11. Wajarkah?

2205 Kata
April, 2014. Los Angeles, California, Amerika Serikat. Satu bulan sudah Becca berbaring di atas brankar dengan bantuan banyak sekali peralatan medis yang menempel di tubuhnya. Gadis itu bisa dibilang masih beruntung karena masih tertolong meski mengalami luka parah. Sementara sang sopir, dinyatakan meninggal dan Gendis malah sudah lebih dulu siuman. Di satu minggu pertama, Gina sangat sering ke rumah sakit. Bahkan setiap hari dia selalu menemani anak gadisnya. Tapi di minggu kedua, Gina hanya datang sebanyak empat kali dalam seminggu. Berlanjut ke minggu ketiga, dia hanya datang sebanyak tiga kali dan itupun sangat sebentar. Sementara di minggu keempat, Gina belum sekali pun menjenguk Becca. Seseorang yang selalu setia menemani Becca hanyalah Gendis. Asisten rumah tangga itu tak pernah pergi dari sisi Becca. Walau kondisinya juga belum terlalu baik dan masih butuh perawatan. Pintu ruang rawat tiba-tiba terbuka. Ternyata yang barusan datang adalah Gina bersama sekretarisnya. Gendis sontak berdiri dan menyapa majikannya. "Tidak perlu berdiri, Bibik duduk saja." titah Gina seraya menggerakkan tangannya memberi isyarat agar tetap duduk. "Njeh, Bu." Gendis menurut saja dan tidak banyak tanya. Namun dia tetap menunjukkan sikap hormatnya pada sang majikan. "Bik..." "Iya, Bu. Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya dengan logat Jawanya. "Saya akan ke Jakarta sekarang juga buat mengurus kepindahan sekolah Becca ke sini. Saya tidak mau Becca berurusan dengan hal yang ada di Jakarta lagi, termasuk teman-temannya di sana." Dengan sangat entengnya, Gina mengatakan ini tanpa tahu bagaimana perasaan Becca yang katanya orang koma tetap bisa mendengar apa yang dikatakan orang lain di sekitarnya. "Mana ponselnya Becca?" Gina menatap asisten rumah tangganya yang masih berdiri di sampingnya. "Tapi, Bu. Nanti kalau Non Becca sadar, bagaimana?" Tatapan mata Gina tidak bersahabat sekarang ini. Dia terus melihat bola mata Gendis, layaknya orang sedang mengintimidasi. Akhirnya, mau tak mau Gendis pun mengambil ponsel milik Becca dan menyerahkan kepada Gina. Mereka juga sama-sama heran, pemilik ponselnya mengalami luka parah tapi telepon genggamnya tidak kenapa-napa dan selamat. Gina langsung menghapus semua akun media sosial Becca. Tidak ada satupun yang tersisa. Bahkan Gina juga menghapus semua nomor kontak teman-teman Becca tanpa terkecuali. "Buang ke tempat yang jauh HP-nya, Bik. Nanti kalau Becca sadar dan nanyain HP ini, bilang saja kalau HP-nya rusak dalam kecelakaan." jelasnya sembari mengembalikan ponsel itu ke Gendis. "Iya, Bu. Nanti akan saya buang." "Ya sudah, saya pergi dulu. Nitip Becca, kalau dia siuman, segera kabari saya." Hanya itu pesan Gina sebelum beranjak dari rumah sakit. Dan tak lama, Gina benar-benar pergi dari sana. Kini hanya tersisa Gendis saja di ruang rawat Becca. Wanita paruh baya itu segera membalikkan badannya dan kembali duduk di samping Becca. "Ya Gusti, mesakke men koe, Nduk, cah ayu." Gendis tak bisa membendung rasa sedihnya, dia bahkan sampai menangis melihat nasib Becca yang seperti ini. Tapi tak lama, Gendis malah dikagetkan oleh air mata yang mengalir dari kelopak mata Becca. Mata tertutup itu meneteskan air mata. Becca sedang menangis saat ini. "Non Becca denger apa yang dibilang Bu Gina? Ya ampun, Non. Bibik janji, enggak akan buang HP-nya Non Becca. Bakal Bibik simpen baik-baik sampai nanti waktunya tiba, bakal Bibik balikin ke Non Becca." jelas Gendis yang berusaha menghibur Becca sebisanya. Tangisan masih berlangsung. Air mata Becca belum juga berhenti mengalir, dan itu semakin membuat Gendis kasihan. Tapi tidak ada yang bisa Gendis lakukan selain menemani dan memberikan