikin lo sakit hati sampai sejauh ini." Vanko pun ternyata berani menyahut.
Becca diam saja sambil menundukkan kepala karena memang dia merasa bersalah pada mereka. Walau aslinya, dari segi manapun juga dia tidak salah. Becca adalah korbannya.
"Gak punya otak ya lo ternyata. Udah tahu kalau gue enggak pernah suka ke lo, tapi lo enggak pernah nyoba buat lepasin atau bantuin gue buat deket sama cewek yang gue suka."
Damn!
Tentu rasanya sakit setelah mendengar kata-kata kejam itu dari bibir lelaki yang dia cinta. Becca tidak menyangka kalau Vanko akan berkata demikian kasar padanya.