Satu gelas air putih berhasil dihabiskan oleh Becca. Kondisinya sudah tidak separah tadi. Dan tubuhnya sudah tidak segemetar tadi seiring bekerjanya obat yang barusan dia minum.
Vanko membawa Becca kembali ke apartemen atas permintaan Becca yang terus-menerus ingin pulang sambil menangis. Tentu saja hal itu membuat Vanko tidak tega. Hingga akhirnya, saat polisi sudah berhasil mengatur lalu lintas, Vanko langsung membawa Becca pulang. Lagi pula, andaikan tadi Becca tidak meminta pulang pun, Vanko akan tetap membawanya pulang. Dia tidak setega itu untuk membawa Becca bepergian di kala kondisinya kurang baik.
Perlahan tapi pasti, Vanko mengusap pipi Becca yang basah oleh air mata. Belum pernah Vanko melihat Becca terguncang sampai seperti ini, walau ini bukan tangisan pertama yang Vanko lihat. Namun tetap saja, di setiap apa yang Becca tunjukkan selalu membuatnya terkejut seolah itu adalah kejutan untuknya.
Kini Vanko menggenggam tangan Becca agar tangannya berhenti gemetar. Tak menunggu lama, Becca sudah jauh lebih mendingan. Dia sudah lebih tenang. Tanpa segan, Vanko menarik tubuh Becca agar bersandar ke d**a bidangnya.
"Bersandar sepuas lo." katanya membuat Becca langsung melingkarkan kedua tangannya ke perut Vanko.
Mereka bertahan selama lima belas menit dalam posisi itu dan lumayan membuat Vanko jadi pegal. Namun tak apa, asal Becca merasa tenang maka dia akan menahannya selama yang dia bisa.
Sampai akhirnya, tiga puluh menit berlalu. Becca melepaskan pelukannya dan duduk tegap. Dia menarik napas dalam-dalam kemudian dia embuskan secara perlahan pula. Begitu terus sampai Becca ulangi sebanyak tiga kali.
Vanko masih berusaha menenangkan Becca. Dia mengusap lembut rambut keriting Becca, berharap itu bisa membantu memperbaiki suasana hati Becca.
"Sorry, gara-gara gue begini, kita gagal jalan-jalan." ujarnya pelan sambil melepas hoodie yang masih dia kenakan karena merasa gerah usai menangis dan histeris.
Melihat bahwa Becca tidak memiliki cukup tenaga buat menarik hoodie, Vanko langsung membantu melepaskannya. Sementara Becca memegangi kaosnya agar tidak ikut tertarik ke atas.
"Lo gak usah mikirin yang lain-lain, yang penting sekarang lo enggak kenapa-napa."
Dengan penuh perhatian, Vanko membantu Becca berbaring di tempat tidur lalu dia duduk di samping bantal Becca.
"Gue temenin sampai lo tidur."
Benar saja, Vanko terus duduk di sana sambil mengusap-usap punggung Becca. Siapa tahu, kalau dia melakukan ini maka Becca akan terlelap. Tapi ternyata tidak, Becca terus melihat ke depan tanpa minat.
“Apa mau gue pesenin makan dulu? Lo belum makan siang loh.”
Kepala Becca menggeleng menanggapi pertanyaan Vanko. Di saat seperti ini, tidak ada nafsu makan sama sekali buat Becca. Mereka kembali terdiam, lebih dari lima menit sudah berlalu.
"Van..." panggil Becca lirih namun bisa didengar jelas oleh Vanko.
"Eung... Kenapa? Lo butuh sesuatu atau kenapa? Mau delivery?" cepat sekali Vanko menanggapinya karena tak ingin membuat Becca menunggu terlalu lama.
Kepala Becca menggeleng lagi secara pelan, dan itu bisa dirasakan oleh Vanko yang memang sengaja menemani Becca di sana.
"Gue mau cerita sedikit tentang malam sehabis kita bertengkar di acara party ulang tahun sekolah waktu itu." katanya mencoba memberanikan diri.
Dengan nada rendah, Becca berhasil mengatakannya. Dia sudah menata hati dan mentalnya agar mampu melewati momen ini. Karena mau sekarang atau nanti, rasanya akan tetap sama dan tetap harus dia bagi tahu pada Vanko.
"Kalau lo belum sanggup cerita, jangan dipaksakan. Gue bisa denger kapan aja kok."