dukungan pada Becca. *** Jakarta, Indonesia. "Eh.. Eh... Lo udah tahu belum? Akunnya Becca hilang semua." Lingga tiba-tiba membuat Zulla berhenti makan. Kedua anak manusia itu sedang menikmati jam kosong di kelas sambil menikmati jajanan. Tapi tiba-tiba saja Lingga heboh membicarakan bahwa akun media sosial Becca tidak ditemukan. Bukan diblokir, tapi memang akunnya dihapus. "Bohong ah lo, kemarin lusa gue lihat masih ada kok." Zulla menganggap bahwa ucapan Lingga hanyalah sebuah candaan. "Cek sendiri kalau lo enggak percaya. Bukan cuma i********: yang dihapus, tapi twitter juga hilang. Akun medsos dia yang lainnya juga enggak ada semua." Lingga memperlihatkan ponselnya kepada Zulla agar gadis itu percaya. Diletakkannya snack yang tadi dipegang oleh Zulla ke meja. Dia segera merebut ponsel Lingga dan melakukan pencarian, tapi apa yang dikatakan Lingga memang benar adanya. Karena masih tak percaya, Zulla akhirnya pindah ke ponselnya sendiri namun hasilnya tetap sama. "Kenapa gak ada? Kenapa dia menghapus semua akun sosmednya? Kenapa Becca ngelakuin ini?" Zulla auto panik karena sekian kali dia mencari nama pengguna yang Becca pakai, selalu tidak ditemukan. Di bangku belakang, Vanko hanya mendengarkan. Dia masih fokus ke bukunya, walau sebenarnya dia menyimak semua yang Lingga dan Zulla obrolkan. Terlebih lagi, ini tentang Becca. "Pasti Becca punya alasan sendiri. Enggak usah terlalu panik. Nanti juga akan ada saatnya Becca ngehubungin kita lagi." Kalimat penenang yang dipakai Lingga tidak mujarab bagi Zulla. Gadis itu sangat mencemaskan teman dekatnya yang tidak tahu di mana keberadaannya dan bagaimana kabarnya. Teetttt! Teetttt! Teetttt! Jam pelajaran sudah berganti. Sekarang waktunya bertemu dengan guru matematika yang juga sebagai wali kelas. Zulla langsung memasukkan snack miliknya ke kolong meja agar tidak ketahuan guru. Tak sampai lima menit, guru perempuan sekitar berusia empat puluh tahunan sudah memasuki ruang kelas. Beliau melihat satu persatu muridnya lalu beralih ke arah papan absen. "Tolong yang piket hari ini, nama Becca di papan absen dihapus. Dan untuk seterusnya, tidak perlu lagi ditulis karena Becca Areera sudah bukan murid SMA Vertusa lagi per hari ini." Tina, wali kelas yang juga guru matematika itu memberikan informasi langsung lengkap terperinci agar dia tidak harus mengulangi kata-katanya lagi. Zulla mengulurkan tangan ke atas, siap memberikan pertanyaan. "Ya, kenapa, Zulla?" "Becca dikeluarkan, Bu?" tanyanya karena memang penasaran. "Bukan, tapi dia pindah sekolah." "Ke mana pindahnya, Bu?" Bukan hanya Zulla saja yang berharap bisa tahu ke mana Becca pindah, tapi Vanko juga iya. Walau lelaki itu hanya diam, tapi dia sebenarnya sangat memerhatikan dan menunggu jawaban dari Tina. "Kalau masalah itu, dari keluarga Becca meminta untuk pihak sekolah merahasiakannya. Jadi maaf, Ibu tidak bisa memberi tahu." Kecewa sekali Zulla mendengar ini, padahal dia harap kalau dia bisa bertemu lagi dengan Becca. Tapi sepertinya, tidak semudah itu. "Berarti tadi Becca ke sini dong, Bu?" kali ini Lingga yang mengajukan pertanyaan karena dia juga penasaran. "Hanya Mamanya yang ke sini, tidak dengan Becca." Sudut bibir Vanko terangkat ke atas sebelah. Dia tersenyum sinis usai mendengar jawaban Tina. Sampai sebegitunya lo menghindar dari kita semua? Tanya Vanko hanya di dalam hati saja. *** Di depan cermin, Becca tak bisa berhenti menatap wajahnya sendiri sambil terus menggosok gigi. Kedua matanya masih bengkak akibat menangis semalam. Kembali teringat apa yang dia alami kemarin, Becca tak bisa menghindar dari rasa malu. Dia terus merutuki dirinya sendiri namun setiap dia selesai menyalahkan dirinya, Becca lalu menenangkan dirinya