Tentu, karena ingin menjadi pasangan yang baik buat Becca, maka Vanko tidak akan memaksa gadisnya mengingat kejadian waktu itu yang tidak Vanko ketahui sama sekali. Karena kemarin Becca meminta waktu, jadi bisa Vanko tebak bahwa itu sangat menyakitkan untuk Becca.
Hari mulai sore, dan matahari perlahan-lahan pun mulai meninggalkan sang awan siang. Langit sore ini tampak begitu cantik dengan warna merahnya. Bisa dilihat jelas dari kaca jendela kamar Vanko, cahayanya mulai menurun dan lama kelamaan, hilang tertelan malam.
"Sehabis lo ninggalin gue sendirian, gak lama gue dapet telfon dari rumah kalau gue harus segera pulang."
Walau sudah dilarang, tapi Becca tetap ingin bercerita ke Vanko sekarang juga. Dia tidak mau menunda-nunda lagi, dan Becca takut kalau terlalu lama ditunda nanti yang ada malah dia lupa buat bercerita.
"Sesampainya gue di rumah, Mbok Gendis ngasih tahu kalau Papa gue meninggal dunia. Dan malam itu juga, gue harus terbang ke Los Angeles sama Mbok Gendis buat hadir ke pemakanan beliau."
Syok!
Ternyata kepergian Becca yang secara tiba-tiba waktu itu karena ini. Vanko benar-benar dibuat kaget. Kalau dia tahu Becca akan mendapat kabar semenyakitkan itu, pasti Vanko tidak akan mengatakan kata-kata buruk pada Becca dan dia akan lebih menjaga ucapannya. Akan tetapi, Vanko bukan peramal yang bisa memprediksikan apa yang akan terjadi. Dia juga tidak memiliki cenayang yang bisa dia memberi tahunya kapan saja.
"Kita harus pergi secepatnya, Non." Gendis mengingatkan Becca agar putri majikannya itu bisa menyudahi tangisnya dan segera bersiap buat berangkat ke Los Angeles.
Tak ada pilihan lain, Becca langsung mengemasi barang-barang yang ingin dia bawa. Tidak banyak yang Becca bawa, hanya beberapa perlengkapan yang mungkin saja akan dia butuhkan mendadak. Dia bahkan tidak membawa banyak pakaian.
"Papa pasti bohong 'kan, Mbok? Tadi sore Papa tadi masih nelfon aku dan Papa kedengeran baik-baik aja, Mbok."
Di dalam mobil menuju bandara, Becca masih saja bertanya. Bagaimana bisa dia percaya begitu saja, sementara tadi Becca benar-benar mendengarkan suara Jordan dalam panggilan telepon mereka.
Waktu berlalu, tak terasa tibalah Becca di Bandar Udara Internasional Los Angeles tepat pukul delapan pagi. Sesampainya di bandara, di sana sudah ada sopir yang menunggu Becca. Mereka segera menuju kediaman Williams yang mungkin saja sudah ramai oleh pelayat.
Sepanjang jalan, Becca tidak bisa membendung isak tangisnya. Dia tadi sempat bertanya pada sopir keluarga yang menjemputnya, dan sopir itu juga menjawab bahwa memang papanya sudah tidak bernyawa.
"Ish... Kenapa harus ketemu sabtu lagi sih?" dengusnya kesal jika teringat apa yang terjadi di party sekolah.
Becca berada di pesawat kurang lebih selama dua puluh empat jam. Dan waktu antara Jakarta serta Los Angeles beda lima belas jam dan lebih dulu Jakarta. Jadi wajar saja kalau Becca berangkat dari Jakarta hari sabtu malam, tiba di Los Angeles hari sabtu pagi karena kalau menilik ke Jakarta, sekarang pasti sudah hari minggu jam sebelas malam.
Berada di hari sabtu lagi, membuat Becca merasa bahwa dia terjebak di hari itu bersama segala luka yang menyerangnya secara bersamaan.
Saat sedang fokus dengan pikirannya, tiba-tiba Becca merasa tubuhnya tertabrak sesuatu.
Mobil yang ditumpangi Becca terdorong oleh bumper depan dari mobil yang melaju dari arah kanan. Kecelakaan terjadi begitu saja di pagi hari seperti ini.
Samar-samar, Becca bisa mendengar suara orang menjerit histeris. Tubuhnya di dalam mobil terombang-ambing bagaikan bermain di awan bebas, meski dia tertahan oleh sabuk pengaman.
Dentuman yang cukup keras membuat telinga Becca lebih dari berdengung. Darah mengalir dari telinganya dan dia merasa sakit di sekujur tubuhnya. Tangannya yang menggenggam jemari Gendis pun terlepas begitu saja. Gadis itu ketakutan walau ini belum gelap.
Mobil itu akhirnya bisa berhenti walau akhirnya bagian depan harus menabrak sebuah pohon palem yang ada di sisi jalan. Saat itu, Becca sudah tak sadarkan diri. Dia tidak tahu lagi apa yang terjadi setelah itu.
"Karena kecelakaan itu, gue koma selama satu tahun."
Cerita Becca sangat terdengar memilukan. Hal yang membuat Vanko benar-benar tak menyangka, bahwa gadis yang dia tunggu selama ini mengalami kesulitan yang bahkan tak bisa Vanko bayangkan.
Matanya berkaca-kaca mendengar ini. Hatinya terluka, dan jiwanya memanas. Ternyata selama ini dia tidak tahu apa-apa tentang Becca. Vanko merutuki kebodohannya sendiri yang tak mengetahui bahwa gadisnya terluka amat parah.
"Karena kecelakaan itu, gue bahkan gak bisa nganter Papa gue ke tempat peristirahatan terakhirnya hiks..."
Tangis yang ditahan oleh Becca sedari tadi, akhirnya pecah juga. Gadis itu menangis sampai tersedu-sedu sembari meremas jemari Vanko. Becca tampak seperti orang yang sedang menyalurkan rasa sakitnya.
Di situasi seperti ini, Vanko tidak tahu kenapa lidahnya terasa kaku. Dia seolah membeku dalam waktu sekejap. Dia menahan sekuat mungkin agar tidak ikut menangis ketika membayangkan betapa sakitnya Becca kala itu. Yang bisa dia lakukan sekarang, hanya membalas remasan tangan Becca dan mengusap punggung gadis di sampingnya itu.
"Pas gue bangun, ternyata udah ganti tahun. Gue gak nyangka, kalau gue bisa tidur selama satu tahun penuh." katanya lagi setelah bisa menetralkan tangisnya.
Vanko tidak tahan, dia langsung menarik Becca agar gadis itu terduduk dan dia membawa Becca ke dalam pelukannya. Dipeluknya erat-erat tubuh Becca, seolah dia akan menjadi obat terampuh yang bisa menyembuhkan luka hati Becca melalui pelukan.
Tangisan Becca semakin menjadi-jadi. Kenangan menyakitkan di masa lalu membuatnya kembali jatuh. Dan Becca tersadar, kalau selama delapan tahun kemarin, dia merindukan pelukan ini.
Gadis itu sering kali berandai-andai. Andaikan Vanko ada di sampingnya, apa kejadiannya tidak akan sama. Andaikan Vanko setiap hari memeluknya, apa dia tidak akan pernah merasa putus asa. Andaikan Vanko benar-benar mencintainya, apakah Becca akan merasa bahagia.
Andaikan, andaikan, andaikan, dan andaikan. Masih banyak kata andaikan yang terlintas di kepala Becca. Dia bahkan sampai tak mampu mengingat semuanya.
"Maaf, karena selama ini gue gak tahu kalau ternyata lo begitu menderita." Vanko baru bisa bicara.
Akhirnya Vanko mengerti sekarang, kenapa Becca bisa trauma saat melihat kecelakaan dan mendengar suara sirine ambulans. Hal itu karena memang pernah Becca alami sendiri saat delapan tahun lalu.
Gue gak pernah bayangin kalau ternyata lo selama ini mengonsumsi obat-obatan buat PTSD. Gumam Vanko dalam hati, yang terasa amat sesak bahkan pengap.
Saat melihat gejala Becca di mobil tadi, Vanko memang mengira bahwa Becca mengidap PTSD, tapi dia tidak mau mencurigai gadis yang dia sukai. Vanko membuang jauh-jauh pikiran buruknya, namun pada kenyataannya memang seperti itu.
"Maaf, karena gue ninggalin kenangan pahit buat lo sebelum lo pergi. Harusnya gue bisa ngasih kenangan manis buat lo."
Satu kecupan Vanko berikan ke ubun-ubun Becca, cukup lama. Vanko hanya ingin membuat Becca percaya bahwa dia tidak sendirian lagi sekarang.
"Lo boleh ngelakuin apa aja ke gue, atau lo boleh minta apa aja dari gue. Anggep aja itu sebagai bentuk maaf gue karena sudah nyakitin lo waktu dulu."
Becca mendongakkan kepalanya, dia melihat Vanko lekat-lekat. Dari tatapan wajahnya, bisa terlihat jelas kalau Becca sangat berharap banyak padanya.