sendiri pula. "Enggak, itu bukan kemauan atau kehendak gue buat punya PTSD. Itu murni karena gue masih punya trauma. Lagi pula, siapa juga yang mau hidup sambil menderita PTSD kayak begini." ujarnya penuh percaya diri, bahwa dia tidak salah. Lima menit berlangsung, Becca lelah akan perangnya sendiri lalu dia memutuskan untuk keluar. Saat sedang berjalan ke dapur, dia dikagetkan oleh kehadiran Vanko. "O', kapan lo pulang?" tanyanya disertai ekspresi wajah yang tampak sedikit kaget. "Tadi pas lo masih di kamar mandi." sahut Vanko seraya melambaikan tangannya meminta agar Becca mendekat ke arahnya. Selangkah demi selangkah, Becca sampai di samping Vanko. Tanpa diduga, Vanko juga menarik kursi di sebelahnya dan mempersilakan Becca duduk. Dapat Becca lihat, di atas meja makan kini sudah ada dua mangkuk bubur ayam. "Gue tadi beli bubur pas jalan pulang, jadi sekarang harus dimakan." Vanko memberikan sendok pada Becca, berharap gadisnya segera memakan bubur temuannya. Tanpa aba-aba, Becca menganggukkan kepalanya dan menurut saja pada apa yang Vanko katakan. Disendoknya sedikit demi sedikit bubur itu tanpa sadar, entah sudah berapa sendok yang Becca makan. "Kenapa cuma ngelihatin? Dimakan buburnya." Ketika sadar bahwa Vanko hanya memerhatikannya tanpa makan, Becca jadi menghentikan suapannya dan balas menatap Vanko. Lelaki itu hanya memainkan sendok di tangannya sambil terus menatapnya dari sisi kiri. "Kadang gue masih suka bertanya-tanya, apa yang gue lihat ini beneran Becca yang dulu gue kenal atau hanya sekedar bayangan gue belaka?" "Apa yang gue denger beneran suara lo atau hanya kecohan semata?" "Apa yang gue peluk itu nyata? Apa yang tinggal di apartemen gue itu beneran Becca?" Becca tersenyum mendengar ini, dia pun meletakkan sendoknya ke mangkuk lalu beralih menatap Vanko yang juga melihatnya. Rasanya lucu melihat Vanko berbicara sepanjang ini. "Kadang gue juga nanya ke diri gue sendiri. Apa cowok yang sama gue ini beneran Stevanko atau bukan?" "Kenapa dia berubah jadi murah senyum? Lebih sering bicara, dan ramah? Apa cowok yang nolong gue ini beneran lelaki yang gue rindukan selama ini?" kata Becca balik, seraya menirukan gaya Vanko berbicara. Jika tadi Becca tersenyum, sekarang Vanko malah terkekeh. Tangannya bergerak ke udara dan berhenti di puncak kepala Becca. "Dan setelah gue bisa menyentuh puncak kepalanya serta memandangnya lama, gue baru tersadar kalau yang ada di depan mata gue ini beneran Becca." Tawa Becca pecah mendengar ini. Dia balas memegang puncak kepala Vanko dan mengusap ubun-ubunnya berulang. "Udah cepetan dimakan buburnya, nanti keburu dingin." titah Becca sambil kembali fokus menyuapkan bubur ke mulutnya. Tak beda jauh, Vanko pun melakukan hal yang sama. Dia juga memakan buburnya yang sudah setengah dingin namun tetap enak. Yang membuat enak ketika makan bukanlah menu yang dihidangkan, namun karena hati yang merasa senang. Seenak apa pun masakan, jika hati tidak senang, maka tetap saja terasa tidak enak. Dalam dua menit, mereka sama-sama fokus pada makanan masing-masing. Dan sesekali, mereka sama-sama curi pandang sambil tersenyum malu-malu. Wajah merona, khas seperti orang sedang kasmaran. "Van..." "Kenapa? Mau makan yang lain?" Becca menggelengkan kepalanya. Dia meminum beberapa teguk air putih terlebih dahulu sebelum menyahuti pertanyaan Vanko. "Bukan." gelengnya sembari meletakkan gelas ke meja. "Terus kenapa?" Kata-kata Becca terhenti di tenggorokannya, seolah kalimat yang sudah dia rancang jadi ikut tertelan bersama minumannya. Dia menggigit bibir bawahnya sendiri berulang kali, sampai membuat Vanko mengerutkan keningnya karena penasaran. "Enggak... Lupain aja hehehe..." Becca hanya nyengir kuda lalu