"Kalau gitu, boleh gak kalau gue minta lebih banyak waktu lo? Gue gak minta lo terus sama-sama gue dan lalai atas pekerjaan lo. Gue juga gak sekekanak-kanakan itu. Gue cuma mau, di dalam langkah lo selalu ada gue dan setiap kali gue jalan, gue mau lo selalu ada di samping gue." tanyanya serius, penuh dengan harap.
Kini, Becca melepaskan pelukan Vanko dan ganti menghapus air matanya. Dia berusaha menghentikan isak tangisnya.
"Lo tahu 'kan, kalau gue orang yang egois? Mau dulu atau sekarang, gue masih begitu. Gue emang egois dan enggak tahu malu. Itulah gue, yang sampai detik ini pun gue masih pengen egois buat dapetin lo."
"Gimana? Lo setuju?"
Becca menghela napas usai berkata demikian. Tiba-tiba saja wajahnya memerah, karena malu sudah bicara tanpa berpikir terlebih dahulu.
"Hahaha... Lupain, gue tahu kalau permintaan gue konyol. Mana mungkin lo mau nurutin apa ma-"
"Gue mau."
Skak. Becca terdiam. Gadis itu tidak lagi dapat berbicara setelah Vanko menyetujui keinginannya.
"Delapan tahun gue nunggu lo kembali ke gue. Jadi mana mungkin gue nolak permintaan lo gitu aja." lanjutnya tanpa menunggu tanggapan Becca terlebih dulu.
"Jadi, ayo kita lakukan bersama. Saling melengkapi, dan saling mengisi." kata Vanko lagi.
Tatapan mata mereka tak bisa lepas satu sama lain. Keduanya seperti sama-sama terhipnotis dan menghipnotis. Tidak ada yang mau melepaskan pandangan itu meski waktu terus berjalan.
Tringgg...!!! Tringgg...!!!
Hingga akhirnya, suasana itu harus terpecahkan oleh suara ponsel di dalam saku celana Vanko. Lelaki itu segera melihatnya, dan yang meneleponnya sekarang adalah orang yang bahkan suaranya sedang tidak ingin dia dengar.
"Kenapa gak diangkat?" Becca mencoba menetralkan kondisi jantungnya agar berdetak seperti semula yang berdegup kencang setelah tadi dia hampir kehabisan nafas karena bertatap muka dengan Vanko dalam waktu yang cukup lama.
Mau tak mau, Vanko akhirnya menerima panggilan itu di detik-detik terakhir. Baru juga diangkat, Vanko sudah mendengar suara umpatan dari seberang karena terlalu lama menerima panggilan.
"Apa tidak bisa besok pagi saja?" tanyanya sembari melirik ke arah Becca.
"Tapi sekarang saya sedang tidak bisa." katanya lagi.
"Tap-tapi, tapi."
Sambungan telepon terputus. Vanko hanya dapat melihat layar ponselnya, seolah ponsel itu adalah orang yang membuatnya kesal sekarang.
"Kenapa?"
"Gue ada urusan penting dan mendadak, tapi gue gak mau ninggalin lo sendirian dalam keadaan seperti ini."
Tentu saja, itu membuat Vanko berat. Dia ingin menemani Becca tanpa beranjak sebentar saja. Tapi malah yang ada, dia harus pergi ke tempat di mana teman-temannya berkumpul bersama.
"Kenapa masih diem di sini? Pergi aja, gue gak kenapa-napa kok." katanya sembari tersenyum menatap Vanko.
"Tapi gue khawatir sama kondisi lo yang habis terguncang. Mana mungkin gue tega ninggalin lo gitu aja."
"Udah pergi aja. Gue enggak kenapa-kenapa kok, gue sehat-sehat aja. Gue bisa di rumah sendirian."
Vanko berada dalam dilema, orang yang meneleponnya itu juga penting, tapi dia juga tidak bisa mengabaikan orang di sampingnya ini.
"Gue baik-baik aja. Lagi pula, gue udah biasa sendirian."
Dengan berat hati, Vanko akhirnya berdiri dan membantu Becca kembali berbaring. Dia juga menyelimuti tubuh Becca penuh kasih sayang.
"Ya udah, gue pergi dulu. Tapi kalau semisal nanti lo kenapa-napa, langsung kabarin gue. Langsung telepon gue, jangan ditunda-tunda lagi."
Kepala Becca mengangguk berulang kali. Dia paham akan hal-hal seperti itu sekarang.