kembali fokus ke buburnya. Vanko juga mengangguk dan tidak akan bertanya lagi, karena takutnya Becca malah tidak nyaman berada di dekatnya. "Apa kita wajar?" tanya Becca tiba-tiba. Pertanyaan Becca kembali membuat Vanko menghentikan gerakan tangannya. Lagi-lagi dia menatap Becca dari samping. "Wajarkah, kalau kita kembali akrab seperti ini setelah apa yang terjadi delapan tahun lalu? Wajarkah, kita bisa ketawa-ketiwi seolah-olah kita tidak pernah ada di hari itu?" Setelah kembali merenung dan menimbang-nimbangnya, Becca akhirnya mampu berbicara. Bukan maksudnya Becca ingin mengungkit masa lalu. Tapi kalau dia ingin masa depannya jelas, Becca harus melewati hal ini terlebih dahulu. Pertanyaan Becca membuat Vanko terdiam. Dia menarik napasnya dalam-dalam, dan dia lakukan sebanyak yang dia bisa. "Sorry, gue gak punya keberanian sebesar itu untuk mengungkit masa lalu. Karena gue pikir, kenangan di hari itu, bakal bikin lo makin sakit. Tapi gue salah, harusnya gue membahasnya lebih awal." desahnya pelan. “Bukan, lebih tepatnya lagi. Gue terlalu takut menyinggung hari itu karena gue takut lo bakal pergi lagi dari gue.” Vanko kembali meralatnya. Mata Vanko tertuju ke lantai yang dia injak sekarang. Dia lagi-lagi mendesah memikirkan hal ini. Bukan bermaksud pura-pura lupa, tapi Vanko memang belum siap jika dia tidak sengaja melakukan kesalahan lagi. "Gue juga butuh kepastian tentang hubungan kita. Gue bingung harus menyebut kita ini apa? Mantan, pacar, atau TTM atau apa gue enggak tahu." Kepala Vanko mendongak, dia bisa melihat jelas kegelisahan di wajah Becca sekarang. Dibelainya pipi kiri Becca, berharap kalau gadis itu bisa jauh lebih tenang. "Gue lagi-lagi mau minta maaf ke lo, atas semua kesalahan gue di waktu dulu. Dan asal lo tahu, Bec, delapan tahun gue kesepian hidup tanpa lo di sisi gue." Tentu saja Becca kaget mendengar ini. Padahal Becca kira, kehidupan Vanko akan jauh lebih baik kalau tanpa dirinya. Becca pikir, kisah cinta Vanko ke Zulla akan berjalan lancar kalau dirinya tidak ada di antara mereka. "Tiap pagi, gue selalu berandai-andai, kalau tiba-tiba lo berdiri di depan gue. Kalau lo manggil nama gue, kalau lo tertawa buat gue, dan masih banyak yang gue bayangkan saat lo enggak ada sama gue." "Gue bilang begini bukan buat ngegombal atau sok gagah di depan lo. Tapi gue emang nungguin lo selama ini." Becca masih diam mendengarkan baik-baik apa yang Vanko katakan. Dia juga menahan agar tidak menangis walau kedua matanya sudah berkaca-kaca mendengarnya. "Sampai akhirnya, lo beneran muncul di depan gue. Jelas aja, enggak akan gue biarin lo pergi lagi dari hidup gue." Sekarang Becca merasakan tangannya digenggam oleh Vanko. Hanya dari genggaman tangan saja, Becca sudah bisa merasakan kalau lelaki itu serius akan kata-katanya. "Maaf udah bikin lo sakit hati begitu dalam. Tapi gue juga sakit setelah lo tinggal pergi. Kita sama-sama sakit, Bec. Meski kadar sakit hati kita berbeda, namun hati kita sama-sama luka." "Jadi gue mau ngajak lo buat memulai semua dari awal lagi, biar luka hati kita sama-sama terhapus oleh kebersamaan kita mulai sekarang." Vanko mengakhiri kata-katanya. Dia berdiri lalu memeluk Becca erat-erat. Rasa takut akan kehilangan menjalar di lubuk sanubarinya. Vanko tidak ingin kehilangan Becca untuk kedua kalinya entah karena alasan apa pun itu. "Gue mau memulai semuanya dari awal sama lo. Dan makasih karena lo enggak pernah lelah menunggu gue. Maaf juga karena gue udah pergi begitu lama." balasnya dalam pelukan Vanko. Pelukan itu terasa semakin hangat bagi Becca. Dia merindukan d**a bidang ini, wangi feromon yang menguar dari tubuh Vanko. Becca sangat merindukannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN